Jumat, 23 November 2012

KETERANGAN TENTANG TAHLILAN....

Tahlilan adalah sedekah tahlil


Sedekah tahlil atau tahlilan hukum asalnya adalah boleh, menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau meratapi kematian, menjadi haram jika dibiayai dari harta yang terlarang (haram), atau d
ari harta mayyit yang memiliki tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.

Sedekah tahlil atau tahlilan disampaikan oleh para ulama yang sholeh dari keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Wali Songo

Sebelum kedatangan para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan atau ke-riang-an lainnya.

Para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi “berkumpul di rumah duka” berjalan, hanya saja diisi dengan kegiatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta mendatangkan manfaat bagi ahli kubur, keluar ahli kubur dan para pembaca tahlil.

Begitupula dengan pendapat Imam Asy Syafi’i berkata dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan.”

Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan. Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan dibayar. Perkumpulan ratapan dan tangisan yang tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dg ma’tam yg dimasa Jahiliyah, karena jika ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya

Hal yang harus kita ingat bahwa kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adalah “Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti Makruh.

Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah. Makna makruh secara bahasa adalah benci, makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.

Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib

Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram

Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits.

Ke-makruh-an timbul jika ahli waris dapat menimbulkan suasana hati yang disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “memperbaharui kesedihan” atau kemungkinan timbul suasana hati yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.

Bagaimanapun sedekah tahlilan memang ada terrekam dalam kitab-kitab ulama-terdahulu pada masa Tabi’in

Dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:

قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال

ال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

Artinya:

“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.

Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”

Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:

ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول

Artinya:

“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.

Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=203798782998090&set=a.203798676331434.52004.100001039095629

Kalau sekarang di Arab Saudi mereka telah meninggalkan sedekah tahlil (tahlilan) namun mereka diduga masih melakukan acara “berkumpul di rumah duka” yang diisi dengan sekedar “obrolan-obrolan” yang menurut mereka untuk “menghibur” keluarga ahli kubur. Wallahu a’lam

Janganlah karena kebiasaan sedekah tahlil (tahlilan) ditinggalkan oleh orang Arab Saudi lalu kita mengharamkan tahlilan karena mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla sama dengan menyekutukan Allah.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)

Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)

Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Tahlilan atau sedekah tahlil adalah sedekah atas nama ahli kubur yang diselenggarakan oleh keluarga ahli kubur sedangkan peserta tahlilan bersedekah diniatkan untuk ahli kubur dengan tahlil, pembacaan surah Yasiin, Al Fatihah, dzikir dan doa

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا

Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)

Contoh sedekah oleh bukan keluarga

Pernah dicontohkan bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda: “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674)

Bukankah Imam Syafi’i ~rahimahullah berpendapat bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada si mayyit ?

Latar belakang Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.

Syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati) jika niat tidak lurus seperti niat “jual-beli” maka pahala bacaan tidak akan sampai. Dituntut keikhlasan bagi setiap yang bersedekah baik dalam bentuk harta maupun dalam bentuk bacaan Al Qur’an.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (HR Muslim 4651).

Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut

1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit),
2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit

Hal yang perlu kita ingat selalu adalah yang dapat memahami dan menjelaskan perkataan Imam Mazhab yang empat adalah pengikut Imam Mazhab yang empat bukan pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, pengikut ulama Ibnu Taimiyyah ataupun pengikut ulama Al Albani dan lain-lainnya

Pengikut Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat

Imam An Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55). Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.

Hal ini dijelaskan contohnya oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :

أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض

“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. (Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23]).

Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :

قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له

“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].)

Wassalam

Rabu, 24 Oktober 2012

Benarkah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari Melalui 3 Fase Pemikiran? [Seperti yang diisukan Wahabiyyin]

Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.
Artikel ini masih berkaitan dengan artikel sebelumnya yang membahas Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.

Pengantar

Khusus kepada mereka yang JUJUR dan BENAR-BENAR ingin memahami tentang jawaban dari dakwaan golongan Wahabi mengenai al-Imam Abu al-Hasan al-Asy`ari bertaubat dari manhaj yang disusun oleh beliau sekarang ini. Kami sediakan artikel ini agar kekeliruan yang dicetuskan oleh golongan Wahabi ini dapat dipadamkan. Artikel ini perlu dibaca sehingga habis, jika tidak maka anda tidak akan faham. Baca perlahan-lahan, seksama dan hindarkan membaca dalam keadaan emosi.
Ada artikel yang tersebar di kalangan sebagian pakar, khususnya di kalangan golongan wahhabi yang mengatakan bahwa perjalanan pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan dalam kehidupan beliau. (Lihat Mauqif Ibn Taimiyah min al-Asya`irah, Abd al-Rahman bin Saleh al-Mahmud(1995), Maktabah al-Rusyd, Riyadh, hal. 378.)
Pertama: Fase ketika al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengikuti fahaman Muktazilah dan menjadi salah satu tokoh Muktazilah hingga berusia 40 tahun. 
Kedua: Fase di mana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari aliran Muktazilah dan merintis mazhab pemikiran teologis (ilmu akidah) dengan mengikuti mazhab Ibn Kullab.
Ketiga: Fase di mana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada mazhab yang dirintisnya yaitu mengikuti mazhab Ibn Kullab dan kembali kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikut manhaj Salaf al-Salih dengan mengarang sebuah kitab yang berjudul al-Ibanah `an Usul al-Diyanah.
Berdasarkan hal ini, golongan Wahabi membuat kesimpulan bahwa mazhab al-Asy`ari yang berkembang dan diikuti oleh mayoritas kaum muslimin hingga dewasa ini adalah pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pada fase kedua yaitu mengikuti mazhab Ibn Kullab yang bukan merupakan pemahaman Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan telah dibuang oleh al-Imam al-Asy`ari, dengan kitab terakhir yang ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yaitu al-Ibanah `an Usul al-Diyanah.
Dengan demikian, mazhab al-Asy`ari yang ada sekarang sebenarnya mengikuti mazhab Ibn Kullab yang bukan dari faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan tidak mengikuti mazhab al-Asy`ari dalam fase ketiga yang asli yaitu Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah. Inilah kenyataan dari artikel yang direka oleh golongan Wahabi/Salafi. Dakwaan ini disebar secara menyeluruh oleh mereka pada dewasa ini.
Karena itu, artikel yang dibuat oleh golongan Wahhabi ini sudah tentu mempunyai banyak dusta mengenai fakta sejarah dan fakta ilmiah. Sebelum kita mengkaji artikel di atas satu persatu, ada baiknya kita memerincikan terlebih dahulu makna yang tersembunyi di balik artikel itu. Apabila hal tersebut dikaji, ada tiga makna yang tersembunyi di balik artikel tersebut.
Pertama: Perkembangan pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase di dalam kehidupannya, yaitu Muktazilah, mengikuti mazhab Ibn Kullab dan terakhir sekali, beliau kembali kepada ajaran Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah. Ini adalah artikel pokok yang dipropagandakan oleh golongan Wahabi. Artikel ini menyembunyikan dua artikel di baliknya.
Kedua: Abdullah bin Sa`id bin Kullab bukan pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.
Ketiga: Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah merupakan fase terakhir dalam kehidupan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yaitu fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepangkuan ajaran Salaf al-Salih atau Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.

SANGGAHAN / BANTAHAN

PERTAMA, BENARKAH IMAM ABU HASAN AL-ASY’ARI MELALUI TIGA FASE PEMIKIRAN ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengamati dan mengkaji sejarah kehidupan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yang ditulis oleh para alim ulama’. Al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari merupakan salah seorang tokoh kaum Muslimin yang sangat masyhur dan mempunyai fakta yang jelas. Beliau bukan tokoh kontroversial dan bukan tokoh yang misteri yaitu perjalanan hidupnya tidak diketahui orang, lebih-lebih lagi berkaitan dengan hal yang amat penting seperti yang kita bicarakan ini. Seandainya kehidupan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari seperti kenyataan dalam artikel yang direkayasa oleh Wahhabi/Salafi Palsu itu, menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan pemikiran, maka sudah tentu para sejarawan akan menyatakannya dan menjelaskannya di dalam buku-buku sejarah. Maklumat mengenai ini juga sudah pasti akan masyhur dan tersebar luas sebagaimana fakta sejarah hanya menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya bertaubat dan meninggalkan faham Muktazilah saja.
Semua sejarawan yang menulis biografi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya menyatakan kisah naiknya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari ke atas mimbar di masjid Jami` Kota Basrah dan berpidato dengan menyatakan bahwa beliau telah keluar dari faham Muktazilah. Di sini kita bertanya, adakah sejarawan yang menyatakan kisah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari faham pemikiran Abdullah bin Sa`id bin Kullab? Sudah tentu jawabannya, tidak ada.
Apabila kita menelaah atau meneliti buku-buku sejarah, kita tidak akan mendapatkan fakta atau maklumat yang mengatakan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari bertaubat dari ajaran Ibn Kullab baik secara jelas maupun samar. Oleh karena itu, maklumat atau fakta yang kita dapati adalah kesepakatan para sejarawan bahwa setelah al-Imam Abu Hassan al-Asy`ari bertaubat daripada faham Muktazilah, beliau kembali kepada ajaran Salaf al-Salih seperti kitab al-Ibanah dan lain-lain yang ditulisnya dalam rangka membela mazhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.

Al-Imam Abu Bakr bin Furak berkata:

“Syaikh Abu al-Hassan Ali bin Ismail al-Asy`ari radiyallahu`anhu berpindah daripada mazhab Muktazilah kepada mazhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan membelanya dengan hujjah-hujjah rasional dan menulis karangan-karangan dalam hal tersebut…” (Tabyin Kidzb al-Muftari, al-Hafiz Ibn Asakir(1347H) tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats, cet.1, 1420H, hal 104)
Sejarawan terkemuka, al-Imam Syamsuddin Ibn Khallikan berkata: “Abu al-Hassan al-Asy`ari adalah perintis pokok-pokok akidah dan berupaya membela mazhab Ahl al-Sunnah. Pada mulanya Abu al-Hassan adalah seorang Muktazilah, kemudian beliau bertaubat dari pandangan tentang keadilan Tuhan dan kemakhlukan al-Quran di masjid Jami` Kota Basrah pada hari Jum’at”. (Wafayat al-A’yan, al-Imam Ibn Khallikan, Dar Shadir, Beirut, ed. Ihsan Abbas, juz 3, hal. 284)
Sejarawan al-Hafiz al-Dzahabi berkata: “Kami mendapat informasi bahawa Abu al-Hassan al-Asy`ari bertaubat dari faham Muktazilah dan naik ke mimbar di Masjid Jami’ Kota Basrah dengan berkata, “Dulu aku berpendapat bahwa al-Quran itu makhluk dan Sekarang aku bertaubat dan bertujuan membantah terhadap faham Muktazilah”. (Siyar A`lam al-Nubala, al-Hafidz al-Dzahabi, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed. Syuaib al-Arnauth, 1994, hal. 89)
Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun berkata: “Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari dan berdebat dengan sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan aslah, lalu dia membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan mengikut pendapat Abdullah bin Said bin Kullab, Abu al-Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari kalangan pengikut Salaf dan Ahl al-Sunnah”. (Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut,  ed. Khalil Syahadah, hal. 853)
Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa`id bin Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut ulama’ Salaf  dan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.
Demikian juga, fakta sejarah yang dinyatakan di dalam buku-buku sejarah yang menulis biografi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari seperti Tarikh Baghdad karya al-Hafiz al-Khatib al-Baghdadi, Tabaqat al-Syafi`iyyah al-Kubra karya al-Subki, Syadzarat al-Dzahab karya Ibn al-Imad al-Hanbali, al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn al-Atsir, Tabyin Kizb al-Muftari karya al-Hafiz Ibn Asakir, Tartib al-Madarik karya al-Hafiz al-Qadhi Iyadh, Tabaqat al-Syafi`iyyah karya al-Asnawi, al-Dibaj al-Muadzahhab karya Ibn Farhun, Mir`at al-Janan karya al-Yafi`i dan lain-lain, semuanya sepakat bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari faham Muktazilah, beliau kembali kepada mazhab  Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi Salaf.
Disamping itu, seandainya al-Imam Abu Hassan al-Asy`ari ini melalui tiga tahap aliran pemikiran, maka sudah tentu hal tersebut akan diketahui dan dikutip oleh murid-murid dan para pengikutnya karena mereka semua adalah orang yang paling dekat dengan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dan orang yang melakukan kajian tentang pemikiran dan sejarah perjalanan hidupnya. Oleh itu sudah semestinya mereka akan lebih mengetahui daripada orang lain yang bukan pengikutnya, lebih-lebih lagi melibatkan tokoh besar yaitu al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yang pasti menjadi buah mulut pelajar dan para alim ulama’. Oleh itu jelaslah, bahwa ternyata setelah kita merujuk pada kenyataan murid-murid dan para pengikut al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari, kita tidak akan menemui fakta sejarah yang menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan telah melalui tiga fase pemikiran yang di dakwa oleh golongan Wahabi/Salafi Palsu.
Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dan para pengikutnya bersepakat bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan faham Muktazilah dan beliau berpindah kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah seperti yang diikuti oleh al-Harits al-Muhasibi, Ibn Kullab, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lain-lain.
Apabila kita mengkaji karya-karya para alim ulama’ yang mengikut dan pendukung mazhab al-Asy`ari seperti karya-karya yang dikarang oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, al-Syaikh Abu Bakr bin Furak, Abu Bakr al-Qaffal al-Syasyi, Abu Ishaq al-Syirazi, al-Hafiz al-Baihaqi dan lain-lain. Kita semua tidak akan menemukan satu fakta pun yang menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan mazhab yang dihidupkan kembali olehnya yaitu Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, sehingga tidak rasional apabila golongan Wahhabi/Salafi dakwaan mengatakan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan mazhabnya tanpa diketahui oleh para murid-muridnya dan pendukungnya. Ini adalah kenyataan yang tidak masuk akal dan dusta yang sama sekali jauh dari kebenaran.
Golongan Wahabi/Salafi gadungan ini menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan mazhab yang dirintiskan olehnya bersandarkan metodologi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitabnya al-Ibanah `an Usul al-Diyanah dan sebagian kitab-kitab lainnya yang mengikuti metodologi tafwidh berkaitan sifat-sifat Allah di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Metodologi tafwidh ini adalah metodologi mayoritas ulama’-ulama’ Salaf al-Salih. Berdasarkan hal ini, al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dianggap  menyalahi atau meninggalkan metodologi Ibn Kullab yang tidak mengikuti metodologi salaf sebagaimana yang di dakwa oleh golongan Wahabi ini.
Dari sini lahirlah sebuah pertanyaan, apakah isi kitab al-Ibanah yang di dakwa sebagai mazhab Salaf bertentangan dengan metodologi Ibn Kullab, atau dengan kata lain, adakah Ibn Kullab bukan pengikut mazhab Salaf seperti yang ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah? Pertanyaan di atas membawa kepada kita untuk mengkaji kenyataan berikutnya.

KEDUA, APAKAH IBN KULLAB BUKAN ULAMA’ SALAF DAN AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA`AH ?

Setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan faham Muktazilah, dia mengikuti metodologi Abdullah bin Sa`id bin Kullab al-Qaththan al-Tamimi. Artikel tersebut telah menjadi kesepakatan bagi kita dengan kelompok yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase, tetapi mereka berbeda dengan kita, karena kita mengatakan bahawa metodologi Ibn Kullab sebenarnya sama dengan metodologi Salaf, kerana Ibn Kullab sendiri termasuk dalam kalangan tokoh ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi Salaf. Hal ini bisa dilihat dengan memperhatikan pernyataan para ulama’ berikut ini.
Al-Imam Tajuddin al-Subki telah berkata: “Bagaimanapun Ibn Kullab termasuk Ahl al-Sunnah, Aku melihat al-Imam Dhiyauddin al-Khatib, ayah al-Imam Fakhruddin al-Razi, menyebutkan Abdullah bin Said bin Kullab di dalam akhir kitabnya Ghayat al-Maram fi `Ilm al-Kalam, berkata: “Di antara teologi Ahl al-Sunnah pada masa khalifah al-Makmun adalah Abdullah bin Said al-Tamimi yang telah mengalahkan Muktazilah di dalam majlis al-Makmun dan memalukan mereka dengan hujjah-hujjahnya” (Al-Subki (t.t), Tabaqat al-Syafi`iyyah al-Kubra, Dar Ihya’ al-Kutub, Beirut, ed Abdul Fattah Muhammad dan Mahmud al-Tanahi, juz 2, hal. 300)
Al-Hafiz Ibn Asakir al-Dimasyqi telah berkata: “Aku pernah membaca tulisan Ali ibn Baqa’ al-Warraq, ahli hadits dari Mesir, berupa risalah yang ditulis oleh Abu Muhammad Abdullah ibn Abi Zaid al-Qairawani, seorang ahli fiqih mazhab al-Maliki. Dia adalah seorang tokoh terkemuka mazhab al-Imam Malik di Maghrib (Maroko) pada zamannya. Risalah itu ditujukan kepada Ali ibn Ahmad ibn Ismail al-Baghdadi al-Muktazili sebagai jawaban terhadap risalah yang ditulisnya kepada kalangan pengikut mazhab Maliki di Qairawan kerana telah memasukkan pandangan-pandangan Muktazilah. Risalah tersebut sangat panjang sekali, dan sebagian jawaban yang ditulis oleh Ibn Abi Zaid kepada ‘Ali bin Ahmad adalah sebagai berikut: Engkau telah menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah, padahal engkau tidak pernah menceritakan satu pendapatpun dari Ibn Kullab yang membuktikan dia memang layak disebut ahli bid`ah. Dan kami sama sekali tidak mengetahui adanya orang (ulama ’) yang menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah. Justru fakta yang kami terima, Ibn Kullab adalah pengikut sunnah (ahl al-Sunnah) yang melakukan bantahan terhadap Jahmiyyah dan pengikut ahli bid`ah lainnya, dia adalah ‘Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab (al-Qaththan, wafat 240H)”. (Tabyin Kidzb al-Muftari oleh al-Hafiz Ibn Asakir(1347H) tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats, cet.1, 1420H, hal 298 – 299)
Data sejarah yang disampaikan oleh al-Hafiz Ibn Asakir di atas adalah kesaksian yang sangat penting dari ulama’ sekaliber al-Imam Ibn Abi Zaid al-Qairawani terhadap Ibn Kullab, bahwa ia termasuk pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan bukan pengikut ahli bid`ah.
Al-Hafiz al-Dzahabi telah berkata: “Ibn Kullab adalah seorang tokoh ahli kalam (teologi – ilmu yg berkaitan dengan ketuhanan) daerah Bashrah pada zamannya.” Selanjutnya al-Dzahabi berkata: Ibn Kullab adalah ahli kalam yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah bahkan ia adalah juru debat ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah (terhadap Mu’tazilah). Ia mempunyai karya diantaranya al-Shifat, Khalq al-Af’al dan al-Radd ‘ala al-Mu’tazilah”. (Lihat Siyar A’lam al-Nubala, Maktabah al-Shafa, cet.1, 1424H, juz 7, hal 453)
Di dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala yang ditahqiqkan oleh Syeikh Syuaib al-Arnauth, pernyataan al-Dzahabi tersebut dipertegas oleh al-Syeikh Syuaib al-Arnauth dengan komentarnya mengatakan: “Ibn Kullab adalah pemimpin dan rujukan Ahl al-Sunnah pada masanya. Al-Imam al-Haramain menyebutkan di dalam kitabnya al-Irsyad bahwa dia termasuk sahabat kami (mazhab al-Asy`ari)”. (Siyar A’lam an-Nubala cetakan Muassasah al-Risalah (1994), Beirut, ed. Syuaib al-Arnauth, juz 11, hal. 175)
Demikian pula al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani menyatakan bahwa Ibn Kullab sebagai pengikut Salaf dalam hal meninggalkan takwil terhadap ayat-ayat dan hadith-hadith mutasyabihat yang berkaitan dengan sifat Allah. Mereka juga disebut dengan golongan mufawwidhah (yang melakukan tafwidh).(Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.), Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)
Dari paparan di atas dapatlah disimpulkan bahawa al-Imam Ibn Kullab termasuk dalam kalangan ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan konsisten dengan metodologi Salaf al-Salih dalam pokok-pokok akidah dan keimanan. Mazhabnya menjadi inspirasi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari (perintis mazhab al-Asy`ari).
Di sini mungkin ada yang bertanya apakah metodologi Ibn Kullab hanya diikuti oleh al-Imam al-Asy`ari?
Jawabannya adalah tidak. Metodologi Ibn Kullab tidak hanya diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari saja, akan tetapi diikuti juga oleh ulama’ besar seperti al-Imam al-Bukhari yaitu pengarang Sahih al-Bukhari, kitab hadits yang menduduki peringkat terbaik dalam segi kesahihannya. Dalam konteks ini, al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani telah berkata :
“Al-Bukhari dalam semua yang disajikannya berkaitan dengan penafsiran lafaz-lafaz yang gharib (aneh), mengutipnya dari pakar-pakar bidang tersebut seperti Abu Ubaidah, al-Nahzar bin Syumail, al-Farra’ dan lain-lain. Adapun kajian-kajian fiqh, sebagian besar diambilnya dari al-Syafi’i, Abu Ubaid dan semuanya. Sedangkan permasalahan-permasalahan teologi (ilmu kalam), sebagian besar diambilnya dari al-Karrabisi, Ibn Kullab dan sesamanya”. (Ibn Hajar al-`Asqalani (t.t), Syarh Sahih al-Bukhari, Salafiyyah, Cairo, juz 1, hal. 293)
Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut menyimpulkan bahwa al-Imam Abdullah bin Said bin Kullab adalah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi ulama’ Salaf, oleh karena itu dia juga diikuti oleh al-Imam al-Bukhari, Abu al-Hassan al-Asy`ari dan lain-lain.
Di sini mungkin ada yang bertanya, apabila Ibn Kullab termasuk salah seorang tokoh ulama’ Salaf dan mengikuti Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, beliau (Ibn Kullab) juga diikuti oleh banyak ulama’ seperti al-Imam al-Bukhari dan lain-lain, lalu mengapa Ibn Kullab dituduh menyimpang dari metodologi  Salaf atau Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah?
Hal tersebut sebenarnya datang dari satu persoalan, yaitu tentang pendapat apakah bacaan seseorang terhadap al-Quran termasuk makhluk atau tidak. Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya berpandangan untuk tidak menetapkan apakah bacaan seseorang terhadap al-Quran itu makhluk atau bukan. Menurut al-Imam Ahmad bin Hanbal, pandangan bahwa bacaan seseorang terhadap al-Quran termasuk makhluk adalah bid`ah. Sementara al-Karabisi, Ibn Kullab, al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Bukhari, Muslim dan lain-lain berpandangan tegas, bahwa bacaan seseorang terhadap al-Quran adalah makhluk. Berangkat dari perbedaan pandangan tersebut akhirnya kelompok al-Imam Ahmad bin Hanbal menganggap kelompok Ibn Kullab termasuk ahli bid`ah, meskipun sebenarnya kebenaran dalam hal tersebut berada di pihak Ibn Kullab dan kelompoknya. Dalam konteks ini al-Hafiz al-Zahabi telah berkata :
“Tidak diragukan lagi bahwa pandangan yang dibuat dan ditegaskan oleh al-Karabisi tentang masalah pelafazan al-Quran (oleh pembacanya) dan bahwa hal itu adalah makhluk, adalah pendapat yang benar. Akan tetapi al-Imam Ahmad enggan membicarakannya karena khawatir membawa kepada pandangan kemakhlukan al-Quran. Sehingga al-Imam Ahmad lebih cenderung menutup pintu tersebut rapat-rapat”. (Al-Dzahabi(1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 11, hal. 510)
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Kullab bukanlah ulama’ yang menyimpang dari metodologi Salaf yang mengikuti faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, sehingga mazhabnya juga diikuti oleh al-Imam al-Bukhari, al-Asy`ari dan lain-lain. Sekarang apabila demikian, dari mana asal-usul pendapat bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan mazhab dan pendapat-pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab?
Pertanyaan ini mengajak kita untuk mengkaji artikel yang terakhir berikut ini.

KETIGA, KITAB AL-IBANAH ‘AN USUL AL-DIYANAH

Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah di dakwa sebagai hujjah bagi golongan yang mengatakan bahawa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan di dalam kehidupannya. Memang harus diakui, bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah dan sebagian kitab-kitab yang lain juga dinisbahkan terhadapnya mengikuti metodologi yang berbeda dengan kitab-kitab yang pernah dikarang olehnya. Di dalam kitab al-Ibanah, al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengikuti metodologi tafwidh yang diikuti oleh mayoritas ulama’ Salaf berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Berdasarkan hal ini, sebagian golongan memahami bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sebenarnya telah meninggalkan mazhabnya yang kedua yaitu mazhab Ibn Kullab, dan kini beralih kepada metodologi Salaf.
Di atas telah kami paparkan, bahawa Ibn Kullab bukanlah ahli agama yang menyalahi ulama’ Salaf. Bahkan dia termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf dan konsisten mengikuti metodologi tafwidh sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan. Paparan di atas sebenarnya telah cukup untuk membatalkan dakwaan yang mengatakan bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke metodologi Salaf, kerana Ibn Kullab sendiri termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf yang konsisten dengan metodologi Salaf.
Oleh itu, bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang menjadi dasar kepada kelompok yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab?
Di sini, dapatlah kita ketahui bahawa kitab al-Ibanah yang asli telah membatalkan kenyataan golongan Wahhabi yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab, karena kitab al-Ibanah di tulis untuk mengikuti  metodologi Ibn Kullab, sehingga tidak mungkin  dakwaan yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapat tersebut. Ada beberapa fakta sejarah yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dengan mengikut metodologi Ibn Kullab, kenyataan ini disebut oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan yaitu :
“Metodologi Ibn Kullab diikuti oleh al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah”. (Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.), Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)
Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani ini menambah keyakinan kita bahwa Ibn Kullab konsisten dengan metodologi Salaf al-Salih dan termasuk ulama’ mereka, karena kitab al-Ibanah yang dikarang oleh  al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pada akhir hayatnya dan mengikuti metodologi Salaf, juga mengikuti metodologi Ibn Kullab. Hal ini membawa kepada kesimpulan bahawa metodologi Salaf dan metodologi Ibn Kullab ADALAH SAMA, dan itulah yang diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari setelah keluar dari Muktazilah.
Dengan demikian, kenyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut juga telah membatalkan dakwaan golongan Wahhabi melalui kenyataan mereka yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengalami tiga fase perkembangan. Bahkan kenyataan tersebut dapat menguatkan lagi kenyataan yang menyatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya mengalami dua fase perkembangan saja, yaitu fase ketika mengikuti faham Muktazilah dan fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepada metodologi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang sebenarnya sebagaimana yang diikuti oleh Ibn Kullab, al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain. Dalam fase kedua ini al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengarang kitab al-Ibanah.
Dalil lain yang menguatkan lagi bahwa kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sesuai dengan mengikut metodologi Ibn Kullab adalah fakta sejarah, kerana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pernah menunjukkan kitab al-Ibanah tersebut kepada sebagian ulama’ Hanabilah di Baghdad yang sangat menitik beratkan tentang fakta, mereka telah menolak kitab al-Ibanah tersebut karena tidak setuju terhadap metodologi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Di dalam hal ini, al-Hafiz al-Zahabi telah berkata :
“Ketika al-Asy`ari datang ke Baghdad, dia mendatangi Abu Muhammad al-Barbahari (ketua mazhab Hanbali) dan berkata : Aku telah membantah al-Jubba’i. Aku telah membantah Majusi. Aku telah membantah Kristen. Abu Muhammad menjawab, Aku tidak mengerti maksud perkataanmu dan aku tidak mengenal kecuali apa yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad. Kemudian al-Asy`ari pergi dan menulis kitab al-Ibanah. Ternyata al-Barbahari tetap tidak menerima al-Asy`ari”. (Al-Dzahabi(1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 15, hal. 90 dan Cetakan Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372; Ibn Abi Ya’la al-Farra’(t.t.) Tabaqat al-Hanabilah, Salafiyyah, Cairo, ed. Hamid al-Faqi, juz 2, hal. 18)
Fakta sejarah di atas menyimpulkan, bahwa al-Barbahari mewakili kelompok Hanabilah  tidak menerima konsep yang ditawarkan oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Kemudian al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dan diajukan kepada al-Barbahari, ternyata ditolaknya juga. Hal ini menjadi bukti bahwa al-Ibanah yang asli ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tidak sama dengan kitab al-Ibanah yang kini diikuti oleh golongan Wahhabi. Kitab al-Ibanah yang asli sebenarnya mengikut metodologi Ibn Kullab.
Perlu diketahui pula, bahwa sebelum fase al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari, kelompok Hanabilah yang cenderung kepada penelitian fakta itu telah menolak metodologi yang ditawarkan oleh Ibn Kullab, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain berkaitan dengan MASALAH BACAAN SESEORANG TERHADAP AL-QURAN APAKAH TERMASUK MAKHLUK ATAU BUKAN.
Sekarang, apabila kitab al-Ibanah yang asli sesuai dengan metodologi Ibn Kullab, lalu bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang tersebar dewasa ini yang menjadi dasar kaum Wahhabi untuk mendakwa bahwa al-Asy`ari telah membuang mazhabnya ?
Berdasarkan kajian yang mendalam, para pakar telah membuat kesimpulan bahwa kitab al-Ibanah yang dinisbahkan kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tersebut telah tersebar dewasa ini penuh dengan tahrif/distorsi, pengurangan dan penambahan. Terutama kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia dan ditahqiqkan oleh ulama Wahhabi. Untuk melihat bukti tahrif/distorsi yang dilakukan oleh kalangan Wahabi baca artikel ini: Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.
Benar-benar wahabi memang sengaja MENYEBAR TIPU DAYA dan FITNAH pada semua umat Islam di dunia
Semoga setelah membaca dengan pelan-pelan, pikiran terbuka, tanpa ada emosi dan mengutamakan SIKAP OBYEKTIF, kita bisa lebih waspada akan apa-apa yang disampaikan oleh kaum salafy wahabi ini.
Semoga bermanfaat.

Minggu, 21 Oktober 2012

34.MAFAHIM

Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber
dari Syari’, maka saya akan menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diiniyyah
yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan
mengada-ada yang sebenarnya. Rasulullah SAW sebagai Syari’ bersabda, “Setiap bid’ah
itu sesat. Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak,
tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah  terbagi menjadi dua bagian ; diiniyyah
yang sesat dan  duniawiyyah yang tidak mengandung konsekuensi apa-apa. Karena  itu
harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan
akan menjadi jelas, insya Allah.

Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan syari’ adalah lisan
syar’i. Maka untuk memahami ucapannya harus menggunakan standar syar’i yang
dibawa Syaari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap
hal yang baru dan diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap
dari hatimu bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan
dalam urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at
agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah. Lalu akhirnya tambahan itu menjadi
syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah
yang mendapat ancaman dari Nabi SAW :
"Barangsiapa menciptakan dalam urusan (agama) kami  , hal baru yang
bukan  bagian darinya , maka ia tertolak."

Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat  . Oleh karena itu
pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya
berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari  segi bahasa. Yakni, sekedar
menciptakan hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak
lain adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang
menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi
mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan itu
jauh. Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang
mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah, sebenarnya
mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi
bid’ah dalam bid’ah diiniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa pembagian
ini adalah sebuah keniscayaan.

Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa
pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka
mengatakan bahwa penambahan dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan
perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka.
Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini
tidaklah substansial.

Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan yang mengingkari pembagian bid’ah
menjadi hasanah dan  sayyi’ah dan yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah
diiniyyah dan duniawiyyah tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat.

33.MAFAHIM

Hadits di atas yang menjelaskan bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-
keumuman hadits dan keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang
dimaksud adalah bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum. Dalam
sebuah hadits dijelaskan : 

"Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan
dari pahala mereka yang mengamalkannya sampai hari kiamat." Kemudian dalam hadits
yang lain : 

"Berpegamg teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para  khulafaurrasyidin sesudah
wafat." ‘Umar ibn Khaththab RA berkomentar mengenai sholat tarawih : *)ه) sebaik-baik bid’ah adalah ini (yaitu sholat tarawih berjama’ah dalam satu masjid
dengan seorang imam).

PERBEDAAN  PASTI  ANTARA  BID’AH  SYAR’IYYAH  DAN  BID’AH 
LUGHAWIYYAH

Sebagian ulama mereka mengkritik pengklasifikasian  bid’ah dalam bid’ah terpuji dan
tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapat demikian. Malah
sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda
Nabi yang jelas : Setiap bid’ah itu sesat. Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman
dan menggambar–kan bid’ah sebagai sesat.
 
Karena itu Anda akan melihat ia berkata : Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik
risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan : akan datang seorang
mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap
bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk.
Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan
ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan
syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam.

Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan jalan untuk memecahkan
permasalahan yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang mereka hadapi juga
menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan perantara lain. Yang jika tanpa
perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam. Malah tidak akan
bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubungan dengan dirinya,
keluarga, saudara dan masyarakatnya.

Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan dengan jelas : Sesungguhnya bid’ah
terbagi menjadi dua ; (1) bid’ah  diiniyyah (keagamaan) dan (2) bid’ah  duniawiyyah
(keduniaan).  Subhanallah, mereka yang suka bermain-main ini membolehkan
menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut. Jika kita
setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diiniyyah
dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-undang kenabian.
Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama baru ini datang ?
 

32.MAFAHIM

Karena itu kita menemukan banyak hadits mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal
yang jernih, fikiran yang dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif yang
digali dari samudera syari’ah, yang bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan
mampu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah
syari’at dan teks-teks Al-Qur’an dan hadits yang mengikat.Salah satu contoh dari hadits-
hadits di muka adalah hadits :  "Setiap bid’ah itu sesat." Bid’ah dalam
hadits ini harus ditafsirkan sebagai bid’ah sayyi’ah ( bid’ah tercela ) yang tidak termasuk
dalam naungan dalil syar’i.

Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain seperti :  
"Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di
masjid." 
Hadits ini meskipun menunjukkan pengkhususan akan tidak sahnya sholat tetangga
masjid kecuali di masjid namun keumuman-keumuman hadits memberikan batasan
bahwa sholat tersebut tidak sempurna bukan tidak sah, disamping masih adanya
perbedaan dalam kalangan ulama.

Kemudian :
“Tidak ada sholat dengan siapnya makanan.” 
Para ulama menafsirkan bahwa sholat tersebut tidak sempurna. 

“Tidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia
cintai untuk dirinya.” 

 “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.
Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang tetangganya
merasa terganggu dengannya”. 
Para ulama menafsirkan dengan tidak adanya iman yang sempurna.
Kemudian :
“Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu domba……. 
 “Tidak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat” dan 


 “yang durhaka kepada kedua orang tuanya.” 

Para ulama menegaskan bahwa yang dimaksud tidak akan masuk sorga ialah tidak akan
masuk pertama kali atau tidak masuk sorga jika menilai perbuatan tercela tersebut halal
dilakukan.Walhasil, para ulama tidak memahami hadits di atas secara tekstual tapi
menafsirkannya dengan bermacam-macam penafsiran yang sesuai.”
 

Sabtu, 20 Oktober 2012

31.MAFAHIM

tidak akan berdiri kecuali di atas etika-etika luhur yang kokoh yang model-modelnya
digali dari akidah-akidah suci.

Sesungguhnya sifat-sifat etik, psikologis dan spiritual adalah modal dasar bangsa. Ketiga
faktor ini adalah asset besar yang membentuk ummat dan mengantarkan umat manusia
menuju cita-cita luhur. Orang yang mengkaji sejarah hidup generasi salaf shalih dan
tokoh-tokoh sufi di tengah masyarakat, akan melihat bagaimana contoh-contoh ideal dan
prinsip-prinsip ini bisa menjadi faktor langsung terjadinya rejilidusi-rejilidusi yang nyata,
tercatat dan populer dalam sejarah Islam.

Mereka tidak memiliki pengaruh dan kekuatan kecuali iman dalam tatarannya yang
paling tinggi. Iman yang panas, berkobar-kobar, dan hidup yang berlandaskan kerinduan
dan kecintaan kepada Allah. Sebuah keimanan yang mampu menyalakan api yang
menyala-nyala dan menatap selamanya kepada Allah dalam hati para pengikutnya.

Orang yang mengkaji juga akan melihat bagaimana di  tengah mereka seorang laki-laki
bisa hidup dalam  maqam al-ihsan (kondisi dimana seseorang merasakan kehadiran
Allah), ia melihat Allah dalam segala sesuatu, dan merasa takut kepada-Nya dalam segala
aktivitasnya. Ia senantiasa merasa takut kepada Allah dalam setiap tarikan nafasnya tanpa
meyakini adanya penitisan, bersatunya Tuhan dengannya, dan peniadaan eksistensi
Tuhan. Iman ini adalah iman yang membangunkan kesadaran holistik dalam kehidupan,
menyentak rasa yang dalam akan ketuhanan yang berjalan dalam alam semesta, dan yang
hidup dalam sudut-sudut paling dasar dari alam semesta, yang mengetahui apa-apa yang
terlintas di hati, bisikan-bisikan rahasia, mata yang mencuri pandang dan apa yang
disembunyikan dalam hati.

ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN SEBURUK-BURUKNYA

Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi  permasalahan adalah orang-
orang yang menilai diri mereka sebagai penganut manhaj salaf shalih. Mereka bangkit
mendakwahkan gerakan  salafiyah dengan cara tak beradab dan keterlaluan,
fanatisme buta, akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal dan tidak
toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap kreat4itas yang
berguna dengan anggapan bahwasemua hal itu adalah bid’ah dan semua bid’ah
adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya. Padahal spirit syari’ah Islam mengharuskan
kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa : sebagian bid’ah ada
yang baik dan sebagian ada yang buruk.

Klasifikasi ini adalah tuntutan akal yang cemerlang dan pandangan yang
dalam. Klasifikasi bid’ah ini adalah hasil kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari
generasi klasik kaum muslimin seperti Al-Imam Al-‘Izz ibn ‘Abdissalaam, Al-Nawaawi,
Al-Suyuuthi, Al-Mahalli dan Ibnu Hajar. Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan
saling melengkapi. Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan
komprehensif serta harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi
syariah dan yang telah mendapat legitimasi dari para pakar.

30. MAFAHIM

BAJU KEPALSUAN

Mereka yang mengklaim sebagai orang yang paling memahami substansi permasalahan
dan kemudian bersikap kekanak-kanakan pada masalah  tersebut sangatlah banyak
jumlahnya. Namun sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa dan tidak layak dianggap
memahaminya.

Semua mengaku punya hubungan kasih dengan Laila. 
Tapi Laila menampik pengakuan mereka.

Fakta menyedihkan ini ditambah lagi dengan sikap mereka yang mencoreng diri sendiri
dan merusak reputasi. Sikap mereka tepat dengan apa yang digambarkan secara detail
dalam sebuah hadits : 
 "Orang yang berpura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak bisa membuat kenyang
laksana orang yang mengenakan dua baju kebohongan".

Kita, umat Islam mendapat cobaan dengan banyaknya orang-orang seperti di atas.
Mereka mengeruhkan kedamaian umat, memecah belah antar kelompok dan
menbangkitkan konflik antar sesama saudara dan anak dengan ayahnya. Mereka berusaha
meluruskan persepsi-persepsi Islam lewat pintu pendurhakaan terhadap ulama, dan
berpegang teguh dengan ajaran-ajaran  salaf dengan jalan pengingkaran, dan mengganti
kebajikan, tutur kata yang baik dan belas kasih dengan sikap keras, membatu, etika yang
buruk dan minimnya simpati.

Diantara para pengklaim adalah mereka yang menganggap diri mereka mengikuti jalan
tasawwuf padahal mereka adalah orang yang paling jauh dari  substansi dan essensi
tasawwuf. Mereka menodai  tasawwuf, mengotori kemuliaannya, merusak ajarannya dan
melontarkan kritik pedas terhadap tasawwuf dan para imamnya dari para ahli ma’rifat dan
para guru pembimbing. Kami tidak mengenal takhayyul, kebatilan, kebohongan dan
tipuan dalam tasawwuf. 

Kami juga tidak mengenal teori-teori filsafat, ide-ide luar atau aqidah-aqidah musyrik
baik sinkretisme atau manunggaling kawula gusti. Kami lepas tangan kepada Allah dari
muatan-muatan sesat tasawwuf dan mengkategorikan semua pandangan yang berlawanan
dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dan tidak bisa dita’wil adalah kebohongan yang
menyusup dan ditambahkan oleh tangan-tangan jahil dan jiwa-jiwa yang lemah.

Dengan perilaku yang baik dan budi pekerti yang bersih tampaklah kepahlawanan
generasi awal, para tokoh, para imam dan para pahlawannya. Dan tampak di hadapan kita
sosok Islam yang paling cemerlang, sempurna, dan contoh paling luhur dan suci. Sejarah
telah menginformasikan kepada kita cerita kemuliaan, kebanggaan, kehormatan,
keagungan, jihad, perjuangan, dan pelajaran-pelajaran tentang peradaban Islam.

Berangkat dari fakta di muka kami meyakini bahwa kebangkitan-kebangkitan besar tidak
akan terbangun kecuali di atas risalah-risalah spiritual dan inspirasi-inspirasi iman dan

29.MAFAHIM

Lalu Ibn ‘Umar mengutip firman Allah yang Artinya :  “Seandainya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.
tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” HR. Thabrani.

Dari Tsauban seraya memarfu’kan hadits berkata :
   
”Di tengah kalian senantiasa ada 7 orang wali di mana berkat mereka kalian diberi
pertolongan, hujan dan rizki sampai tiba hari kiamat.” 

Dari ‘Ubadah ibn Shamit RA berkata : Rasulullah SAW bersabda :
 
”Wali badal (Abdaal) dalam ummatku ada 30. Berkat mereka kalian diberi hujan dan
mendapat pertolongan.”

Qatadah berkata :  ”Sungguh saya berharap Hasan Al-
Bashri termasuk mereka”. HR. Thabrani. 

Empat hadits di atas disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat yang
Artinya :   "Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan
sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang
dicurahkan) atas semesta alam." (Q.S. Al-Baqarah : 251) Ayat ini layak dijadikan
argumen dan dari keempatnya status hadits menjadi shahih.

Dari Anas, berkata : Rasulullah SAW bersabda :
”Bumi tidak akan sepi dari 40 laki-laki seperti Khalilurrahman Ibrahim AS. Berkat
mereka kalian disirami hujan dan diberi pertolongan. Jika salah seorang meninggal
maka Allah akan menggantinya dengan orang lain.” HR. Thabarani dalam  Al-Awsath
dan isnad-isnad hadits ini hasan. (Majma’uz Zawaaid : 2/62).

MEDIATOR PALING AGUNG

Dalam hari  mahsyar yang notabene hari tauhid, hari iman dan hari dimana  ‘Arsy
dimunculkan, akan tampak keutamaan mediator paling agung, pemilik panji (Alliwaa’ al-
Ma’qud), kedudukan terpuji, telaga yang didatangi, pemberi syafaa’t yang diterima
syafa’atnya dan tidak sia-sia jaminannya untuk orang yang Allah telah berjanji kepada
beliau bahwa Allah tidak akan mengecewakan anggapan beliau, tidak akan menghina
beliau selamanya, tidak membuat beliau susah serta  malu saat para makhluk datang
kepada beliau memohon syafaat. Lalu beliau berdiri  kemudian tidak kembali kecuali
mendapat baju kebaikan dan mahkota kemuliaan yang tergambar dalam perintah Allah
kepada beliau : “Wahai Muhammad, angkatlah
kepalamu, berilah syafa’at maka syafa’atmu akan diterima dan mohonlah maka kamu
akan diberi !”.
 

28.MAFAHIM

Dalam koleksi hadits-hadits Rasulullah SAW terdapat banyak hadits yang menjelaskan
bahwa Allah SWT menghindarkan siksaan dari penduduk bumi berkat orang-orang yang
beristighfar dan mereka yang rajin menghidupkan masjid dan Dia juga memberi rizqi,
menolong dan menjauhkan musibah dan tenggelam dari penduduk bumi berkat mereka. 

At-Thabarani dalam Al-Kabir dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan meriwayatkan dari Mani’
Ad-Dailami RA bahwa ia berkata : Rasulullah SAW bersabda :  

“Jikalau tiada para hamba Allah yang sholat, para bayi yang menyusui dan binatang
yang merumput niscaya adzab akan diturunkan dan orang-orang yang terkena adzab itu
akan dihancurkan”.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’d ibn Abi Waqqash RA bahwa Rasulullah SAW
bersabda : 

”Bukankah kalian mendapat kemenangan dan rizki hanya karena orang-orang lemah
kalian.” At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dikategorikan shahih oleh Al-
Hakim dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda :  ”Barangkali kamu
mendapat rizqi berkat saudaramu”.

Dari Abdullah ibn Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

”Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Orang-orang datang kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya. Mereka adalah orang-orang yang aman dari adzab Allah.”(HR.
Thabarani dalam Al-Kabiir, Abu Nu’aim dan Al-Qudlo’i dengan status Hasan). 

Dari Jabir bin Abdillah RA bahwa Rasulullah bersabda :
 ”Sesungguhnya Allah SWT, sebab keshalihan seorang laki-laki muslim akan membuat
anak, cucu, warga desanya dan desa-desa sekitarnya  menjadi shalih dan mereka
senantiasa berada dalam lindungan Allah sepanjang laki-laki shalih itu tinggal bersama
mereka”.
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dalam tafsirnya : 2/341 dan An-Nasaa’i dalam Al-Mawaa’idz
dari  As-Sunan Al-Kubraa sebagaimana keterangan dalam  At-Tuhfah : 13/380. Para
perawi hadits ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan  Shahih Al-Bukhari dan Al-
Muslim selain guru An-Nasaa’i yang dikategorikan tsiqah dan  terdapat komentar di
dalamnya. 

Dari Ibnu ‘Umar RA berkata : Rasulullah SAW bersabda :
”Sesungguhnya Allah menghindarkan bala’ berkat seorang laki-laki shalih, seratus
keluarga dari tetangganya.”  

27,MAFAHIM

kepada saya. Kalian harus datang, berdoa dan memohon sendiri karena Allah lebih dekat
dengan kalian dari pada saya”. Nabi tidak pernah berkata demikian. Beliau malah
berdiam dan dan memohon pada saat di mana mereka mengatahui bahwa pemberi sejati
adalah Allah dan yang mencegah, melimpahkan dan pemberi rizqi juga Allah. Mereka
juga tahu bahwa beliau SAW memberi atas izin dan karunia Allah.

Beliaulah yang mengatakan,  ”Saya adalah pembagi dan Allah
pemberi”. Berangkat dari pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan
terhadap obyek yang dihormati ini maka jelas diperbolehkan menetapkan manusia biasa
manapun bahwa ia telah mengatasi kesulitan dan mencukupi kebutuhan dengan
pengertian bahwa ia adalah mediator dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.

Kalau manusia biasa bisa berperan seperti ini maka bagaimana dengan Nabi Muhammad
SAW yang notabene junjungan mulia, Nabi agung, makhluk termulia dunia akhirat ,
junjungan jin dan manusia serta makhluk Allah paling utama secara mutlak? Bukankah
beliau pernah bersabda :

 “Barangsiapa membantu mengatasi satu dari banyak kesulitan seorang mu’min di
dunia, maka Allah akan melepaskannya dari kesusahan pada hari kiamat." sebagaimana
tercantum dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Maka orang mu’min adalah orang yang
mengatasi segala kesulitan.” Bukankah beliau bersabda :

"Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya maka saya akan berdiri di dekat
timbangan amalnya. Jika timbangan amal baik itu lebih berat maka aku biarkan, jika
tidak maka aku akan memberinya syafaat.”  Maka orang mu’min adalah orang yang
mencukupi segala kebutuhan.” Bukankah beliau bersabda dalam hadits yang sahih ?:
ً    

"Barangsiapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya." Begitu
juga dalam sabdanya :

"Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang didatangi banyak orang untuk
memenuhi kebutuhan mereka.” Begitu juga :


"Allah senantiasa membantu hamba-Nya sepanjang ia membantu saudaranya." Dan
begitu juga :

"Siapapun yang menolong orang teraniaya maka Allah akan menulis baginya kebaikan."
(HR. Abu Ya’la , Al-Bazzar dan Al-Baihaqi.)

Dalam konteks ini orang mu’min adalah perantara yang mengatasi, membantu,
menolong, menutupi dan yang menjadi tempat pengaduan meskipun sesungguhnya
pelaku sejatinya adalah Allah SWT. Namun berhubung  ia adalah mediator dalam
menangani masalah-masalah tersebut maka sah menisbatkan tindakan-tindakan tersebut
kepadanya.

26. MAFAHIM

terhadap Allah melebihi penghormatan kepada patung-patung dari batu tersebut. Apakah
jawaban mereka dalam ayat ini relevan dengan makian mereka terhadap Allah sebagai
bentuk pembelaan terhadap berhala-berhala mereka dan pelampiasan dendam terhadap
Allah SWT? Secara spontan kita akan menjawab sampai kapanpun hal ini tidak relevan.
Ayat di atas bukanlah satu-satunya ayat yang menunjukkan bahwa di mata mereka Allah
lebih rendah dari patung-patung yang mereka sembah.

Banyak ayat senada seperti : "Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari
tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan
persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-
sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan
saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, Maka sajian itu sampai kepada berhala-
berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu." (Q.S. Al-An`aam : 136)

Seandainya di mata mereka Allah tidak lebih rendah  dibanding patung-patung tersebut
maka mereka tidak akan mengunggulkannya dalam bentuk seperti yang diceritakan ayat
ini dan tidak layak mendapat vonis "SAA AMAA YAHKUMUUNN".Salah satu ungkapan yang masuk
kategori di atas adalah perkataan Abu Sufyan sebelum masuk Islam, “Mulialah engkau
wahai Hubal! ”sebagaimana riwayat Al-Bukhari.

Pujian ini dialamatkan kepada berhala mereka yang bernama Hubal agar dalam kondisi
kritis mampu mengatasi Allah Tuhan langit dan bumi  serta agar ia dan pasukannya
mampu mengalahkan tentara mukmin yang hendak menghancurkan berhala-berhala
mereka. Ini adalah gambaran dari sikap orang musyrik menyangkut berhala dan Allah
SWT. Pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan terhadap obyek yang
dihormati harus dipahami dengan baik karena banyak orang tidak memahaminya dengan
benar lalu membangun persepsi-persepsi yang sesuai dengan pemahamannya.

Apakah tidak engkau perhatikan ketika Allah menyuruh kaum muslimin menghadap
Ka’bah saat shalat, mereka menyembah menghadapnya dan menjadikannya sebagai
kiblat? Tetapi Ka’bah bukanlah obyek penyembahan. Mencium Hajar Aswad adalah
penghambaan kepada Allah dan mengikuti Nabi SAW. Seandainya ada kaum muslimin
yang berniat menyembah Ka’bah dan  Hajar Aswad niscaya mereka menjadi musyrik
sebagaimana para penyembah berhala. Perantara (mediator /  wasithah) adalah sesuatu
yang harus ada.

Eksistensinya bukanlah sebagai bentuk kemusyrikan.  Tidak semua orang yang
menggunakan mediator antara dirinya dan Allah dipandang musyrik. Jika semua
dianggap musyrik niscaya semua orang dikategorikan  musyrik karena segala urusan
mereka didasarkan atas eksistensi mediator. Nabi Muhammad SAW menerima Al-Qur’an
via Jibril dan Jibril adalah mediator beliau.

Sedang Nabi SAW adalah mediator besar bagi para sahabat. Ketika mengalami problem
yang berat mereka datang dan mengadukannya kepada beliau dan menjadikannya sebagai
mediator menuju Allah. Mereka memohon do’a kepada beliau dan beliau tidak
menjawab, “Kalian telah musyrik dan kafir karena tidak boleh mengadu dan memohon

25. MAFAHIM

Yaitu bahwa ayat di atas menyatakan bahwa kaum musyrikin, sesuai yang digambarkan
Allah, tidak meyakini dengan serius ucapan mereka yang membenarkan penyembahan
berhala : ( Kami tidak menyembah mereka kecuali semata-mata untuk mendekatkan diri
kepada Allah ). Jika ucapan kaum musyrikin tersebut sungguh-sungguh niscaya Allah
lebih agung daripada berhala dan mereka tidak akan menyembah selain-Nya.

Allah telah melarang kaum muslimin untuk memaki berhala-berhala kaum musyrikin,
lewat firman-Nya yang Artinya : "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." 
(Q.S. Al-An`aam : 108) 

Abdurrazaq, Abd ibn Hamid, ibn Jarir, ibnul Mundzir, ibn Abi Hatim dan Abu al-Syaikh
meriwayatkan dari Qatadah bahwa Rasulullah berkata, “Awalnya Kaum muslimin
memaki berhala-berhala orang kafir. Akhirnya mereka memaki Allah. Lalu turunlah ayat
yang Artinya :  "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (Q.S. Al-An`aam : 108)

Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut. Berarti ayat tersebut
melarang dengan keras kaum mu’minin untuk melontarkan kalimat yang bernada
merendahkan terhadap batu-batu yang disembah oleh kaum paganis di Makkah. 

Karena melontarkan kalimat seperti itu mengakibatkan kemurkaan kaum paganis karena
membela bebatuan yang mereka yakini dari lubuk hati paling dalam sebagai tuhan yang
memberi manfaat dan menolak bahaya. Jika mereka emosi maka akan balik memaki
Tuhan kaum muslimin, Allah SWT dan melecehkan-Nya dengan berbagai kekurangan
padahal Dia bebas dari segala kekurangan. Jika mereka meyakini dengan sebenarnya
bahwa penyembahan kepada berhala sekedar untuk mendekatkan diri kepada Allah
niscaya mereka tidak akan berani memaki Allah untuk membalas orang yang memaki
tuhan-tuhan merdka.

Fakta ini menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaaan Allah dalam hati mereka jauh
lebih sedikit dari pada keberadaaan bebatuan yang disembah. Ayat lain yang
menunjukkan ketidakjujuran orang kafir adalah : "Dan Sesungguhnya jika kamu
tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?" tentu mereka
akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui." (Q.S. Luqman : 25)

Bila orang-orang kafir meyakini dengan jujur bahwa  hanya Allah sang Pencipta dan
bahwa berhala-berhala itu tidak mampu menciptakan apa-apa niscaya mereka akan
menyembah Allah semata, tidak menyembah berhala atau minimal penghormatan mereka

24. MAFAHIM

Al-Baihaqi meriwayatkan dari Al-Zuhri bahwa ia berkata, “Mengabarkan kepada saya
seorang Anshor yang tidak saya ragukan bahwa Rasulullah SAW jika berwudlu atau
mengeluarkan dahak maka para sahabat berebutan mengambil dahak beliau kemudian
diusapkan pada wajah dan kulit mereka. “Mengapa kalian berbuat demikian,? Tanya
Rasulullah. “Kami mencari berkah darinya.” “Barangsiapa yang ingin dicintai Allah
dan Rasul-Nya maka berkatalah jujur, menyampaikan amanah dan tidak menyakiti
tetangganya.” Demikian keterangan dalam Al-Kanzu : 8/228.

Walhasil, dalam hal ini ada dua persoalan besar yang harus dimengerti. Pertama;
kewajiban menghargai Nabi SAW dan meninggikan derajat beliau di atas semua
makhluk. Kedua; mengesakan Tuhan dan menyakini bahwa Allah SWT berbeda dari
semua makhluk-Nya dalam aspek dzat, sifat dan tindakan.

Barangsiapa yang meyakini adanya kesamaan makhluk dengan Allah dalam aspek ini
maka ia telah menyekutukan Allah sebagaimana kaum musyrikin yang meyakini
ketuhanan dan penyembahan terhadap berhala. Dan siapapun yang merendahkan Nabi
SAW dari kedudukan semestinya maka ia berdosa atau kafir.

Adapun orang menghormati Nabi dengan beragam penghormatan yang berlebihan namun
tidak mensifati beliau dengan sifat-sifat Allah apapun maka ia telah berada di jalan yang
benar dan secara bersamaan telah menjaga aspek ketuhanan dan kerasulan. Sikap
semacam ini adalah sikap yang ideal.  Apabila ditemukan dalam ucapan kaum mukminin
penyandaran sesuatu kepada selain Allah maka wajib  dipahami sebagai majaz ‘aqli.
Tidak ada alasan untuk mengkafirkannya karena majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah.

PERANTARA SYIRIK

Banyak orang keliru dalam memahami esensi perantara (wasithah). Mereka memvonis
dengan gegabah bahwa mengambil perantara adalah tindakan musyrik dan menganggap
bahwa siapapun yang menggunakan perantara dengan cara apapun telah menyekutukan
Allah dan sikapnya sama dengan sikap orang-orang musyrik yang mengatakan : 

 "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada
Allah dengan sedekat- dekatnya." (Q.S. Az-Zumar : 3) 

Kesimpulan ini jelas salah dan berargumentasi dengan ayat di atas adalah bukan pada
tempatnya. Karena ayat tersebut jelas menunjukkan pengingkaran terhadap orang
musyrik menyangkut penyembahan mereka terhadap berhala dan menjadikannya sebagai
tuhan selain Allah serta menjadikan berhala sebagai sekutu dalam ketuhanan dengan
anggapan bahwa penyembahan mereka terhadap berhala  mendekatkan mereka kepada
Allah. Jadi, kekufuran dan kemusyrikan kaum musyrikin adalah dari aspek penyembahan
mereka terhadap berhala dan dari aspek keyakinan mereka bahwa berhala adalah tuhan-
tuhan di luar Allah SWT. Di sini ada masalah yang urgen untuk dijelaskan.
 

23. MAFAHIM

untuk menemui kami.” Lalu Allah pun mengecam tindakan mereka sebagai kebodohan
dan menggambarkan bahwa kebanyakan mereka tidak berakal.   ‘Amr ibn ‘Ash berkata,
“Tidak ada orang yang lebih kucintai melebihi Rasulullah SAW dan di mataku tidak ada
yang lebih agung melebihi beliau. Saya tidak mampu memandang beliau dengan mata
terbuka lebar semata-mata karena menghormatinya. Jika saya ditanya untuk mensifati
beliau saya tidak akan mampu menjawab sebab saya tidak mampu memandang beliau
dengan mata terbuka lebar. (HR Muslim dalam Kitabul Iman, bab Kaunul Islam Yahdimu
Maa Qablahu). 

Turmudzi meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW keluar menemui sahabat
Muhajirin dan Anshor yang sedang duduk. Di antara mereka terdapat Abu Bakar dan
Umar. Tidak ada yang berani memandang beliau dengan wajah terangkat kecuali Abu
Bakar dan Umar. Keduanya memandang beliau dan beliau memandang keduanya dan
mereka berdua tersenyum kepada beliau dan beliau juga tersenyum kepada mereka.  

Usamah ibn Syuraik meriwayatkan : Saya datang kepada Nabi SAW yang dikelilingi para
sahabat yang seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Dalam mensifati
beliau :  “Jika berbicara para pendengar yang duduk di sekeliling beliau akan
menundukkan kepala seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung.” 

Saat ‘Urwah ibn Mas’ud menjadi duta Quraisy waktu mengadakan perjanjian datang
kepada Rasulullah dan melihat penghormatan para sahabat kepada beliau. Ia melihat jika
beliau berwudlu maka mereka akan segera berebutan mengambil air wudlu. Bila beliau
meludah atau membuang dahak maka mereka akan meraihnya dengan telapak tangan
mereka lalu digosokkan pada wajah dan badan mereka. Kalau ada sehelai rambut beliau
yang jatuh mereka segera mengambilnya. Jika Beliau memberi instruksi mereka segera
mengerjakanya. Bila Beliau berbicara mereka merendahkan suara mereka. Mereka tidak
berani memandang tajam Beliau, karena menghormatinya. Ketika Usamah bin Syuraik
kembali kepada kaum quraisy ia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy saya pernah
mendatangi Kisra dan kaisar di istana mereka, Demi Allah saya belum pernah sekalipun
melihat raja bersama kaumnya sebagaimana Muhammad bersama para sahabatnya.

Dalam riwayat lain disebutkan : Saya belum pernah sekalipun melihat raja yang
dihormati pengikutnya sebagaimana para sahabat menghormati Nabi. Sungguh saya telah
melihat kaum yang tidak akan membiarkan Beliau dalam bahaya selamanya.  At-
Thabarani dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Usamah bin
Syuraik bahwasanya ia berkata;  “Kami sedang duduk-duduk disamping Nabi seolah-
seolah diatas kepala kami hinggap burung “. Tidak ada seorangpun diantara kami yang
berbicara tiba-tiba datang beberapa orang pada Nabi lalu mereka bertanya ; “ Siapakah
hamba Allah yang paling dicintainya? “Yang paling baik budi pekertinya “Jawab Nabi.
Demikian tercantum dalam  At-Targhib : 2/187. Imam Al-Mundziri berkata, Hadits ini
diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam As-Shahih dengan para perawi yang bisa dijadikan
argumentasi.  Abu Ya’la meriwayatkan dari Al-Barra’ ibn ‘Azib dan menilainya shahih
bahwa Al-Barra’ mengatakan, “Sungguh aku ingin sekali menanyakan sesuatu kepada
Rasulullah namun aku menundanya selama dua tahun semata-mata karena segan”.

22, MAFAHIM

“Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah
orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka
ampunan dan pahala yang besar.” 
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan
mereka tidak mengerti.” 
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian
kau kepada sebahagian (yang lain ).”
“Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di
antara kamu dengan berlindung ( kepada kawannya ), Maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”

Ketika berhadapan dengan Rasulullah, Allah SWT melarang berbicara mendahului beliau
dan bersikap tidak sopan dengan mendahului berbicara. Sahl ibn ‘Abdillah berkata,
"Janganlah kamu berkata sebelum Rasulullah berkata,  dan jika beliau berkata maka
dengarkanlah dan perhatikanlah." Para sahabat dilarang untuk mendahului dan tergesa-
gesa memenuhi keinginannya sebelum keinginan Rasulullah terpenuhi dan dilarang
mengeluarkan fatwa apapun baik perang atau urusan lain yang menyangkut agama tanpa
perintah Nabi dan juga tidak boleh mendahului beliau.

Kemudian Allah memperingatkan mereka untuk tidak melanggar larangan di atas :

"Dan bertaqwalah kepada Allah,sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (Q.S. Al-Hujuraat :1). Berkata As-Silmi : “Takutlah kepada Allah, jangan
sampai menelantarkan hak Allah dan menyia-nyiakan hal-hal yang diharamkan-Nya
karena Dia mendengar ucapan kalian dan mengetahui tindakan kalian.

Selanjutnya Allah melarang mengeraskan suara melebihi suara beliau dan berbicara keras
kepada beliau sebagaimana mereka berbicara kepada sesamanya. Versi lain mengatakan,
sebagaimana kalian saling memanggil dengan menggunakan nama. Abu Muhammad
Makki mengatakan : “Janganlah kalian berkata sebelum beliau, mengeraskan ucapan dan
memanggi beliau dengan namanya sebagaimana panggilan kalian dengan sesamanya.
Tapi agungkanlah dan hormatilah dan panggillah beliau dengan panggilan paling mulia
yang beliau senang dengan panggilan tersebut yaitu  Wahai Rasulullah dan wahai
Nabiyyallah.” 

Pandangan Abu Muhammad Makki ini sejalan dengan firman Allah yang Artinya :
  "Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan
sebahagian kamu kepada sebahagian ( yang lain ). Sesungguhnya Allah telah
mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi  di antara kamu dengan
berlindung (kepada kawannya),maka hendak-lah orang-orang yang menyalahi perintah
Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (Q.S.An.Nuur : 63 )

Ulama lain menafsirkan : Jangan berkata kepada beliau kecuali bertanya. Selanjutnya
Allah memperingatkan bahwa amal perbuatan mereka akan hangus jika melanggar
larangan di muka. Ayat di atas turun dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika sekelompok
orang datang kepada Nabi dan memanggil beliau dengan : “Wahai Muhammad, keluarlah

21. MAFAHIM

untuk sujud kepada makhluk yang tercipta dari tanah. Iblis adalah yang pertama kali
menggunakan analogi dengan akalnya dan berkata : saya lebih baik dari Adam, dengan
alasan karena ia tercipta dari api sedang Adam dari tanah. Ia enggan menghormati Adam
dan menolak bersujud kepadanya.

Iblis adalah makhluk angkuh pertama dan menolak mengagungkan makhluk yang
diagungkan Allah. akhirnya ia dijauhkan dari rahmat Allah karena keangkuhannya pada
Adam yang shalih. Sikap iblis pada dasarnya adalah  keangkuhan kepada Allah karena
sujud kepada Adam semata-mata atas perintah Allah.  Sujud kepada Adam hanyalah
sebagai bentuk penghormatan kepadanya atas para malaikat. Iblis adalah makhluk yang
mengesakan Allah namun ketauhidannya tidak berguna  sama sekali akibat menolak
bersujud kepada Adam.

Salah satu firman Allah yang menjelaskan pengagungan terhadap orang-orang sholih
adalah firman Allah menyangkut Nabi Yusuf AS yang Artinya :  "Dan ia menaikkan
kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka ( semuanya ) merebahkan diri seraya
sujud." (Q.S. Yusuf : 100) Sujud ini adalah sujud sebagai ungkapan penghargaan dan
pemuliaan terhadap Yusuf atas saudara-saudaranya.

Sujud menyentuh tanah yang dilakukan saudara-saudara Yusuf ditunjukkan oleh kalimat
او 5و barangkali dalam syari’at saudara-saudara Yusuf sujud dalam bentuk seperti ini
diperbolehkan atau seperti sujud para malaikat kepada Adam untuk memuliakan,
mengagungkan, dan mematuhi perintah Allah sebagai penafsiran terhadap mimpi Yusuf
dimana mimpi para Nabi berstatus wahyu.

Adapun Nabi Muhammad SAW maka Allah SWT telah berfirman :

"Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan, Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi
dan petang."  Dan firmanNya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. Dan firmanNya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara
Nabi..” Dan firmanNya :


“Dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana
kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus
(pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” 

Dan firmanNya : 

Jumat, 19 Oktober 2012

20. MAFAHIM

Silahkan Anda perhatikan informasi yang disampaikan Allah tentang Nabi Ibrahim AS
dalam :

“Wahai Tuhanku, sesungguhnya mereka (berhala-berhala) telah menyesatkan sebagian
besar manusia.” (Ayat)
Apakah Anda menilai Nabi Ibrahim menyekutukan Allah dengan benda mati ? Padahal
beliaulah yang bertanya :

Kompromi terhadap dua ayat ini adalah bahwa siapapun yang menyekutukan Allah
dengan yang lain dalam segi penciptaan dan memberikan pengaruh maka ia telah musyrik
baik obyek lain itu benda mati atau manusia, baik Nabi atau bukan. Dan barangsiapa
yang meyakini adanya penyebab dalam hal di atas baik penyebab itu berlaku secara
umum atau tidak kemudian menjadikan Allah sebagai penyebab atas terjadinya musabbab
dan bahwa pelakunya (al-fa’il) adalah Allah semata tidak ada yang menyukutui maka ia
adalah seorang mukmin meskipun salah dalam menilai apa yang bukan sebab dianggap
sebagai sebab. Karena kesalahannya terletak pada sebab bukan pada yang menciptakan
sebab yang notabene adalah Sang Pencipta dan Pengatur SWT.

MENGAGUNGKAN ANTARA IBADAH DAN ETIKA 

Banyak orang keliru dalam memahami substansi pengagungan dan ibadah. Mereka
mencampur kedua substansi ini dan menganggap bahwa  apapun bentuk pengagungan
berarti ibadah kepada yang diagungkan. Berdiri, mencium tangan, mengagungkan Nabi
SAW dengan penyebutan sayyidinaa dan maulaanaa sebelum nama beliau, dan berdiri di
depan beliau saat berziarah dengan sopan santun; semua ini tindakan berlebihan di mata
mereka yang bisa mengarah kepada penyembahan selain Allah. .

Pandangan ini sesungguhnya adalah pandangan yang salah dan membingungkan yang
tidak diridloi Allah dan Rasulullah SAW serta menyusahkan diri sendiri yang tidak sesuai
dengan spirit  syari’ah islamiyyah.   Nabi Adam AS, manusia pertama dan hamba Allah
yang shalih yang pertama dari jenis manusia, oleh Allah malaikat diperintahkan untuk
bersujud kepadanya sebagai bentuk penghargaan dan pengagungan atas ilmu
pengetahuan yang diberikan Allah kepada Nabi Adam dan sebagai proklamasi kepada
para malaikat atas dipilihnya Nabi Adam bukan para makhluk lain. Allah berfirman yang
Artinya : “Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah
kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali  iblis. Dia berk`ta: "Apakah aku
akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" Dia (iblis) berkata:
"Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau  muliakan atas diriku?
Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya
benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil."
Dalam ayat lain Allah berfirman yang Artinya :  Menjawab iblis "Saya lebih baik
daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah."
(Q.S. Al-A`raaf : 12), "Maka bersujudlah Para Malaikat itu semuanya bersama-sama,
Kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu." (Q.S. Al-Hijr : 30-
31) Para malaikat mengagungkan makhluk yang diagungkan Allah dan iblis menolak

19. MAFAHIM

Pendapat kedua : Pada dasarnya penafsiran hadits Nabi menyatakan bahwa kufur
terhadap nikmat Allah sebab membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat
ini berlaku bagi orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini didukung oleh
riwayat terakhir pada bab ini ; Sebagian orang, di pagi hari ada yang bersyukur dan ada
yang kufur..

Dalam riwayat lain ; Allah tidak menurunkan berkah dari langit kecuali sebagian manusia
mengkufuri terhadap berkah itu. Kata <  ( terhadap berkah itu ) menunjukkan kekufuran
yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu A’lam.

Anda bisa melihat bahwa Imam An-Nawawi menyatakan adanya kesepakatan ulama
bahwa siapapun yang menisbatkan tindakan kepada perantara tidak berdampak kufur
kecuali disertai keyakinan bahwa perantara itu yang bertindak sebagai pelaku, pengatur
dan pencipta.

Namun jika perantara tidak dilihat demikian namun hanya menganggap perantara adalah
ciri atau tempat terjadinya penciptaan yang telah ditakdirkan maka vonis kufur tidak
jatuh. Syara’ malah kadang mengajak untuk memandang perantara sebagaimana sabda
Nabi :

"Siapapun yang memberi kebaikan kepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda tidak
mampu membalasnya maka doakanlah ia sampai kalian menyadari telah membalas
kebaikannya." 
Dan sabda Nabi yang lain :
   
"Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah."

Ajakan  syara’ ini berdasarkan pertimbangan bahwa memandang perantara dari sudut
pandang demikian tidak berarti meniadakan anugerah  dari Allah. Banyak ayat dimana
Allah SWT memberikan pujian atas perbuatan baik para hamba-Nya dan malah memberi
mereka pahala atas perbuatan tersebut. Allah adalah Dzat yuang mendorong mereka
berbuat baik dan menciptakan kemampuan mereka untuk mengerjakannya. Allah
berfirman yang Artinya : "Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat
(kepada Tuhannya)." (Q.S. Shaad : 30), "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada
pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya." (Q.S.Yunus :26) "Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu" (Q.S. Asy-Syams : 9). 

Jika telah jelas di mata Anda bahwa tindakan (al-fi’l) dapat digunakan dalam beragam
makna maka makna-makna tersebut tidaklah berbenturan jika dipahami dengan jernih.
Makna-makna yang terkandung dalam ungkapan lebih luas dari ungkapan itu sendiri dan
hati lebih luas dari buku-buku yang dikarang. Jika  kita terpaku pada  lafadz dalam arti
hakiki tanpa memandang majaz maka kita tidak akan mampu mengkompromikan antara
teks-teks atau membedakannya. 
 

18. MAFAHIM

"Ambillah kurma itu. Jika engkau tidak mendatanginya maka kurma itu akan datang
kepadamu." Sebagaimana tertera dalam riwayat Thabarani dan  Ibnu Hibban.
Penyandaran kata  Ityan (datang) berbeda pengertian antara yang disandarkan kepada
seorang laki-laki dan kurma. Maksud dari datangnya kurma berbeda dengan datangnya
laki-laki. 

Pengertian datang dari keduanya adalah dua majaz yang berbeda sudut pandangnya.
Kemajazan penyebutan kedatangan kepada laki-laki bermakna bahwa Allah menciptakan
padanya kemampuan dan kehendak untuk datang pada kurma. Sedang kedatangan kurma
bermakna bahwa Allah akan membuat seseorang sebagai penyebab datangnya kurma.

Yang sesungguhnya adalah menyandarkan mendatangkan kepada Allah pada keduanya.
Karena perbedaan sudut pandang dalam perantara maka memandang perantara dalam
tindakan terkadang bisa mengakibatkan kekufuran sebagaimana jawaban Qarun terhadap
Nabi Musa AS yang Artinya : Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu,
karena ilmu yang ada padaku." (Q.S. Al-Qashash : 78) Dan sebagaimana dalam hadits :   

"Sebagian hamba-Ku, di pagi hari ada yang beriman kepadaKu dan kafir.”

Adapun yang berkata : Kami disirami hujan berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia
beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang. Sebaliknya orang yang berkata : kami
disirami hujan berkat bintang ini atau itu maka ia kafir kepada-Ku dan beriman kepada
bintang. Kekufuran ini terjadi karena memandang perantara sebagai yang memberikan
pengaruh dan yang menciptakan. Imam al-Nawawi berkata : pendapat para Ulama
terbelah menjadi dua menyangkut kekufuran orang yang mengatakan : Kami disirami
hujan berkat bintang ini. .

Pendapat pertama : menyatakan bahwa perkataan ini adalah kekufuran kepada Allah dan
mencabut dasar keimanan serta dapat mengeluarkan dari agama Islam. Dalam pandangan
ulama kekufuran bisa terjadi atas mereka yang mengatakan perkataan tersebut seraya
meyakini bahwa bintang adalah pelaku, pengatur dan  pencipta hujan sebagaimana
anggapan sebagian kaum jahiliyyah. Siapapun yang memiliki keyakinan semacam ini
maka tidak disangsikan lagi telah kafir. Ini adalah pandangan mayoritas ulama
diantaranya Imam Asy-Syafi’i dan sesuai dengan makna literal dalam hadits. Karena itu,
dalam pandangan mereka seandainya mengatakan : kami disirami hujan berkat bintang
ini dengan tetap meyakini bahwa hujan itu dari dan  berkat rahmat Allah SWT sedang
bintang cuma dianggap sebagai waktu dan ciri berdasarkan kebiasaan maka seolah-olah
ia mengatakan : kami disirami hujan pada waktu bintang ini, berarti ia tidak kufur.

Para ulama berbeda pendapat menyangkut kemakruhan perkataan : kami disirami hujan
berkat bintang ini. Namun kemakruhan ini sebatas makruh tanzih yang tidak berimplikasi
dosa. Penyebab kemakruhan adalah karena kalimat ini berada dalam posisi kufur dan
tidak, yang bisa berdampak sangkaan buruk bagi pengucapnya. Dan juga ia adalah
lambang jahiliyyah dan mereka yang meniru cara hidup jahiliyyah.
 

17. MAFAHIM

“Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami
belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.” (Q.S.
`Abasa : 25-27)  "Lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, Maka ia menjelma di
hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna." (Q.S. Maryam : 17)  "Lalu Kami
tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami  jadikan Dia dan anaknya tanda
(kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam." (Q.S. Al-Anbiyaa` : 91).  Nafkh
(tiupan) disandarkan kepada Allah padahal yang meniup sesungguhnya adalah Jibril AS.
Allah berfirman yang Artinya : "Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka
ikutilah bacaannya itu." (Q.S. Al-Qiyaamah : 18 ) padahal pembaca Al-Qur’an yang
didengar bacaannya oleh Nabi Muhammad SAW adalah Jibril.

Allah berfirman yang Artinya :   "Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh
mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar
ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar." (Q.S. Al-Anfaal : 17) Allah
meniadakan tindakan pembunuhan dari mereka dan menetapkan tindakan itu kepada diri-
Nya dan menafikan tindakan pelemparan darinya lalu menyandarkannya kepada diri-Nya. 

Maksud dari ayat bukan berarti menafikan fakta kasat mata tindakan mereka membunuh
orang-orang kafir dan menafikan tindakan Nabi melempari mereka dengan kerikil.
Namun maksudnya adalah bahwa mereka tidak membunuh  dan melempar dalam
pengertian sebagaimana Allah membunuh dan melempar yaitu penciptaan dan kepastian.
Sebab kedua pengertian ini adalah dua makna yang memiliki arti berbeda.

Kadangkala Allah menisbatkan tindakan kepada diri-Nya dan Nabi Muhammad secara
bersamaan sebagaimana firman Allah yang Artinya :  "Jikalau mereka sungguh-sungguh
ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya  kepada mereka, dan berkata:
"Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan
demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap
kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)." 
(Q.S. At-Taubah : 59). 

‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa Allah SWT jika berkehendak menciptakan janin maka
Allah mengutus malaikat. Lalu malaikat memasuki rahim dan memungut sperma dengan
tangannya kemudian membentuknya sebagai jasad. Malaikat bertanya, “Wahai Tuhanku,
laki-laki atau perempuan jenis kelamin janin ini dan apakah ia normal atau cacat ?”. Lalu
Allah menetapkan janin sesuai dengan kehendak-Nya dan malaikat pun membentuknya.

Dalam versi lain : malaikat membentuk janin dan meniupkan nyawa padanya sebagai
janin yang mendapat bahagia atau celaka. Jika Anda memahami keterangan di atas maka
jelaslah bagi Anda bahwa tindakan digunakan dalam arti beragam dan tidak kontradiktif.
Karena itu tindakan adakalanya disandarkan kepada benda mati seperti dalam firman
Allah yang Artinya : "Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin
Tuhannya." (Q.S. Ibrahim : 25). Pohon tidak bisa memberikan buah dengan sendirinya.

Sebagaimana halnya sabda Nabi kepada orang yang memberikan beliau sebuah kurma :