Jumat, 15 April 2011

Mengapa kita Memperingati Hari Kelahiran Nabi Saw?

Memperingati hari kelahiran dan kematian para wali dan orang-orang suci lainnya, menurut pendapat kelompok Wahabi merupakan perbuatan bid’ah, dan dengan sendirinya haram suatu pendapat yang menggambarkan permusUHan mereka terhadap para pembesar agama dan kekasih-kekasih Tuhan.
Ketua kelompok Anshar As-Sunnah Al-Muhammadiyah, Muhammad Hamid Faqi dalam, catatan kaki yang diberikannya untuk buku Al-Fath AlMajid menulis:
“Peringatan-peringatan hari kelahiran atau kematian para wali yang merata di seluruh negeri adalah salah satu bentuk peribadatan dan ta’dzim (penghormatan) kepada mereka” [1]
Satu hal yang merupakan akar semua kesalahan kaum Wahabi adalah: mereka tidak memberikan definisi yang jelas untuk pengertian syirik dan tauhid, dan khususnya bagi kata ibadah, sehingga mereka berkesimpulan bahwa semua peringatan adalah identik dengan penyembahan.
Seperti yang dapat kita amati, mereka mensejajarkan dua kata: ta’dzim dan ibadah dalam pembicaraan mereka, dan menganggap keduanya mempunyai arti yang sama.
Dalam pembahasan yang akan datang, kita akan menerangkan arti “ibadah” dengan jelas, dan bahwa setiap penghormatan dan pengagungan kepada hamba-hamba Allah yang saleh –sejauh dalam selama bersamaan batas dan keyakinan bahwa mereka adalah hamba-hamba bukan merupakan penyembahan- Kita akan membahasnya dari segi yang lain lagi.
Tidak ada keraguan bahwa Al-Quran dengan ungkapan-ungkapannya yang fasih dan penuh sastra, berkali-kali memuji kelompok para Nabi dan Wali. Berkenaan dengan Nabi Zakaria dan Nabi Yahya, Allah berfirman:
“. . Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik, dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (AI-Anbiya’: 90)
Lalu, jika ada orang yang memperingati mereka dan dalam majelisnya ia mengagungkan mereka sesuai dengan kandungan ayat tersebut, bukankah berarti dia telah mengikuti Al-Quran? Berkenaan dengan keluarga Nabi, Allah berfirman:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.”
Kini, jika para pengikut Ali bin Abi Thalib pada hari kelahirannya berkumpul dan berkata bahwa Ali adalah seorang yang memberikan makannya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan, apakah berarti mereka telah menyembahnya?
Jika di hari kelahiran Nabi, kita berkumpul dan membacakan ayat-ayat, yang memuji Nabi saw, atau kita gubah dalam bentuk puisi, maka apakah kita telah berbuat sesuatu yang haram?
Mereka, kaum Wahabi, adalah orang-orang yang menentang penghormatan kepada Nabi dan Wali, dan untuk itu mereka menggunakan alasan bahwa mereka bermaksud memerangi bid’ah.
Pernyataan yang diketengahkan dan selalu dijadikan sandaran oleh para juru bicara kelompok Wahabi adalah: “Apabila majelis-majelis dan pertemuan-pertemuan ini diadakan atas nama agama dan dinishabkan kepada Islam, maka harus ada pembenaran (dalil), baik secara khusus atau umum, dari Islam. Jika tidak ada, berarti perbuatan itu bid’ah dan haram”. Jawaban atas pernyataan itu adalah mudah, cukup dengan mengutip ayat-ayat yang memerintahkan kita menghormati Nabi, dan langkah ini adalah tepat, sebab bid’ah adalah sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Al-Quran atau Sunnah Nabi, baik secara khusus atau umum.
Tujuan peringatan-peringatan yang sudah merupakan kebiasaan bagi seluruh bangsa di dunia, yang ditujukan kepada para pemuka mereka, tidak lain dimaksudkan hanya sebagai penghormatan kepada mereka. Apabila perbuatan itu, sebagaimana pendapat kelompok Wahabi, adalah bid’ah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka tidak mungkin para ulama di setiap negeri merayakan hari kelahiran Nabi, dengan membacakan tulisan-tulisan serta puisi yang indah dan manis, yang memeriahkan majelis mereka.
Dalil-dalil yang membolehkan perbuatan tersebut adalah sebagai berikut:
Dalil Pertama:
Al-Quran memuji orang-orang yang memuliakan Nabi dengan firman-Nya:
فالذين امنوا به و عزروه ونصروه واتبعوا النور الذى انزل معه اولئك هم المفلحون
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi) dan memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (AI-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Al -Araaf: 157)
Kalimat-kalimat yang ada dalam ayat ini adalah:
1. Beriman kepadanya;
2. memuliakannya;
3. dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Quran).
Tidak seorang pun yang mengatakan bahwa tiga kalimat di atas berlaku terbatas hanya pada masa Nabi saw. Dengan demikian kata-kata ( و عزروه ) di dalam, ayat yang berarti “mengagungkan dan menghormati” [2] juga bukan hanya berlaku pada masa hidup Rasul saw., melainkan beliau harus senantiasa tetap dihormati dan diagungkan, selamanya.
Apakah mengadakan peringatan di hari dibangkitkan atau dilahirkannya Rasulullah saw. dan ceramah serta membaca puisi yang membangun tidak termasuk substansi kata-kata ( و عزروه ) ?
Aneh! Kaum Wahabi begitu mengagung-agungkan dan merendah di hadapan penguasa-penguasa mereka, yakni manusia biasa, namun jika untuk Nabi, mimbar atau mihrab beliau, perlakuan yang sama -bahkan dalam hadis jauh lebih kecil– oleh mereka dinyatakan sebagai perbuatan bid’ah dan bertetangan dengan Islam. Akibatnya, mereka mengenalkan agama Islam kepada bangsa-bangsa di dunia sebagai agama yang “kering”, yang sunyi dari perasaan dan naluri. Juga, sebagai akibatnya, syari’at yang mudah, yang sesuai dengan fitrah manusia serta yang mengandung pandangan yang tinggi dalam menarik-orang-orang, mereka kenalkan sebagai ajaran “kosong”, yang tidak memperhatikan fitrah manusia serta tidak mampu menarik umat sedunia.
Dalil Kedua:
Mereka yang tidak setuju dengan didirikannya majlis untuk Syuhada, apakah yang akan mereka katakan sehubungan dengan kisah Nabi Ya’qub?
Hukum apakah yang akan mereka tetapkan apabila Nabi yang agung ini hidup di antara orang-orang Najd dan para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab?
Siang dan malam, disebabkan perpisahannya dengan anaknya, Yusuf as., ia selalu menangis dan mencari ke sana ke mari. Begitu menderitanya akibat perpisahan itu, ia pun akhirnya kehilangan penglihatannya. [3]
Rasa sakit dan hilangnya penglihatan tidak menyebabkan ia dapat melupakan Yusuf as. dari benak. Bahkan, karena adanya janji akan pertemuan, ia senantiasa berharap-harap dan merasa bahwa waktu yang dijanjikan itu telah dekat. Hal itu membuat api kerinduan kepada putranya yang tersayang, semakin menyala-nyala di hati Ya’qub as. Itulah sebabnya, maka dari jarak jauh ia telah dapat mencium bau Yusuf as [4], dan apabila seharusnya bintang (Yusuf) yang menanti mentari (Ya’qub), kini justru Ya’qub yang mencari-cari Yusuf as.
Jika penampakan kasih sayang kepada orang yang masih hidup dan yang dicintai, yakni Yusuf as, dihukumi sebagai hal yang dapat dibenarkan dan dianggap sebagai inti tauhid, maka mengapa jika setelah wafatnya orang merasakan kepedihan dan kesedihan yang lebih dari itu, penampakan perasaan-perasaan yang sama itu menjadi haram dan digolongkan sebagai perbuatan syirik?
Apabila kini “Ya’qub-Ya’qub” modern setiap tahun berkumpul memperingati hari kematian “Yusuf-Yusuf” pada masanya, dan menyebut-nyebut perilaku dan karakter jiwa “Yusuf-Yusuf” mereka serta meneteskan air mata keharuan, apakah dengan perbuatan ini mereka berarti telah menyembah anak-anak mereka? [5]
Dalil Ketiga:
Al-Quran dengan tegas memerintahkan kita untuk mencintai keluarga Nabi saw, namun setelah 14 abad dari masa hidup mereka, apakah yang harus diperbuat oleh orang yang akan melaksanakan kewajiban itu? Apakah caranya bukan dengan turut merasa gembira pada hari-hari kegembiraan mereka, dan merasa sedih pada hari-hari kesedihan mereka?
Dan jika untuk menampakkan kegembiraan lalu ia mendirikan perayaan yang menyebut kembali sejarah hidup dan perjuangan mereka, atau untuk menampakkan kesedihan ia membaca kembali kisah ketertindasan dan terampasnya hak-hak mereka, apakah ia, selain menampakkan rasa cintanya kepada keluarga Nabi saw., juga telah berbuat sesuatu yang lain ?
Apabila demikian halnya, menurut pendapat kaum Wahabi, maka itu sama saja halnya dengan mengatakan bahwa menurut kaum Wahabi, rasa cinta dan sayang harus disimpan dan disembunyikan di dada, tidak seorang pun berhak menampakkannya.
Pada masa Nabi saw. dan masa setelah beliau-yang merupakan masa perubahan keyakinan dan pemikiran-umat dan kaum yang beraneka-ragam, menyambut dan memeluk agama Islam dengan budaya dan tradisi yang bermacam-macam. Namun demikian, hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, Islam mereka diterima. Nabi saw. dan pemimpin setelah beliau tidak memerintahkan perombakan tradisi ummat yang telah memeluk agama Islam, atau memerintahkan untuk meleburnya menjadi satu, untuk kemudian diubah dalam bentuk yang sama sekali berbeda dari yang dulu.
Penghormatan kepada para pembesar, memperingati mereka, berziarah ke makam mereka, menampakkan kecintaan kepada mereka melalui peninggalan-peninggalan mereka, merupakan hal yang biasa di kalangan semua bangsa di dunia. Di Barat dan Timur, berbagai bangsa berdiri berjam-jam dalam barisan untuk menyaksikan tubuh para pemimpin mereka yang telah dimumikan, guna menunjukkan kecintaan mereka. Air mata-pun menetes dari sudut-sudut mata mereka. Mereka yakin bahwa perbuatan itu merupakan salah satu cara menampakkan penghormatan yang bersumber dari lubuk hati mereka yang paling dalam.
Untuk menerima Islam mereka, Rasulullah saw. tidak pernah memeriksa tradisi dan tata cara hidup mereka, akan tetapi cukup dengan menyuruh mereka membaca dua kalimah syahadah. Apabila perilaku dan kebiasaan mereka dianggap haram atau dianggap sebagai ibadah kepada selain Allah (syirik) niscaya Rasulullah saw. tidak akan menerima Islam mereka begitu saja.
Dalil Keempat:
Al-Masih as. ketika memohon makanan dari surga menamakan hari diturunkannya sebagai hari ‘Ied (hari raya) seperti disebutkan dalam ayat:
“Isa putera Maryam berdoa: Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya (Ied) bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang bersama kami; dan menjadi tanda bagi Engkau. Beri rezkilah kami, dan Engkau-lah Pemberi rezki Yang Paling Utama” (Al-Qur’an, Surat Al-Maidah. ayat: 114)
Apakah nilai Nabi saw. lebih kecil dari sebuah hidangan langit yang hari turunnya dinamakan oleh Al-Masih as. sebagai hari “led”? Apabila hari itu kemudian dirasakan karena hidangan tersebut merupakan tanda dari Allah, maka bukankah Nabi saw. merupakan tanda yang terbesar di antara tanda-tanda Allah yang lain?
Alangkah celaka orang yang mau merayakan hari turunnya hidangan dari langit yang hanya dapat mengenyangkan perut, namun hari turunnya Al-Quran dan hari dibangkitkannya para Nabi yang akan menyempurnakan pemikirau manusia sepanjang masa, ia lewatkan begitu saja. Apalagi kemudian ia berpendapat bahwa penampakkan kegembiraan dengan cara seperti itu, merupakan sebagian dari perbuatan bid’ah.
Dalil Kelima:
Allah berfirman dalam Al-Quran:
“Dan telah Kami tinggikan namamu” (Al-Qur’an, Surat Al-Insyirah, ayat: 4)
Apakah mendirikan majlis perayaan pada hari kelahiran Nabi saw, akan menghasilkan sesuatu selain dari meninggikan nama beliau? Mengapa kita harus meninggalkan Al-Quran yang merupakan suri tauladan bagi kita?(kajianislam)
_____________________
[1] Fath al-Majid, hal. 154.
Pada saat kami sibuk menulis buku ini, kaum Muslimin diseluruh penjuru dunia sedang mengadakan perayaan-perayaan bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Saw. Mufti Saudi, Bin Baz, mengharamkan segala macam peringatan kelahiran Nabi, dan menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah. Namun pada waktu yang sama ia mengundang Faisal bin Abdul Aziz, ketika masih berkuasa, dengan sebutan Amirul Mu’minin. hal ini sangat mencolok, hingga raja sendiri dengan rendah hati meminta agar tidak dipanggil dengan gelar tersebut.
[2] Lihat Mufradat AI-Quran, Raghib kata ‘azara
[3] Surat Yusuf, ayat 84.
[4] Surat Yusuf, ayat 94.
[5] Di camping itu ada pula riwayat-riwayat mutawatir mengenai mendirikan upacara-upacara Aza’ (ratapan) dalam rangka memperingati keluarga Rasul yang dizalimi. Ibrahim Amini telah mengumpulkan riwayat-riwayat tersebut, yang juga terdapat dalam buku-buku saudara-saudara kita Ahlus Sunnah, yakni buku Siratuna wa Sunnatuna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar