Minggu, 17 Juli 2011

TAWASSUL NABI DENGAN KEMULIAAN DIRINYA DAN KEMULIAAN PARA NABI DAN SHOLIHIN

Dalam biografi Fathimah binti Asad, ibu dari Ali ibn Abi Thalib terdapat keterangan bahwa ketika ia meninggal, Rasulullah SAW menggali liang lahatnya dengan tangganya sendiri dan mengeluarkan tanahnya dengan tangannya sendiri. Ketika selesai beliau masuk dan tidur dalam posisi miring di dalamnya , lalu berkata :
الله الذي يحي ويميت وهو حي لا يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي فإنك أرحم الراحمين .
وكبر عليها أربعاً وأدخلوها اللحد هو والعباس وأبو بكر الصديق رضي الله عنهم
“ Allah Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup tidak akan mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad, ajarilah ia hujjah, lapangkanlah tempat masuknya dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Karena Engkau adalah Dzat yang paling penyayang.
Rasulullah kemudian mentakbirkan Fathimah 4 kali dan bersama Abbas dan Abu Bakar Shiddiq RA memasukkannya ke dalam liang lahat.” HR Thabarani dalam al Kabir dan al Awsath.

Dalam sanadnya terdapat Rauh ibn Sholah yang dikategorikan dapat dipercaya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadits ini mengandung kelemahan. Sedang perawi lain di luar Rouh sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih. (Majma’ul Zawaaid vol. 9 hlm. 257). Sebagian ahli hadits berbeda pendapat menyikapi status Rouh ibn Sholah, salah seorang perawi hadits di atas. Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi tsiqah (dapat dipercaya). Pendapat al-Hakim adalah, “Ia dapat dipercaya.” Keduanya sama-sama mengkategorikan hadits sebagai shahih. Demikian pula Al-Haitsami dalam Majma’ul Zawaaid. Perawi hadits ini sesuai dengan kriteria perasi hadits shahih.Sebagaimana Thabarani, Ibnu ‘Abdil Barr juga meriwayatkan hadits ini dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Syaibah dari Jabir, dan juga diriwayatkan oleh Al Dailami dan Abu Nu’aim. Jalur-jalur periwayatan hadits ini saling menguatkan dengan kokoh dan mantap, antara sebagian dengan yang lain. Dalam Ithaafu al Adzkiyaa’ Syaikh Al-Hafidh Al-Ghimari hlm 20 menyatakan, “Rouh ini kadar kedloifannya tipis versi mereka yang menilainya lemah, sebagaimana dipahami dari ungkapan-ungkapan ahli hadits. Karena itu Al-Hafidh Al-Haitsami menggambarkan kedloifan Rouh dengan bahasa yang mengesankan kadar kedloifan yang ringan, sebagaimana diketahui jelas oleh orang yang biasa mengkaji kitab-kitab hadits. Hadits di atas tidak kurang dari kategori hasan, malah dalam kriteria yang ditetapkan Ibnu Hibban diklasifikasikan sebagai hadits shahih.

Bisa dicatat di sini bahwa para Nabi yang Nabi SAW bertawassul dengan kemuliaan mereka di sisi Allah dalam hadits ini dan hadits lain telah wafat. Maka dapat ditegaskan diperbolehkannya tawassul kepada Allah dengan kemuliaan (bilhaq) dan dengan mereka yang memiliki kemuliaan (ahlulhaq) baik masih hidup maupun sesudah wafat.

OLEH: ABUYA AS SAYYID MUHAMMAD AL MALIKI.

TAWASSUL NABI DENGAN KEMULIAAN PARA PEMINTA (BIHAQQISSAAILIN)

Dari Abi Said Al Khudri berkata, Rasulullah berkata :
من خرج من بيته إلى الصلاة ، فقال : اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشراً ولا بطراً ولا رياء ولا سمعة ، خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك ، فأسألك أن تعيذني من النار ، وأن تغفر لي ذنوبي ،      إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت ، أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك

“Siapapun yang keluar dari rumahnya untuk sholat, seraya berdo’a : Ya Allah Sungguh saya memohon kepada-Mu dengan kemuliaan para peminta kepada-Mu dan dengan kemuliaan langkahku ini, karena saya tidak keluar untuk berfoya-foya, melakukan kesombongan, pamer atau mencari prestise. Saya keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridlo-Mu. Saya memohon kepada-Mu agar melindungiku dari neraka, dan mengampuni dosaku. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain Engkau, maka Allah akan menyambutnya dan 70.000 malaikat akan memohonkan ampunan untuknya.”

Dalam At-Targhib wa At-Tarhib vol. III hlm 119 Al-Mundziri berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan isnad yang dikomentari (fiihi maqaalun). Syaikhuna Al-Hafidh Abu Al-Hasan mengklasifikasikan isnadnya sebagai shahih. Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Nataaijul Afkaar vol. I hlm 727 mengatakan, “ Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dalam Kitabuttauhid, dan Abu Nu’aim dan Ibnu As-Sunni. Al-‘Iraqi dalam Takhriju Ahaaditsi Al Ihyaa’ vol. I hlm. 323 mengomentari hadits di atas sebagai hadits hasan. Al-Hafidh Al-Bushairi dalam Zawaaid Ibni Majah yang bernama Mishbaahu al Zujaajah vol. I hlm. 98 mengatakan, “Al-Hafidh Syarafuddin Al Dimyathi dalam Al-Matjar Ar-Raabih hlm. 471 mengatakan bahwa isnad hadits di atas itu, insya Allah hasan. Al-‘Allamah Al-Muhaqqiq Al-Muhaddits As-Sayyid Ali ibn Yahya Al-Alawi dalam risalah kecilnya Hidayatul Mutakhabbithin menyatakan, “Bahwa Al-Hafidh Abdul Ghani Al-Maqdisi menilai hadits itu sebagai hadits hasan dan Ibnu Abi Hatim menerimanya.”

Dari fakta ini jelaslah bagi kamu, bahwa hadits di atas telah dinilai shahih dan hasan oleh sejumlah hafidz dan imam besar hadits. Mereka adalah : Ibnu Khuzaimah, Al-Mundziri dan gurunya Abu Al-Hasan, Al-‘Iraqi, Al-Bushairi (bukan penyusun Burdah), Ibnu Hajar, As-Syaraf Al-Dimyathi, Abdul Ghani Al-Maqdisi, dan Ibnu Abi Hatim. Setelah pendapat para pakar di atas terungkap, adakah ruang yang tersisa untuk menampung ucapan seseorang.
Apakah logis bagi orang yang berakal untuk membuang penilaian para pakar hadits besar di atas dan mengambil ucapan mereka yang tidak diundang menikmati hidangan hadits.

أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“ Musa berkata : Maukah kamu mengambil sesuatu yang sebagai sesuatu yang lebih baik ?” (Q.S. Al-Baqarah : 61)
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di- dalam dada." (Q.S. Al-Hajj : 46)

OLEH: ABUYA AS SAYYID MUHAMMAD AL MALIKI

TAWASSUL DENGAN KUBURAN NABI SAW ATAS PETUNJUK SAYYIDAH AISYAH

Al-Imam Al-Hafidh Ad-Darimi dalam kitabnya As-Sunan bab Maa Akramahullah Ta’ala Nabiyyahu SAW ba’da Mautihi berkata : Abu Nu’man bercerita kepada kami, Sa’id ibn Zaid bercerita kepada kami, ‘Amr ibnu Malik An-Nukri bercerita kepada kami, Abu Al-Jauzaa’ Aus ibnu Abdillah bercerita kepada kami, “Penduduk Madinah mengalami paceklik hebat. Kemudian mereka mengadu kepada ‘Aisyah.  “ Lihatlah kuburan Nabi SAW dan buatlah lubang dari tempat itu menghadap ke atas hingga tidak ada penghalang antara kuburan dan langit,” perintah ‘Aisyah.

Abu Al-Jauzaa’ berkata, “Lalu mereka melaksanakan perintah ‘Aisyah. Kemudian hujan turun kepada kami hingga rumput tumbuh dan unta gemuk ( unta menjadi gemuk karena pengaruh lemak, lalu disebut tahun gemuk ).” Sunan Ad-Daarimi vol. I hlm 43.

Pembuatan lubang di lokasi kuburan Nabi SAW, tidak melihat dari aspek sebuah kuburan tapi dari aspek bahwa kuburan itu memuat jasad makhluk paling mulia dan kekasih Tuhan semesta alam. Jadi, kuburan itu menjadi mulia sebab kedekatan agung ini dan karenanya berhak mendapat keistimewaan yang mulia.

Takhrij hadits : Abu Nu’man adalah Muhammad ibn Al-Fadhl yang dijuluki Al-‘Aarim, guru Imam Bukhari. Dalam At-Taqrib, Al-Haafidh mengomentarinya sebagai orang yang dipercaya yang berubah (kacau fikiran) di usia tua. Pendapat saya kondisi di atas tidak mempengaruhi periwayatannya. Sebab Imam Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan lebih dari 100 hadits darinya. Setelah fikirannya kacau, riwayat darinya tidak bisa diterima. Pandangan ini dikemukakan oleh Ad-Daruquthni. Tidak ada yang memberimu informasi melebihi orang yang berpengalaman. Ad-Dzahabi membantah komentar Ibnu Hibban yang menyatakan, “Bahwasanya banyak hadits munkar ada padanya.” “Ibnu Hibban gagal menyebutkan satu hadits munkarnya. Lalu di manakah dugaannya ?” (Mizaanul I’tidal vol. IV hlm. 8). Adapun Sa’id ibn Zaid, ia adalah figur yang sangat jujur yang terkadang salah mengutip kalimat hadits. Demikian pula profil ‘Amr ibn Malik An-Nukri. Sebagaimana penilaian Ibnu Hajar mengenai keduanya dalam At-Taqrib.Ulama menetapkan bahwa ungkapan Shaduuq Yahimu adalah termasuk ungkapan-ungkapan untuk memberikan kepercayaan bukan ungkapan untuk menilai lemah. (Tadribu Ar-Raawi). Adapun Abul Jauzaa’, maka ia adalah Aus ibn Abdillah Ar-Rib’i. Ia termasuk figur yang dapat dipercaya dari para perawi Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim. Berarti sanad hadits di atas adalah tidak mengandung masalah, malah dalam pandangan saya dapat dikategorikan baik. Para ulama mau menerima dan menjadikan penguat banyak sanad semisalnya dan dengan para perawi yang kualitasnya lebih rendah dari sanad hadits ini.

Nabi bersabda kepada Mu’adz saat diutus ke Yaman : (فلعلك تمر بقبري ومسجدي) "Barang kali engkau akan melewati kuburan dan masjidku ini." (HR Ahmad dan Thabarani). Para perawi dari keduanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya kecuali Yazid yang tidak pernah mendengar dari Mu’adz. (Majma’uz Zaawaid vol. 10 hal. 55). Kemudian Rasulullah SAW meninggal dunia dan Mu’adz mendatangi kuburannya sambil menangis. Tindakan Mu’adz ini diketahui oleh ‘Umar ibnu Khattab. Lalu keduanya terlibat dalam pembicaraan sebagaimana diriwayatkan oleh Zaid ibnu Aslam dari ayahnya yang berkata : ‘Umar pergi ke masjid dan melihat Mu’adz sedang menangis di dekat kuburan Nabi. “ Apa yang membuatmu menangis? tanya ‘Umar. ” Saya mendengar hadits Rasulullah yaitu : (اليسير من الرياء شرك) "Sedikit dari riya adalah syirik.

"Hakim berkata, Hadits ini shahih dan tidak diketahui tidak memiliki ‘illat. Adz-Dzahabi sepakat dengan Hakim bahwa hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illat. (Tersebut dalam Al-Mustadrok vol.1 hal. 4). Al-Mundziri berkata dalam kitab At-Targhib At-Tarhib : Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim. Hakim berkata : Hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illat, dan Al-Mundziri sepakat dengan pandangan Al-Hakim. (vol. 1 hal. 32).

kesimpulannya......

Kisah di atas membantah pandangan kalangan tertentu dan menegaskan bahwa Nabi SAW, di dalam kuburnya, sangat memperhatikan ummatnya sampai sesudah wafat. Adalah fakta bahwa Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar. (HR Ahmad).

Al-Hafidh Al-Haitsami menyatakan, “Para perawi atsar di atas itu sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih (Majma’uz Zawaaid vol 8 hlm. 26). Al-Hakim meriwayatkanya dalam Al-Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Adz-Dzahabi sama sekali tidak mengkritiknya. (Majma’uz Zawaid vol. 4 hal. 7).‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa tujuan, justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui siapakah yang orang yang berada didekat kuburan mereka.

>>>>Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa atsar di atas berstatus mauquf pada ‘Aisyah yang notabene shahabat perempuan dan praktek shahabat itu bukan hujjah, maka jawabannya adalah bahwa atsar tersebut meskipun opini ‘Aisyah namun beliau dikenal sebagai perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang luas dan tindakannya dilakukan di kota Madinah di tengah para ulama shahabat. Dari kisah yang terkandung dalam atsar ini cukup bagi kita untuk menjadikannya sebagai dalil bahwa ‘Aisyah Ummul mu’minin mengetahui bahwa sesudah wafat, Rasulullah SAW senantiasa menyayangi dan mensyafa`ati ummatnya, dan bahwa orang yang berziarah ke kuburannya dan memohon syafa`atnya akan diberi syafa`at oleh beliau, sebagaimana praktek yang telah dilakukan Ummul mu’minin ‘Aisyah. Tindakan ‘Aisyah membuat lubang pada tempat makam Rasulullah tidak dikategorikan kemusyrikan atau perantara kemusyrikan sebagaimana tuduhan yang disuarakan orang-orang yang suka mengkafirkan dan menuduh sesat. Karena ‘Aisyah dan orang yang menyaksikannya bukan termasuk mereka yang buta terhadap kemusyrikan dan hal-hal yang mengantar kepada kemusyrikan.

OLEH: ABUYA AS SAYYID MUHAMMAD AL MALIKI.