Jumat, 15 April 2011

TAWASSUL DALAM ISLAM

Dalam kitab-kitab Ahlussunnah terdapat ayat-ayat al-Qu`ran dan hadis-hadis Nabi (saw) yang menunjukkan bolehnya bertawasul kepada para nabi dan wali Allah , khususnya kepada nabi Muhammad saw. Lalu terlintas pertanyaan dalam benak: siapakah yang mengingkari bolehnya tawasul kepada para nabi dan nabi Muhammad serta para wali Allah dan apa alasan mereka?
Juga dalam hal apakah tawasul itu ditolak? Upaya dalam makalah ini adalah menyampaikan masalah-masalah terkait yang penting dengan dalil-dalil atas bolehnya bertawasul kepada mereka, dan pandangan ulama Ahlussunnah. Tawasul kepada para nabi khususnya kepada nabi Muhammad (saw) merupakan perkara yang dibolehkan (sebelum mereka terlahir di dunia sampai masa hidup dan sesudah wafat mereka). Keraguan-keraguan (syubhât) yang terlontar tidak cukup beralasan, karena menjadikan para nabi dan wali Allah sebagai perantara di sisi-Nya sama sekali tidak syirik dan tidak juga bid’ah. Sepeninggal mereka, manusia-manusia suci ini dengan izin Allah dapat memenuhi hajat dan memberi syafaat bagi siapa yang bertawasul kepada mereka.
Mukadimah
Di sepanjang sejarah tokoh-tokoh agama dan di kalangan para rasul beserta para pengikut mereka, secara mutlak tak ada larangan dalam bertawasul -di hadapan Allah- kepada Para nabi dan wali Allah. Sekiranya kemudian roda zaman menutupi wajah yang sebenarnya dengan debu-debu khurafat, maka para penjaga sejati agama akan berupaya keras untuk membersihkannya.
Sejak masa awal Islam hingga abad ketujuh, ajaran bertawasul kepada para nabi khususnya kepada nabi Muhammad saw diyakini oleh kaum muslimin dengan berbagai aliran dan mazhab mereka. Setelah abad kedelapan, barulah sejumlah orang melontarkan keraguan-keraguan (syubhât) yang kemudian melahirkan golongan tertentu di tengah muslimin. Oleh sebab itu, belakangan ini mempersoalkan legalitas perkara-perkara tertentu (termasuk tawasul,-penerj) dilarang keras oleh golongan tersebut dan siapa yang membolehkannya dihukumi kafir dan syirik.
Agar menjadi jelas bahwa mayoritas muslimin tak terkecuali kaum syiah menolak pandangan tersebut, dan sekiranya mereka diklaim kafir dan syirik karena membolehkan tawasul maka mencakup semua golongan Islam. Maka dalam makalah ini akan dikaji secara ringkas tentang bolehnya tawasul menurut ulama Ahlussunnah.
Makna Tawasul:
a) Etimologi Tawasul
Kalimat “tawassala fulân ilâ fulan bi wasîlah”, artinya: si fulan mendekati fulan yang lain dengan suatu perantara. Yakni, ia menjadikan seseorang atau sesuatu sebagai sebab pendekatan. Karena wasilah atau perantara ini mulia baginya, maka ia menarik perhatian dan cintanya kepada dirinya.” (Mu’jam Tahdzib al-Lughah, juz 4, hal 3892).
Wasilah ialah sesuatu yang diperantarakan karena disukai. (al-Mufradat fi Gharib al-Qur`an, hal 423-524)
Wasilah menjadi sebab kedekatan pada sesuatu. (Farhange Amid, juz 1, hal 1950).
b) Terminologi Tawasul
Wasilah ialah sesuatu yang mengantarkan kita pada tujuan. (Tafsir al-Qur`an al-‘Azhim, juz 2).
Wasilah artinya kedekatan yang layak dijadikan sebagai perantara untuk permohonan perkara. (al-Jami’ fi Ahkam al-Qur`an, juz 6, hal 159)
Wasilah ialah apapun yang menyebabkan kedekatan dan taqarub, baik itu merupakan dirinya maupun selain dirinya. Ia diperantarakan kepada Allah untuk mencapai sesuatu, seperti melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. (al-Kasyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil juz 1, hal 662).
Jadi, wasilah mempunyai arti yang luas mencakup banyak hal.
Dalil-dalil Tawasul
Tawasul bagi kaum muslimin merupakan perkara yang dibolehkan sejak masa awal Islam.
Samhuri mengatakan: “Bertawasul, memohon pertolongan dan syafaat kepada Nabi di hadapan Allah adalah boleh bahkan baik. Kebolehannya diakui oleh setiap orang beragama, sebagaimana bukti sirah para nabi, kaum salih dan ulama Islam hingga abad kedelapan tidak ada sama sekali penolakan dibolehkannya bertawasul. Paling tidak, kita tidak bersikap kontra.” (Wafa al-Wafa juz 3-4)
1-Dalil Rasional
Boleh bertawasul merupakan perkara rasional. Manusia karena melakukan pelanggaran atau berbuat salah sehingga kurang mendapatkan perhatian dari Tuhan, ia menjadikan seseorang yang dimuliakan Allah sebagai perantara baginya. Tindakan ini sama sekali tidak ditolak oleh akal. Bahkan sudah merupakan tuntutan hikmah Allah, Dia berpaling dari cela hamba-Nya itu karena perantara tersebut. Allah Maha bijaksana, Maha kuasa, Maha pengasih dan sebagainya, berkat tawasul seorang hamba yang memiliki kebutuhan dan kekurangan kepada para nabi dan wali Allah, Dia memberikan perhatian kepadanya, memenuhi hajat dan memaafkan kesalahannya. Poin ini perlu disampaikan bahwa tawasul tidak bertentangan dengan penghambaan dan ketulusan kepada Allah.
2-Ayat-ayat Al-Qur`an
Al-Qur`an Kitabullah bagi umat manusia tidak melarang tawasul. Dapat disimpulkan dari berbagai macam ayatnya bahwa tawasul dibolehkan. Ulama Syiah dan Ahlussunnah membolehkan tawasul berdasarkan banyak ayat, di antaranya sebagai contoh yang dibawakan oleh Ahlussunnah di bawah ini:
1) QS: al-Maidah 35:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ ابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسيلَةَ وَ جاهِدُوا في‏ سَبيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Dalam ayat ini ada tiga faktor keberuntungan:
1-Bertakwa kepada Allah.
2-Memilih perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah.
3-Jihad di jalan Allah.
Oleh karena itu apapun yang mengantarkan manusia dan mendekatkan dirinya kepada Allah, seperti amal salih, doa dan sebagainya dapat dikatakan sebagai wasilah (perantara). (at-Tashil fi Ulum at-Tanzil, juz 1, hal 241)
Mayoritas mufassir Ahlussunnah memandang bahwa melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan itu merupakan wasilah, atau secara mutlak itu adalah sesuatu yang diperantarakan. Tak ada penolakan juga tak ada penegasan dari mereka bahwa tawasul kepada Nabi itu sebagai ekstensi ayat tersebut. Namun demikian, ayat itu mengandung keumuman dan kemutlakan yang mencakup amal salih, juga doa, tawasul kepada para nabi dan wali Allah, tempat-tempat suci dan apapun yang mendekatkan hamba kepada Allah (yakni, tawasul terminologis). Ungkapan Zamakhsyari dan Fakhru Razi bahwa: “Wasilah adalah apapun yang mengantarkan pada maksud dan kedekatan”, mempunyai arti umum dan mencakup segala hal. (at-Tafsir al-Kabir, juz 11, hal 189)
Sekiranya menjadikan wasilah sebagai perantara di sisi Allah itu menyebabkan syirik, tentulah Allah tidak akan menjadikannya sebagai faktor keberuntungan dan tidak akan memerintahkan itu.
Perintah “menentukan wasilah untuk supaya dekat dengan Allah” ini tidak dikhususkan pada golongan tertentu. Wasilah diperlukan oleh hamba Allah untuk mencapai pengampunan dosa atau untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan.
Harus digaris bawahi poin ini bahwa wasilah adalah untuk meraih kedudukan qurb dengan Allah. Dalam hal ini dibenarkan apabila wasilah itu sendiri dekat di sisi Allah. Namun jika ia jauh dari sisi-Nya atau dimurkai oleh-Nya, maka tidak dibenarkan bertawasul kepadanya.
2) QS: an-Nisa 64
وَ ما أَرْسَلْنا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جاؤُكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحِيماً
“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”
Ibnu Katsir mengomentari ayat ini bahwa: “Allah menunjuki para pendosa agar menjadikan Nabi sebagai wasilah mereka di sisi Allah. Baik mereka sendiri memohon ampunan kepada Allah, maupun berharap kepada Nabi supaya ia memohonkan ampunan kepada-Nya untuk mereka. Dengan cara inilah yang tak luput dari keluasan rahmat Allah, taubat mereka diampuni. Sebagai contoh, seorang Arab badui berperantaraan dengan makam Nabi kemudian diampuni oleh Allah.” (at-Tafsir al-Kabir, juz 11, hal 328-329)
Qurthubi menukil sebuah riwayat: “Abu Shadiq al-Azdi al-Kufi meriwayatkan dari Imam Ali (as), “Seorang Arab badui datang kepada kami, tiga hari setelah pemakaman Rasulullah (saw). Tiba-tiba ia menjatuhkan diri (bersimpuh) di hadapan makam Rasulullah dan menyirami kepalanya dengan tanah makam, seraya berkata: “Duhai Rasulullah, kami telah mendengar sabdamu. Mohonlah engkau kepada Allah, kami akan memohon kepadamu! Ayat yang telah turun kepadamu:
«ولوانّهم اذظلموا انفسهم...»
“Sekiranya hamba-hamba-Ku telah menganiaya diri mereka sendiri, mereka akan datang kepadamu. Kemudian engkau memohonkan ampunan untuk mereka dan Allah menerima taubat mereka.”
Sungguh aku telah menganiaya diriku sendiri lalu aku mendatangimu agar engkau memohonkan ampunan untukku.”
Kemudian terdengar suara dari makam yang mengatakan; “Sesungguhnya Dia telah mengampunimu.” (al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, juz 5, hal 265)
Dapat dipetik dari riwayat ini bahwa si Arab badui itu bersandar pada ayat tersebut, ia bertawasul kepada Nabi dan memohon ampunan kepada Allah. Tawasulnya membuahkan hasil, yaitu mendapatkan ampunan dari Allah.
Seorang hamba yang berdosa ketika datang menghadap Rasulullah, Allah tidak akan menolak syafaat beliau untuknya.
Fakhru Razi mengatakan: “Apabila orang yang membutuhkan itu datang menghadap rasulullah, sungguh ia telah mendatang seorang yang telah diangkat oleh Allah sebagai rasul-Nya, dimuliakan dengan wahyu-Nya dan sebagai duta-Nya antara Dia dan hamba-hamba-Nya. Allah tidak akan menolak syafaat manusia pilihan ini.”
3) QS: al-Baqarah 37
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِماتٍ فَتابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhan-nya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”
Ketika Adam (as) menyesali perbuatannya yang melanggar perintah irsyâdi (bersifat bimbingan), ia bertekad untuk merujuk kepada para kekasih Allah dan menjadikan mereka sebagai perantara kepada-Nya. Allah swt mengajarkan kalimât kepadanya supaya ia dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan bertawasul kepada mereka. (al-Mu’jam al-‘Aqaidi, juz 1, hal 87)
Mengenai kata “kalimât” ini berbagai macam penafsiran, di antaranya bahwa yang dimaksud adalah Rasulullah saw. Satu kelompok mengatakan: “Ia (Adam) melihat di atas kaki arasy tertulis “Muhammad Rasulullah”, maka ia memohon syafaatnya di sisi Allah.” (al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, juz 1, hal 324)
Al-Alusi setelah menukil kitab-kitab tafsir, mengatakan: “Jika “kalimah” (bentuk tunggal) itu ditujukan kepada Isa (as), maka “kalimât” (bentuk jamak) ditujukan kepada sang ruh agung Nabi Muhammad (saw). Adapun Isa, Musa dan lain-lain (as), mereka tiada lain adalah bagian dari penampakan cahaya-cahaya Rasulullah dan merupakan bintang dari taman cahaya-cahayanya. Yakni, jika kata “kalimah” ditujukan kepada Isa, maka terlebih lagi kata “kalimât” ditujukan kepada sang ruh agung Rasululllah (saw). Karena, nabi-nabi lainnya adalah bagian dari penampakan-penampakan cahaya suci Nabi Muhammad (saw).” (Ruh al-Ma’ani, juz 1-2, hal 237)
Berdasarkan ayat-ayat di atas berikut tafsirnya (dan banyak lagi ayat lainnya yang tidak disebutkan di sini untuk mempersingkat kajian), bahwa boleh bertawasul kepada Nabi sebelum keberadaan jasmaninya, maupun di masa hidupnya di dunia sampai wafatnya. Tidak perubahan dengan pergantian alam keberadaan Nabi (saw) mengenai dibolehkannya bertawasul.
3-Riwayat-riwayat Hadis
Tajuk dalam makalah ini menuntut pengkajian masalah sesuai riwayat-riwayat Ahlussunnah –di luar pengkajian menurut hadis-hadis dan ulama Syiah. Diawali dengan sebuah hadis Nabi saw yang menganjurkan bertawasul:
Jabir bin Abdillah al-Anshari menyampaikan: “Rasulullah saw pernah bersabda: “Bertawasullah dengan mencintai kami kepada Allah dan memohonlah syafaat kami.” (Ihqaq al-Haqaiq, juz 18, hal 521)
Di tanah suci Nabi saw, Imam Malik pernah berkata kepada Manshur Dawaniqi: “Beliau (saw) adalah wasilah (perantara)mu sebagaimana menjadi wasilah bagi Bapak Adam.” (ad-Durar as-Saniyah, hal 157, nukilan dari “Ayene Wahabiyat” karya Ja’far Subhani)
Yang mengawali kritikan terhadap akidah dan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, ialah saudara kandungnya sendiri dan as-Sabaki dalam kitab “Syifa as-Saqam” diikuti oleh Samhuri dalam kitab “Wafa al-Wafa`”.
As-Sabaki membolehkan tawasul kepada Nabi saw, dan membagi tawasul dalam tiga macam:
a) Pemohon meminta hajat kepada Allah dengan berperantaraan kepada diri dan kebenaran Nabi (saw).
b) Pemohon bertawasul kepada Nabi saw agar beliau mendoakannya kepada Allah.
c) Pemohon meminta hajat kepada Rasulullah.
Masing-masing dari tiga macam tawasul ini menampung tiga kondisi, yaitu sebelum penciptaan duniawi Rasulullah, di masa hidupnya dan di masa setelah wafatnya. Untuk mengukuhkan klaim “boleh bertawasul”, makalah ini mencukupkan penjelasan macam tawasul yang pertama dengan tiga kondisi tersebut:
1) Tawasul kepada Nabi sebelum penciptaan jasmani:
Al-Hakim dengan sanad yang sahih menukil riwayat dari Umar bin Khatab; “Rasulullah bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata kepada Allah, “Tuhanku, demi kebenaran Muhammad, maka ampunilah aku!”
Allah berfirman, “Hai Adam, bagaimana engkau dapat mengenal Muhammad (padahal Aku belum menciptakannya ke dunia?)”
Adam berkata, “Tuhanku, ketika Engkau menciptakan aku dan Engkau tiupkan ruh kepadaku, aku mengangkat kepala dan aku melihat di Arasy tertulis: لااله الاّالله محمد رسول الله
Maka aku mengetahui bahwa Engkau telah meletakkan nama makhluk yang paling Engkau cintai di sisi nama-Mu”
Allah berfirman, “Benar ucapanmu, dialah makhluk yang paling Aku cintai. Maka memohonlah kepadaku demi kebenarannya, niscaya aku mengampunimu. Seandainya dia tiada, Aku tidak akan menciptakanmu.” (al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, juz 2, hal 615)
As-Sabaki setelah membawakan hadis ini, mengatakan: “Hadis ini dengan sanad yang kuat dan revisi al-Hakim, tidak sampai kepada Ibnu Taimiyah. Sekiranya sampai kepadanya, ia tidak akan mengingkari bolehnya tawasul atau tidak dapat membantah al-Hakim.” (Syifa as-Saqam).
Riwayat ini dinukil dengan sedikit perbedaan oleh Thabarani dalam kitab al-Mu’jam ash-Shaghir, Baihaqi dalam ad-Dalail an-Nubuwah, Suyuthi dalam ad-Dur al-Mantsur dan Alusi dalam Ruh al-Ma’ani. Karena itu tawasulnya Adam kepada Nabi saw bukan asing lagi. Di samping disebutkan pula dalam kitab-kitab Ahlussunnah contoh-contoh tawasulnya nabi Nuh, Ibrahim dan Isa, yang sebagiannya disampaikan di sini.
Para mufassir menyampaikan riwayat tentang ayat 89 al-Baqarah:
ولمّا جاءهم كتاب من عندالله مصدق لّما معهم وكانوا من قبل يستفتحون علي الّذين كفروا فلمّا جاءهم مّا عرفوا كفروا به فلعنة الله علي الكافرين
Bahwa kaum Yahudi Madinah dan Khaibar sebelum masa bi’tsah (pengutusan Nabi saw) setiapkali berperang, mereka bertawasul pada nama Nabi (saw) yang termaktub dalam Taurat. Mereka berdoa: “Tuhanku! Demi kebenaran Nabi Ummi, kami memohon kepada-Mu berilah kami kemenangan atas mereka.” Dan mereka meraih kemenangan. Setelah Muhammad saw diutus dan membawa Kitab yang membenarkan Taurat dan Injil, mereka tidak beriman lantaran dia bukan dari Bani Israil. (al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, hal 263; ath-Thabari & Suyuthi, dalam Tafsir ayat tersebut)
Jadi, tawasul kepada Nabi (saw) dan memohon pertolongan darinya merupakan perkara yang diterima di kalangan para pemeluk agama-agama samawi mengikuti petunjuk para nabi mereka.
2-Tawasul kepada Nabi di masa Hidupnya
Dalam masalah ini juga diterangkan dalam banyak riwayat dari kitab-kitab Sunnah dan Syiah, di antaranya riwayat dari Usman bin Hanif; “Seorang laki buta datang menemui Nabi dan berkata, “Mohonlah kepada Allah agar Dia memberikan ‘afiat kepadaku!”
Beliau memerintahkan kepadanya, “Ambillah wudu dan laksanakalah salat dua rakaat. Kemudian bacalah doa ini:
اللهمّ انّي أسألك و أتوجّه اليك بنبيك محمّد نبیّ الرّحمة، يا محمّد انّي أتوجّه بك الي ربّي في حاجتي لتقضيَ، اللهم شفّعه فيّ
“Ya Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu dengan perantara nabi-Mu Muhammad Nabiyur rahmah; wahai Muhammad! dengan perantara engkau, aku menghadap kepada Tuhanku dalam menyampaikan hajatku, maka penuhilah hajatku! Ya Allah, jadikanlah beliau pensyafaat bagiku.” (Wafa al-Wafa`, juz 3-4, hal 1372)
Riwayat ini sahih menurut ulama Ahlussunnah. Ayatullah Subhani juga mengomentari bahwa “Kesahihan hadis ini tidak dipersoalkan, termasuk Ibnu Taimiyah yang mensahihkannya. Rifa’i seorang tokoh Wahabi yang berusaha keras membedah hadis-hadis tentang boleh bertawasul, memandang hadis tersebut sahih dan masyhur.” (Ayene Wahabiyat, hal 148)
Nabi saw ketika Fatimah bin Asad wafat, beliau mendoakannya demi kebenaran dirinya dan para nabi sebelumnya. (Wafa al-Wafa, juz 3-4, hal 137) Sekiranya menjadikan manusia-manusia pilihan Allah itu dilarang oleh-Nya, tentulah Nabi tidak akan bersumpah kepada Allah demi kebenaran dirinya dan para nabi, untuk pengampunan ibu angkatnya. Karenanya, tindakan Nabi itu merupakan dalil yang kuat atas bolehnya bertawasul.
3-Tawasul kepada Nabi Sesudah Wafatnya
Samhuri menukil dari Thabarani riwayat dari Usman bin Hanif; “Seorang laki untuk pemenuhan hajatnya, datang kepada Usman bin Affan tetapi permohonannya tidak dihiraukan. Tetapi mengatakan, “Ambillah wudu dan laksanakanlah salat dua rakaat di masjid, kemudian bacalah doa ini:
اللهمّ انّي أسألك و أتوجّه اليك بنبيك محمّد نبیّ الرّحمة، يا محمّد انّي أتوجّه بك الي ربّي في حاجتي لتقضيَ، اللهم شفّعه فيّ
Lalu sampaikanlah hajatmu!”
Orang itu mengamalkannya, kemudian permohonannya dikabulkan.” (Wafa al-Wafa, hal 13-72-1373)
Sabaki mengatakan: “Pensahihan hadis ini untuk menjadikan sebagai dalil atas bolehnya bertawasul, cukup melalui Turmudzi dann Baihaqi.” (Syifa as-Saqam)
Poin yang perlu disampaikan ialah bahwa mayoritas muslimin (Sunnah dan Syiah) membolehkan tawasul kepada Nabi (saw) sebelum masa penciptaan jasmani dan semasa hidupnya di dunia. Yang dipersoalkan oleh kalangan tertentu belakangan ini, ialah bolehnya bertawasul kepada arwah para nabi dan Nabi Muhammad saw setelah mereka wafat. Kalangan ini membedakan antara masa hidup dan sesudah wafatnya para nabi.
Mereka lalai dari poin tersebut bahwa sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-ayat al-Qur`an, hadis-hadis dan kitab-kitab filsafat dan teologi, esensi manusia adalah ruhnya. Bahwa tawasul dan permohonan syafaat itu erat kaitannya dengan aspek spiritual Nabi saw.
4-Sirah
Sirah para pemeluk agama-agama samawi mengokohkan bolehnya bertawasul kepada para nabi dan wali Allah. Demikianlah adanya dan tidak berlaku selain dibolehkan, khususnya sirah muslimin di masa hidup dan sesudah wafat Nabi saw. Mengenai argumen dengan sirah, ada dua perkara yang harus dipenuhi:
1-Pengukuhan bahwa sirah semasa dengan kehadiran syâri’ (pembawa syariat).
2-Pengukuhan bahwa syâri’ sepakat dengan muatan sirah (salah satunya boleh bertawasul,-penerj).
Untuk mengukuhkan perkara yang pertama, merujuk pada riwayat-riwayat di atas yang saling menopang. Jika suatu masalah menjadi hal yang berlaku dan maklum di tengah umat, selain tidak bertentangan dengan sirah, juga tidak ada persoalan setelah merujuk riwayat-riwayat. Maka terungkaplah bahwa masalah atau prilaku tersebut ada di masa para nabi, khususnya nabi Muhammad saw. Jika tidak atau kontra dengan apa yang berlaku di tengah umat dan atau menimbulkan banyak persoalan, maka tidaklah demikian itu yang berlaku.
Untuk mengukuhkan perkara yang kedua perlu disampaikan dua proposisi syarthiyah, yang membuahkan hasil bahwa syâri’ sepakat dengan muatan sirah ini:
a) Sekiranya syâri’ tidak sepakat dengan muatan sirah ini, tentulah ia melarang pelaksanaannya.
b) Sekiranya syâri’ telah melarang pelaksanaannya, tentulah ia kabar pelarangannya itu sampai kepada kita.
Tak ada satupun riwayat yang melarang bertawasul. Justru banyak sekali riwayat yang membolehkannya (termasuk hadis Nabi saw yang secara tegas menganjurkan bertawasul kepada diri beliau). Inilah bukti atas ketetapan sirah dan pengukuhan dari Nabi saw. Dalam Islam, boleh bertawasul merupakan sirah semua para nabi. Misal tawasulnya nabi Adam kepada Nabi saw, tawasulnya saudara-saudara nabi Yusuf kepada Ya’qub ayah mereka dan tawasulnya umat-umat dahulu kepada para nabi mereka.
Jadi, kita dapat beragumen dengan empat dalil di atas (akal, al-Qur`an, hadis dan sirah muslimin) untuk menetapkan bolehnya bertawasul.
Yang menjadi persoalan bagi kalangan tertentu belakangan ini, ialah boleh bertawasul dan memohon melalui arwah Nabi dan para wali Allah setelah mereka wafat.
Disini kami ingin mengkaji dua pertanyaan berikut:
1) Mampukah arwah para nabi di alam barzakh memenuhi permohonan kita, ataukah tidak?
2) Bolehkah memohon syafaat dan doa atau bertawal kepada arwah mereka, ataukah tidak? Apa dalil boleh dan tidaknya?
Barangkali keraguan sehubungan dengan ketidak mampuan arwah suci, muncul disebabkan tidak mengenal dimensi wilâyah takwîni (otoritas dalam penciptaan) para nabi dan wali Allah. Wilâyah takwîni merupakan sebuah perolehan bagi ruh, dengan memilikinya ia mampu melakukan hal-hal di luar kemampuan manusia biasa dan dapat memanfaatkannya. Ruh ini yang merupakan esensi dirinya adalah kekal -dan tidak mati- setelah melewati kematian, dan mampu memenuhi permohonan kita.
Ayatullah Subhani mengatakan: “Wilâyah takwîni adalah sebuah kesempurnaan spiritual yang lahir dalam diri manusia melalui pengamalan syariat, dan adalah sumber bagi perkara-perkara yang luar biasa.” (Ashalate Ruh, hal 198)
Sebagaimana keterangan di atas, tidak ada perbedaan kemampuan spiritual di masa hidup di dunia dengan sesudah itu. Orang-orang yang memohon hajat kepada Para nabi dan wali Allah, yakin bahwa dengan izin Allah mereka mampu menyelesaikan masalah –tanpa kemandirian (yakni, kemampuan mereka bergantung pada Allah). Para sahabat Nabi memahami demikian ini. Oleh karena itu setelah Nabi saw wafat, mereka menziarahi makam beliau dan berdasarkan QS: an-Nisa 64, mereka memohon ampunan melaluinya.
Sabaki mengatakan: “Sebagaimana QS: an-Nisa 64, muslimin di masa Nabi saw dapat memohon ampunan (kepada Allah) melaluinya. Sebab, ini adalah sebuah kedudukan yang Allah karuniakan kepada beliau dan tidak sirna dengan kematian. Yakni, Nabi saw memiliki kemampuan (wewenang) mengabulkan doa dan permohonan. Sebagaimana tawasul ini dilakukan oleh para sahabat dan generasi setelah mereka (tabi’in).” (Syifa as-Saqam, hal 302)
Menjawab soal kedua, telah disampaikan bahwa mayoritas muslimin hingga abad ketujuh membolehkan perkara-perkara tersebut, dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas.
Orang-orang yang tidak membolehkan, salah satunya adalah Ibnu Taimiyah, tidak mempunyai satu dalil pun atas pelarangan bertawasul. Sehingga mereka kadang mengklaim ijma’ para sahabat dan tabi’in atas pelarangan perkara-perkara tersebut, dan kadang pula mengklaim bid’ah.
Klaim ijma’ mereka, sebagaimana pernyataan Ibnu Taimiyah: “Memohon kepada mayit dalam kubur atau yang gaib; Mohonlah kepada Allah untukku atau berilah aku syafaat di sisi Allah, atau mohonlah kepada Allah agar aku menang atas musuhku! Atau memohon ampunan melaluinya dan sebagainya, adalah bertentangan dengan ijma’ para sabahat dan tabi’in. Setelah Nabi wafat mereka tidak melakukan permohonan semacam demikian, dan para imam muslimin tidak menyampaikan demikian dalam kitab-kitab mereka.” (Majmu’ al-Fatawa, juz 1, hal 149)
Pernyataan ini tertolak dengan dua segi: Pertama, tidak ada ijma’ demikian itu. Kedua, banyak sekali kitab Ahlussunnah yang menyebutkan bahwa para sahabat bertawasul pada makam Nabi saw dan mereka menyampaikan permohonan spiritual dan material kepada Rasulullah.
Telah disampaikan di atas bahwa Qurthubi menukil dari Abu Shadiq riwayat dari Imam Ali, mengenai QS: an-Nisa 64; Seorang laki Arab badui bertawasul pada makam Nabi setelah tiga hari beliau wafat. Ia memohon ampunan melaluinya kepada Allah. Kemudian ada suara dari dalam makam bahwa “Allah telah mengampunimu!”.
Ibnu Katsir mengatakan: “Ayat suci ini memberi petunjuk bagi para pendosa, apabila mereka bertawasul kepada Rasulullah, memohon di hadapan Allah agar beliau memohonkan ampunan untuk mereka, maka beliau akan memohon ampunan kepada Allah untuk mereka. Dengan wasilah Nabi, Allah menerima taubat mereka, merahmati dan mengampuni mereka.” Kemudian Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat mirip riwayat Qurthubi tentang tawasulnya seorang Arab badui pada makam Nabi saw. (Tafsir al-Qur`an al-Azhim, juz 2, hal 328-329)
Sebagaimana keterangan di atas, tidak ada ijma’ tersebut. Dalam kitab-kitab muktabar Ahlussunnah dan Syiah didapati para sahabat berdoa, bertawasul dan memohon syafaat kepada arwah para nabi.
Mereka juga berargumen atas haramnya memohon kepada arwah para nabi dan kekasih Allah dengan klaim bid’ah.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Memohon kepada para malaikat, para nabi dan hamba-hamba salih dalam ketidak hadiran mereka atau setelah mereka meninggal dunia, tak ubahnya syiriknya kaum musyrik. Bagi muslimin adalah bid’ah yang dilarang oleh Allah. Sebab memohon kepada para nabi yang tidak hadir dan setelah mereka wafat, memohon pertolongan dan syafaat kepada mereka, merupakan perkara yang tidak disyariatkan oleh Allah dalam agama. Tak ada seorangpun imam yang menganjurkan itu kepada muslimin.” (Majmu’ al-Fatawa, hal 149)
Ia juga mengatakan: “Para nabi dahulu tidak mensyariatkan perkara-perkara itu. Tak seorangpun sahabat, seorang muslim dan dari imam-imam empat mazhab meminta bantuan kepada para nabi dalam menghadapi problem-problem mereka. Oleh karena itu, memohon syafaat, bertawasul dan berdoa dengan perantara para nabi tidaklah wajib juga tidak sunnah. Segala yang bukan wajib atau sunnah satupun adalah bi’dah menurut kesepakatan muslimin.” (Majmu’ al-Fatawa, hal 150-151)
Dalam kitab-kitab yang menolak keyakinan itu dijelaskan secara detail masalah syirik dan bid’ah. Secara ringkas, bid’ah adalah menambah perkara dalam agama yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur`an dan hadis. Atas itu disebut bid’ah jika seseorang mengadakannya sendiri.” (Majma’ al-Bahrain juz 4, hal 289-299)
Amin al-Amili mengatakan: “Bid’ah adalah memasukkan sesuatu yang bukan dari agama ke dalam agama, dan pengharamannya tidak memerlukan dalil khusus. Sebab menurut hukum akal, tidak boleh menambah dan mengurangi hukum Allah.” (Kayful Irtiyab, hal 98)
Semua sepakat atas pengharaman itu, namun perkara yang dikaji adalah pengetahuan ekstensi bid’ah dari selain bid’ah. Kekeliruan terjadi disebabkan berbagai macam hal; terkadang karena salah dalam dalil, sehingga sesuatu dipandang sebagai bagian dari agama, padahal bukan. Atau dikarenakan percaya pada seseorang, suatu perkara dipandang sebagai bagian dari agama sebagaimana pandangan orang yang diikutinya. Padahal orang itulah yang membuat bid’ah. Atau dikira suatu nash bersifat khusus dan selain itu merupakan bid’ah, padahal nash itu bersifat umum dan mutlak.
Perkara-perkara seperti memohon syafaat, doa dan tawasul (kepada para kekasih Allah) mempunyai nash yang bersifat khusus dan umum, juga berdasarkan sirah para sahabat. Maka perkara-perkara tersebut bukanlah bid’ah.
Samhuri mengatakan: “Memohon pertolongan dan syafaat melalui Nabi kepada Allah adalah perkara yang pernah dilakukan oleh para nabi, dan sirah para pendahulu pun membolehkannya. Baik sebelum penciptaan jasmani Nabi maupun di masa hidupnya di alam barzakh sampai hari kiamat.” (Wafa al-Wafa, juz 4, hal 1371)
Ia (Samhuri) menukil riwayat Nabi di saat pemakaman Fatimah bin Asad, beliau mendoakannya dengan berperantaraan kebenaran dirinya dan para nabi dahulu, dan kisah Usman bin Hanif; yang mengajarkan cara bertawasul kepada Nabi dan menjadikan beliau sebagai perantara di hadapan Allah.
Atas dasar itu, perkara-perkara tersebut dibolehkan di masa hidup Nabi dan beliau sendiri melakukannya (di waktu pemakaman Fatimah bin Asad) dan menganjurkannya (sebagaimana riwayat di atas tentang orang buta). Sepeninggal Nabi, para sahabat pun mengetahui bolehnya perkara-perkara itu (sebagaimana riwayat Usman bin Hanif). Jadi keraguan dengan klaim bid’ah sama tidak dibenarkan, dan keraguan-keraguan lainnya yang terlontar, namun di sini tidak begitu penting disampaikan.
Referensi:
1-Ruh al-Ma’ani/Sayid Mahmud al-Alusi, juz 1.
2-Majmu’ al-Fatawa/Ibnu Taimiyah Ahmad bin Abdulkarim bin Abdussalam.
3-Tafsir al-Qur`an al-‘Azhim/Ismail Ibnu Katsir, juz 2.
4-Mu’jam Tahdzib al-Lughah/Muhammad bin Ahmad al-Azhari, juz 4.
5-al-Mufradat fi Gharib al-Qur`an/ Raghib al-Isfahani.
6-Kasyfu al-Irtiyab/Sayid Muhsin Amin al-Amini.
7-Ihqaq al-Haqaiq/Sayid Nurullah Huseini, juz 18.
8-at-Tafsir al-Kabir/Muhammad bin Umar Fakruddin ar-Razi, juz 11.
9-al-Kasyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil, juz 1.
10-ad-Durar as-Saniyah/Sayid Ahmad Zaini Dahlani, nukilan dari Ayene Wahabiyat karya Ja’far Subhani.
11-Syifa as-Saqam/Taqiyuddin as-Sabaki.
12-Wafa al-Wafa/Ali bin Ahmad Samhuri, juz 3-4.
13-Majma’ al-Bahrain/Fakhruddin Tharihi, juz 2.
14-Farhange Amid/Hasan Amid, juz 1.
15-at-Tashil li Ulum at-Tanzil/Muhammad bin Ahamad bin Jazi al-Fanathi, juz 1.
16-al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an/Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, juz 5&6.
17-al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain/Abu Abdullah an-Naisaburi, juz 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar