Sabtu, 10 Desember 2011

KEWAJIBAN MEMAHAMI AL QUR'AN n HADITS DENGAN ILMU ALAT

Memahami ayat dan Hadits dengan ilmu alat, wajibkah ?? bag 1


Sebelum saya memberikan kesimpulan tuntas atas permasalahan furu’ yang masih dipersoalkan oleh kawan-kawan salafi wahhabi yaitu tentang hukum sholat di dalam masjid yang ada makamnya,walaupun saya sudah membuat pembahasan tersendirinya, maka sangatah penting saya menjelaskan tentang urgenitasi memahami nash ayat atau hadits dengan tuntunannya yaitu ilmu kaidahnya.
Di dalam memahami redaksi ayat dari ayat-ayat al-Quran sangat dibutuhkan beberapa fan ilmu yang berkaitan dengannya. Terutama ilmu Nahwu, shorof, balaghah dan ilmu lughatil arabiyyah. Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab :
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“ Sesungguhnya kami menurunkannya dengan berupa al-Quran berbahasa arab agar kalian menegrti “ (QS; Yusuf : 2)
Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat tsb sebagai berikut :
وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها ، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس; فلهذا أنزل أشرف الكتب بأشرف اللغات ،
“ Demikian itu karena bahasa arab adalah paling fasehnya dari seluruh bahasa, paling jelas dan luasnya.  Dan paling banyak membawa makna-makna yang sesuai kalimatnya. Oleh karena itu Allah menurunkan paling mulianya kitab dengan paling mulianya bahasa “.
Para ulama salaf kita telah memberikan pemahaman isi kandungan Al-Quran yang penuh makna hikmah dan mu’jizat dengan jalan tuntunannya yaitu tafsirannya, dengan proses melalui berbagai macam fan ilmu yang berkaitan dengannya seperti :
1. Ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah dan lughah)
2. Ilmu qiraat
3. Ilmu naskhil utsmani
4. Ilmu tafsir
5. Ilmu nasikh wal mansukh
6. Ilmu ghoribil quran
7. Ilmu i’jazil quran
8. Ilmu i’rabil quran
9. Dan selainnya yang berkaitan
Demi menjaga al-Quran dan telah masuk dalam realisasi firman Allah Swt :
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون
“ Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran dan Kamilah yang menjaganya “.
Maka bermunculan lah kitab-kitab tafsir para ulama untuk memberikan sumbangsih bagi umat muslim di dalam memahami makna ayat-ayat al-Quran yang sesuai maksud Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga memahami al-Quran tidak cukup dengan hanya mengandalkan terjemah tanpa mau merujuk tafsiran para ulama salaf yang berkompeten dibidang tafsir, agar kita tidak jauh memahami makna ayatnya dari pemahaman yang sebenarnya. Sehingga sebuah keharusan mengikuti / taqlid pada pemahaman ulama salaf.  
Bagaimana kita bisa memahami al-Quran yang berbahasa arab tanpa memepelajari bahasa arab ??
Terjemahan al-Quran yang ada merupakan hasil dari pemahaman bahasa arab pada al-Quran itu sendiri. Namun tidak cukup memahami terjemahan lafadz per lafadznya saja tanpa menjelaskan maksudnya. Nah maksud dar ayat al-Quran dibutuhkan penafsiran sedangkan penafsiran butuh pada ilmu yang berkaitan dengannya. Dan para ulama tafsirlah yang mampu melakukan ini semua, kita hanya tinggal menikmati hasilnya.
Dan kitab-kitab tafisr merupakan hasil dari penafsiran para ulama yang berkompeten di bidangnya. Untuk kita yang berbangsa ajami (non arab), membutuhkan penerjemahannya ke dalam bahasa masing-masing penduduk. Atau mempelajari ilmu bahasa arab untuk mempelajari kitab-kitab tafsir tersebut. Namun masih dibutuhkan seorang guru yang benar-benar menguasai ilmu bahasa arab agar kita tidak salah paham dalam memaknainya. Dan seorang guru yang memiliki sanad (mata rantai) keilmuan yang bersambung sampai pada ulama pengarang kitab tafsir tersebut, agar tidak menyimpang dari pemahaman yang dimaksud oleh para ulama tsb.
Sungguh amat keliru dan ceroboh orang yang beranggapan bahwa ilmu alat adalah tidak penting, hanya memperlambat umat muslim untuk memahami al-Quran.
Jawabanya : 
Rasul Saw bersabda :
تعلموا العربيية وعلموها الناس
“ Pelajarilah bahasa arab dan ajarkanlah ia pada orang-orang “
Tidak semua kaum muslimin berkecimpung dalam ilmu bahasa arab atau ilmu alat dan ilmu tafsir. Mereka memiliki tahapannya masing-masing.
Semisal, anak kecil yang baru baligh, maka kita tidak ajarkan ilmu alat melainkan kita ajarkan ilmu fiqih yang berkaitan pada kewajibannya semisal sholat dan puasa ramadhan di samping ia juga membaca al-Qurannya. Dan itu pun sama dengan dia mempelajari al-Quran, sebab ilmu fiqih merupakan ilmu yang dihasilkan dari al-quran dan al-Hadits yang telah di racik oleh para ulama. 
Bisa juga melalui pengajian-pengajian, majlis-majlis ilmu atau majlis mauidzhah, atau lainnya.  Ini  mrupakan salah satu media untuk memahami ilmu al-Quran dan hadits Nabi Saw. Karena materi yang disampaikan sipenceramah merupakan suguhan matengnya yang telah diracik dari al-Quran dan hadits. Ibaratnya pergi ke warung untuk makan, maka dia tidak perlu membuat hidangan makan sndiri yang butuh bahan-bahan dan meraciknya sendiri. 
Namun juga harus hari-hati, karena bisa jadi hidangan di warung terdapat racun atau unsure ksengajaan untuk mencelakakan org lain.
Setelah lebih dewasa dan memahami tentang ilmu fardhu ainnya, maka ia mnginjak tahapan selanjutnya, yaitu berusaha memahami ilmu fardhu ainnya dengan dalil-dalilnya.
Kemudian tahap selanjutnya memahami wasilah atau perantara dalam memahami dalil-dalil ilmu tersebut yaitu ilmu alat. Apalgi yang berhubungan lansgung dengan ayat al-Qurannya atau nash haditsnya. 
Seandainya umat muslim tanpa tahapan-tahapan ini, maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya agama Islam ini. Karena akan banyak timbul pemahaman-pemahamn keliru, salah bahkan mennyimpang dari maksud yang sebenarnya, maka rusaklah Islam dan hal ini telah banyak kasusnya dalam aliran-aliran sempalan Islam.
Ibnu Taimiyyah berkata :
ولو سقط علم النحو لسقط فهم القرآن، وفهم حديث النبي ولو سقط لسقط الإسلام
“ Seanadainya ilmu nahwunya jatuh (apalagi tdk mau mempelajarinya), maka akan jatuh juga pemahaman al-Quran dan pemahaman hadits, dan seandainya pemhaman alquran dan hadits jatuh, maka jatuhlah Islam “
Bahkan Ibnu Taimiyyah sendiri pun lebih mengetatkannya dalam hal ini, sampai-sampai ia melarang umat muslim membawakan ayat al-Quran tanpa bahasa arab, misalnya dengan huruf latinnnya. Berikut pendapatnya :
واما الاتيان بلفظ يبين المعنى كبيان لفظ القرأن فهذا غير ممكن وعلى هذا كان ائمة الدين على انه لا يجوز ان يقرأ بغير العربية لا مع القدرة و لا مع العجز لان ذالك يخرجه عن ان يكون  هو القرأن المنزل
“ Membawakan Al-Quran dengan lafadz yang menjelaskan makna Al-Quran, ini tidaklah mungkin bisa dilakukan. Oleh karena itu para imam Agama berpendapat tidak boleh membaca Al-Quran tanpa bahasa arab, walaupun dia mampu atau pun tidak mampu membaca arabnya. karena yang demikian itu akan mengeluarkan al-Quran dari Al-Quran yang diturunkan sebenarnya “
Umar bin Khoththob Ra berkata :
تعلموا اللحن والفرائض والسنن كما تعلموا القران
“ Belajarlah ilmu nahwu, faraidh dan sunnah sebagaiman kamu belajar al-Quran “.
Yahya bin Atiq berkata kepada Hasan “ Wahai Abu Sa’id, seseorang belajar bahasa arab yang dengannya ia memperbagus manthiqnya / cara bicaranya dan bacaan qurannya? Maka Hasan menjawab :
حسن يا ابن اخي فتعلمها فان الرجل يقرأ الاية فيعيى بوجهها فيهلك فيها

“ Itu bagus wahai putra saudaraku, maka pelajarilah bahasa arab, karena seseorang membaca ayat lalu ia tidak cakap dalam cara membacanya maka dia celaka di dalamnya “.
Dari Ibnu Mas’ud beliau berkata :
من اراد العلم فعليه بالقران فان فيه هلم الاولين والاخرين
“ Brangsiapa yang ingin ilmu,maka hendaknya ia mempelajari al-Quran “
Imam Baihaqi mengomentari hadits ini sebgai berikut :
يعني اصول العلم 
“ Maksudnya adalah mempelajari ushul-ushul ilmi / pokok-pokok ilmu (yaitu kaidah-kaidah ushul tafsir) “. (Zubdatul itqan; 143)
Saya akan berikan contoh memahami ayat al-Quran tanpa ilmunya :
Contoh pertama; 
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ 

 “ Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira  dengan apa yang telah mereka kerjakan  dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari adzab, mereka akan medapat adzab yang pedih “. (Al-Imran : 188)
Jika kita artikan sesuai dhahirnya saja maka kita pahami bahwa kita semua akan kena adzab Allah yang pedih, kenapa, karena kita semua pasti merasa senang dengan apa yg kita perbuat dan selalu ingin dipuji atas karya kita. 
Namun sangat berbeda jika kita pahami ayat tersebut dengan sesuai ilmunya yaitu sebagaimana tafisran Ibnu Abbas Ra dalam shohih Bukhari dan Muslim berikut :
“ Ayat tersebut turun kepada Ahlul kitab ketika Nabi Saw bertanya pada mereka tentang sesuatu, lalu mereka menyembunyikannya dan member tahukannya dengan selainnya dan mereka berkata bahwa mereka telah memberitahukan pada nabi dan mereka minta dipuji atas demikian itu “. (HR. bukhari dan Muslim)
Contoh kedua : 
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا

“ Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentng apa yang mereka makan “ (Al-Maidah : 93)
Dengan ayat ini Utsman bin Madh’un dan Amr bin Ma’ad berkata “ Khomr itu mubah bagi kita “
Padahal pemahaman yang benar bukanlah demikian jika mengetahui sebab nuzulnya yaitu “ Bahwa orang-orang berkata saat khomr itu diharamkan “ Bagaimana dengan orang-orang yang wafat di jalan Allah dan mereka minum khomr ?” Maka turunlah ayat tsb. Artinya Allah memaafkan perbuatan yang dilakukan pada masa dahulu yang belom diturunkannya pelarangan khomr.
Contoh ketiga :
افرايت من اتخذ الهه هواه
“ Sudahkah engkau melihat orang yang menjadikan Tuhannya sebagai hawa nafsunya / keinginannya ? ” (Al-Furqan : 43)
Ayat tsb jika kita lihat secara dhahirnya, maka akan menimbulkan bahwa tidak boleh menjadikan Tuhan sebagai keinginannya dan ini sungguh bertentangan dengan perintah-perintah ayat lainnya. Artinya tidaklah mengapa menjadikan Tuhan sebgai keinginannya dan ini hal terpuji.
Namun maksud ayat tsb bukanlah demikian, maka ayat tsb mengandung Taqdimul kalam wa takhirihi, makna yang sebenarnya adalah :
افرايت من اتخذ هواه الهه
“ Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ? ”
Inilah maksud yang sebenarnya. Lafadz ilahahu mrupakan taqdim dan lafadz hawahu merupakan takhir.
Dan tak akan habis jika saya beberkan contohnya, karena setiap contoh akan terikat dengan fan ilmu yang berkaitan dengannya. Demikian pula dalam memahami hadits-hadits Nabi Saw, sangat dibutuhkan ilmu alat karena ucapan Nabi Saw merupakan syarah dari ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesempurnaan bahasa.
(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)

KEBOHONGAN SALAFI WAHABI 02

Membongkar kedustaan Salafi Wahhabi atas nama imam Syafi'i. Bag II


Mereka mencela ajaran tasawwuf dan penganutnya disebabkan :

1. Kesalah pahaman di dalam memandang ajaran tasawwuf. Mereka mengira ajaran tasawwuf itu sesat karena melihat oknum-oknum yang merusak tasawwuf dan menyebarkan kerusakan yang ada padanya. Lalu mereka memukul rata di dalam memvonis sesat ajaran tasawwuf.

2. Taqlid buta pada orang-orang yang memvonis sesat ajaran tasawwuf dengan membuka mata lebar-lebar untuk menerima informasi buruk tentang tasawwuf tanpa mau sedikitpun meneliti dan mengkaji sumber ajaran tasawwuf yang sebenarnya.

Tasawwuf menurut jumhurul ulama adalah “ Konsep di dalam menjalankan rukun agama Islam yang ke-tiga yaitu Rukun Ihsan. Upaya beribadah kepada Allah dengan memfokuskan hati untuk selalu mengingat-Nya. Seolah kita beribadah melihat Allah dan jika belum mampu maka menanamkan dalam hati bahwa Allah selalu melihat kita. Metode di dalam menggapai Ihsan adalah membersihkan hati dan anggota tubuh kita dari semua akhlak yang tercela dan berusaha mengisinya dengan semua akhlak yang terpuji “. Inilah ajaran Tasawwuf.


B. Manipulasi salafi wahhabi terhadap kalam imam Syafi’i dalam hal Tasawwuf

Beraninya mereka berdusta atas nama imam Syafi’i untuk mencela ajaran tasawwuf yang mereka anggap sesat. Hanya bermodalkan taqlid buta pada orang-orang yang mereka anggap paling benar dan bermodalkan ilmu yang pas-pasan.

Mereka mencela ajaran tasawwuf dengan mencomot kalam imam Syafi’I yang mereka anggap bahwa imam Syafi’I juga mencela ajaran tasawwuf dan para penganutnya, tanpa mau mempelajari makna yang sebenarnya.
Mereka membawakan kalam imam Syafi’I tentang tasawwuf sebagai berikut :

روى البيهقي في "مناقب الشافعي"  عن يونس بن عبد الأعلى يقول: سمعت الشافعي يقول: لو أن رجلاً تصوَّف من أول النهار لم يأت عليه الظهر إلا وجدته أحمق.
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu meriwayatkan di dalam kitabnya Manaqib asy-Syafi’I dari Yunus bin Abdul A’la, aku mendengar imam Syafi’I berkata: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.”
Jawaban :

Pertama : Khobar tersebut di dalam sanadnya oleh para ulama masih diperselisihkan artinya tidak tsiqah. Dalam periwayatan lainnya menggunakan kalimat “Lau laa” (seandainya tidak).

Dalam kitab Hilyatul Aulia disebutkan sbgai berikut :

 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، حدَّثَنِي أَبُو الْحَسَنِ بْنُ الْقَتَّاتِ ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَحْيَى ، ثنا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، قَالَ : سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ ، يَقُولُ : " لَوْلا أَنَّ رَجُلا عَاقِلا تَصَوَّفَ ، لَمْ يَأْتِ الظُّهْرَ حَتَّى يَصِيرَ أَحْمَقَ "
“ Seandainya orang yang berakal tidak bertasawwuf, maka belum sampai dhuhur,  ia akan menjadi dungu “
Sanad periwayatan ini muttasil dari pengarang kitab Hiltyatul Aulia hingga sampai pada imam Syafi'i dan lebih kuat karena menggunakan shighah tahdits / sama’ (lambang periwayatan yang didengarkan secara langsung secara estafet).
Kedua ; Mereka menukil ucapan imam Syafi’I tersebut dengan bodoh terhadap makna yang sebenarnya. Benarkah itu sebuah celaan terhadap ajaran tasawwuf ??
Makna yang sesungguhnya adalah :

 “ Tidaklah seseorang belajar tasawwuf tanpa didahului ilmu fiqih, maka tidaklah datang waktu dhuhur maksudnya waktu sholat, kecuali dia dalam keadaan dungu yakni dalam keadaan bodoh, dia tidak mengerti bagaimana 
beribadah dengan Tuhannya “.

Makna seperti ini sesuai dengan kalam para ulama lainnya seperti imam Sirri As-Saqothi yang berkata kepada imam Junaid dan disebutkan oleh al-Hafidz Abu Thalib Al-Makki dalam kitabnya Qutul Qulub sebagai berikut :
“ Imam Sirri as-Saqothi berkata pada imam Junaid “ Jika kau berpisah dariku, siapakah yang kau duduk bersamanya ? Imam Junaid menjawab “ Al-Harist al-Muhasibi “. Imam Sirri berkata “ Benar, ambillah ilmu dan adabnya, dan tinggalkan kalam lembutnya “. Imam Junaid berkata “ Ketika aku hendak pergi aku mendengar beliau berkata :

جعلك اللّه صاحب حديث صوفياً ولا جعلك صوفياً صاحب حديث

“ Semoga Allah menjadikanmu ahli hadits yang bertasawwuf dan tidak menjadikanmu ahli tasawwuf yang pandai hadits “.

Ketiga ; Mereka menukil ucapan imam Syafi’i tersebut dari imam Baihaqi dalam kitabnya Manaqib Asy-Syafi’i. Seandainya mereka mau jujur, maka mereka seharusnya juga menampilkan komentar imam Baihaqi terhadap kalam imam Syafi’i tersebut dan tidak membuangnya. Namun karena tujuan mereka untuk mengelabui umat dari makna yang sebenarnya, mereka tak lagi peduli pada kejujuran dan amanat. Fa laa haula wa laa quwwata illa billahi..

Berikut komentar beliau stelah menampilkan kalam imam Syafi'i tsb dalam kitab beliau Manaqib Asy-Syafi'i juz 2 halaman 207 :

قلت : وإنما أراد به من دخل في الصوفية واكتفى بالاسم عن المعنى، وبالرسم عن الحقيقة، وقعد عن الكسب، وألقى مؤنته على المسلمين، ولم يبال بهم، ولم يرع حقوقهم ولم يشتغل بعلم ولا عبادة، كما وصفهم في موضع آخر
" Aku katakan (Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut): ” Sesungguhnya yang imam Syafi'i maksud adalah orang yang masuk dalam shufi namun hanya cukup dengan nama bukan dengan makna (pengamalan), merasa cukup dengan simbol dan melupakan hakekat shufi, malas bekerja, membebankan nafkah pada kaum muslimin tapi tidak peduli dgn mereka, tidak menjaga haq-haq mereka, tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau menyifai hal ini di tempat yang lainnya. "
(Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Inilah yang dimaksud oleh imam Syafi'i, maka jelas bahwa beliau tidak mencela ajaran tasawwuf dan penganutnya.
Dan cukup kalam imam Syafi’i berikut ini dalam bentuk bait syi’ir untuk membungkam hujjah mereka :
فقيهاً وصوفياً فكن ليس واحدا فإنــي وحـق الله إيـاك أنصح
فذلك قاس لم يذق قلبه تقــى وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح
“ Jadilah kamu seorang ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah satunya, sungguh dengan haq Allah aku menasehatimu.

Jika kamu menjadi ahli fiqih saja, maka hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan jka kamu menjadi yang kedua saja, maka sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan menjadi baik “.

(Diwan imam Syafi’i halaman : 19)

>>>Lagi-lagi mereka berani berdusta atas nama imam Syafi’i dengan menukil ucapan beliau dan diselewengkan dari makna yang sebenarnya.

Sekali lagi mereka memandang ajaran tasawwuf hanya dengan sebelah mata dan menutup mata satunya dari fakta yang sebenarnya. Mereka menyangka tasawwuf sebuah ilmu tersendiri dan terpisah sehingga membentuk sebuah golongan yang disebut sufi. Sebuah tuduhan dan pemikiran dangkal yang bersumber dari kejahilan akan sendi-sendi agama Islam.
Kami akan membuat artikel tersendiri yang menjelaskan makna tasawwuf secara konkrit dan menampilkan pendapat para ulama besar tentang ajaran tasawwuf serta memaparkan kesalah pahaman para penentangnya di dalam memandang ilmu tasawwuf yang mulia ini. Insya Allah..

Yang inti dari makna tasawwuf menurut mayoritas ulama adalah : “ Konsep di dalam menjalankan rukun agama Islam yang ke-tiga yaitu Rukun Ihsan. Upaya beribadah kepada Allah dengan memfokuskan hati untuk selalu mengingat-Nya. Seolah kita beribadah melihat Allah dan jika belum mampu maka menanamkan dalam hati bahwa Allah selalu melihat kita. Metode di dalam menggapai Ihsan adalah membersihkan hati dan anggota tubuh kita dari semua akhlak yang tercela dan berusaha mengisinya dengan semua akhlak yang terpuji “. Inilah ajaran Tasawwuf. 



Kalam imam syafi’i selanjutnya yang dimanipulasi oleh para penentang tasawwuf adalah :

حدثنا أبو محمد بن حيان ثنا أبو الحسن البغدادي ثنا ابن صاعد قال سمعت الشافعي يقول أسس التصوف على الكسل

“ Menceritakan pada kami Abu Muhammad bin Hayyan, Menceritakan pada kami Abul Hasan Al-Baghdadi, menceritakan pada kami Ibnu Sha’id, ia berkata “ Aku mendengar imam Syafi’i berkata “ Tasawwuf itu didasari dengan sifat malas “.
Jawaban :

Pertama : Ibn Sho'id yang disebutkan dalam sanad periwayatn atsar imam Syafi'i tsb tidak bisa menggunakan shighah jazm (sama', ihbar, tahdits), karena Ibnu Sho'id lahir tahun 228 H sdngkan imam Syafi'i wafat tahun 204 H. Bisa dicek dalam kitab Lisan Al-Mizan.
Maka dlm ilmu diroyah hal ini dikatakan maqthu', terputus dan gugur serta batal alias tdk bisa dibuat hujjah.
Kedua : Maksud kalam imam Syafi'i tsb telah disebutkan oleh imam Baihaqi sbgai berikut :
قلت : وإنما أراد به من دخل في الصوفية واكتفى بالاسم عن المعنى، وبالرسم عن الحقيقة، وقعد عن الكسب، وألقى مؤنته على المسلمين، ولم يبال بهم، ولم يرع حقوقهم ولم يشتغل بعلم ولا عبادة، كما وصفهم في موضع آخر
" Aku katakan (Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut): ” Sesungguhnya yang imam Syafi'i maksud adalah orang yang masuk dalam shufi namun hanya cukup dengan nama bukan dengan makna (pengamalan), merasa cukup dengan simbol dan melupakan hakekat shufi, malas bekerja, membebankan nafkah pada kaum muslimin tapi tidak peduli dgn mereka, tidak menjaga haq-haq mereka, tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau menyifai hal ini di tempat yang lainnya. "
(Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Ketiga : Atau yang dimaksud al-kasal (malas) oleh imam Syafi’i adalah at-Tafarrugh (kekosongan / waktu luang). Artinya “ Ajaran tasawwuf didasari dengan kekosongan hati dan anggota tubuh dari keduniaan “. Malas dari segala perkara yang dapat menyibukkan dia dari urusan akherat.

Dan ini sudah maklum merupakan tingkatan dasar ibadah, karena orang yang tidak focus untuk ibadah, maka dia tidak akan bias bersungguh-sungguh untuk ibadah. Dan jika dia mengosongkan hati dari segala urusan yang melailaikan akherat, maka pikirannya, hati dan anggota tubuhnya akan jernih untuk ibadah.   

Maka dasar ajaran tasawwuf itu sifat malas adalah bermakna meninggalkan kesibukan-kesibukan yang dapat melalaikan akherat. Oleh karena itu pula seorang yang zuhud yaitu Syaqiqi al-Bulkhi berkata sebagaimana telah diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyahnya :
حدثنا أحمد بن إسحاق ثنا أبو بكر بن أبي عاصم قال سمعت أبا تراب يقول سمعت حاتما الأصم يقول سمعت شقيقا يقول الكسل عون على الزهد
“ Telah member kabar pada kami Ahmad bin Ishaq, telah member kabar pada kami Abu Bakar bin Abi ‘Ashim, beliau berkata “ Aku telah mendengar Abu Thurab berkata; aku telah mendengar Hatim al-‘Ashom berkata; aku telah mendengar Syaqiq berkata “ Sifat Malas adalah penolong bagi orang yang ahli zuhud “.

Hal ini telah dikuatkan oleh Hadits Qudsi yang telah dishahihkan oleh imam al-Hakim dan disepakati oleh imam Adz-Dzahabi. Dalam Hadits Qudsi tersebut Allah Swt berfirman :

جل ابن آدم تفرغ لعبادتي املأ صدرك غنى و أسد فقرك، وإلا تفعل ملأت صدرك شغلا، و لم أسد فقرك

“ Wahai anak Adam, kosongkan diri untuk focus beribadah pada-Ku, maka aku akan penuhi hatimu dengan kekayaan dan menutup kefaqiranmu. Jika kamu tidak lakukan itu, maka aku akan penuhi hatimu dengan kesibukan dan aku tidak menutup kefaqiranmu “.


Bersambung...
(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)

KEBOHONGAN SALAFI WAHABI 01

Membongkar kedustaan Salafi Wahhabi atas nama imam Syafi'i. Bag I


Berbagai cara dan strategi busuk mereka lakukan untuk menyerang ajaran yang dipegang teguh oleh mayoritas umat Muslim ini, umat yang selalu mengedepankan sikap damai, kasih sayang dan toleransi, umat muslim Ahlus sunnah waljama’ah.

Mulai dari mencela para ulama salaf maupun ulama besar sesudahnya seolah mereka ingin menunjukkan bahwa para ulama kita dalam kesalahan, sesat atau pun kata busuk lainnya dengan hanya bermodal taqlid pada ulama mereka yang kapasitas keilmuannya sangat jauh dibandingkan para ulama yang mereka cela.

Mereka juga suka mencomot ucapan para ulama Ahlus sunnah dan memaknai dengan pemahaman yang menurut mereka itulah maksud ucapan tersebut padahal jika mau diteliti dan dikaji, maka akan tampak nyata makna yang sebenarnya. Tidaklah mereka berbuat demikian kecuali karena dua hal :

1. Sengaja memanipulasi ucapan para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah untuk menipu dan membodohi umat dari makna yang sebenarnya demi mempromosikan doktrin mereka.
2. Kejahilan dan kedangkalan di dalam memahami ajaran agama Islam ini disebabkan mereka memisahkan diri dari pemahaman jumhurul ulama.

ومن يشاقق الرسو ل من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسائت مصيرا

“ Dan barangsiapa menentang Rasul Saw setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami masukkan dia ke dalam neraka jahannam dan itu seburuk-buruk tempat kembali “ (QS. An-Nisa : 115)

Di antara ucapan ulama Salaf yang sering mereka nukil adalah kalam Imam Syafi’i Rahimahullahu.

  1. Manipulasi Salafi terhadap kalam imam Syafi’i dalam hal Aqidah :
" روى شيخ الإسلام أبو الحسن الهكاري ، والحافظ أبو محمد المقدسي بإسنادهم إلى أبي ثور وأبي شعيب كلاهما عن الإمام محمد بن إدريس الشافعي ناصر الحديث رحمه الله قال: القول في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الاقرار بالشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ، وأن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وأن الله ينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء "
Syaikhul Islam Abu Hasan Al-Hakary meriwayatkan dan Al-Hafidz Abu Muhammad Al-Muqoddasi dengan isnad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syuaib, keduanya dari imam Muhammad bin Idris Asy-SyafiI, Nashirul hadits Rh, beliau berkata Pendapat di dalam sunnah yang aku pegang dan juga para sahabatku dari Ahli hadits yang telah aku saksikan dan aku ambil dari mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah pengakuan dengan syahadah bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt, Muhammad adalah utusan Allah dan sesungguhnya Allah Swt di atas Arsy-Nya di dalam langit-Nya yang mendekat kepada makhluk-Nya kapan saja DIA kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia kapan saja DIA kehendaki .

(Mukhtashor Al-uluw halaman : 176)
Jawaban :
Dari sisi sanad :
1. Al-Hafidz Adz-Dzahaby di dalam kitabnya MIZAN AL-ITIDAL juz : 3 halaman : 112 berkata :
أبي الحسن الهكاري : أحد الكذابين الوضاعين
Abu Al-Hasan Al-Hakkari adalah salah satu orang yang suka berdusta dan sering memalsukan ucapan
2. Abul Al-Qosim bin Asakir juga berkata :
قال أبو القاسم بن عساكر : لم يكن موثوقاً به
Dia (Abu Al-Hasan) orang yang tidak dapat dipercaya
3. Ibnu Najjar berkata :
وقال ابن النجار : متهم بوضع الحديث وتركيب الأسانيد
Dia dicurigai memalsukan hadits dan menyusun-nysun sanad
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab LISAN AL-MIZAN juz : 4 halaman : 159 berkata :
وكان الغالب على حديثه الغرائب والمنكرات ، وفي حديثه أشياء موضوعة
Kebanyakan hadits yg diriwayatkannya adalah ghorib dan mungkar dan juga terdapat hadits-hadits palsunya .
5. Ibrahim bin Muhammad Ibn Sibth bin Al-Ajami di di dalam kitabnya Al-Kasyfu Al-Hatsits juz ; 1 halaman : 184 :
وهو كذاب وضاع
Dia adalah seorag yang suaka berdusta dan suka memalsukan hadits .
Dari sisi tarikh / sejarah :
Mereka (wahhaby salafy) mengaku atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu Syuaib dari imam Syafii. Benarkah ??
Ini sebuah kedustaan yang nyata karena di dalam kitab-kitab tarikh / sejarah bahwasanya Abu Syuaib ini dilahirkan dua tahun setelah wafatnya imam Syafii, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tarikh Al-Baghdadi juz : 9 halaman : 436.
Sekarang kita lihat bagaimanakah aqidah imam syafii yang sebenarnya tentang Istiwa Allah Swt ?
Berikut ini ucapan-ucapan imam Syafii yang kami nukil dari kitab-kitab yang mutabar dan dari riwayat-riwayat yang tsiqoh :
1.  Ketika imam SyafiI ditanya tentang makna ISTIWA dalam al-Quran beliau menjawab :

ءامنت بلا تشبيه وصدقت بلا تمثيل واتهمت نفسي في الإدراك وأمسكت عن الخوض فيه كل الإمساك
ذكره الإمام أحمد الرفاعي في ( البرهان المؤيد) (ص 24) والإمام تقي الدين الحصني في (دفع شبه من شبه وتمرد ) (ص 18) وغيرهما كثير.
Aku mengimani istiwa Allah tanpa memberi perumpamaan dan aku membenarkannya tanpa member permisalan, dan aku mengkhawatirkan nafsuku di dalam memahaminya dan aku mencegah diriku dari memperdalam persoalan ini dengan sebenar-benarnya pencegahan
Ini telah disebutkan oleh imam Ahmad Ar-Rifai di dalam kitab Al-Burhan Al-Muayyad (Bukti yang kuat) halaman ; 24.
Juga telah disebutkan oleh imam Taqiyyuddin Al-Hishni di dalam kitab Dafu syibhi man syabbaha wa tamarroda halaman : 18. Di dalam kitab ini juga pada halaman ke 56 disebutkan bahwa imam SyafiI berkata :
ءامنت بما جاء عن الله على مراد الله وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله

Aku beriman dengan apa yang dating dari Allah Swt atas menurut maksud Allah Swt, dan beriman dengan apa yang dating dari Rasulullah Saw menurut maksud Rasulullah Saw .
Syaikh Salamah Al-Azaami dan selainnya mengomentari ucapan imam syafiI tsb :
ومعناه لا على ما قد تذهب إليه الأوهام والظنون من المعاني الحسية والجسمية التي لا تجوز في حق الله تعالى.
Maknanya adalah bukan seperti yang terlitas oleh pikiran dan persangkaan dari makna fisik dan jisim yang tidak boleh bagi haq Allah Swt
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
2. Ketika imam Syafii ditanya tentang sifat Allah Swt, beliau menjawab :
حرام على العقول أن تمثل الله تعالى وعلى الأوهام أن تحد وعلى الظنون أن تقطع وعلى النفوس أن تفكر وعلى الضمائر أن تعمق وعلى الخواطر أن تحيط إلا ما وصف به نفسه – أي الله – على لسان نبيه صلى الله عليه وسلم
ذكره الشيخ ابن جهبل في رسالته انظر طبقات الشافعية الكبرى ج 9/40 في نفي الجهة عن الله التي رد فيها على ابن تيمية.
Haram bagi akal untuk menyerupakan Allah Swt, haram bagi pemikiran untuk membatasi Allah Swt, haram bagi persangkaan untuk memutusi Allah Swt, haram bagi jiwa untuk bertafakkur, haram bagi hati untuk memperdalam sifat Allah, haram bagi lintasan hati untuk membatasi Allah, kecuali apa yang telah Allah sifati sendiri atas lisan nabi-Nya Muhammad Saw .
(Telah disebutkan oleh syaikh Ibnu Jahbal di dalam Risalahnya, lihatlah Thobaqot Asy-Syafiiyyah Al-Kubra juz : 9 halaman : 40 tentang menafikan arah dari Allah Swt sebagai bantahan atas Ibnu Taimiyyah)
3. Di dalam kitab Ittihaafus saadatil muttaqin juz : 2 halaman ; 24, imam SyafiI berkata :
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكانَ لا يجوز عليه التغييرُ في ذاته ولا التبديل في صفاته"
Sesungguhnya Allah Taala ada dan tanpa tempat, lalu Allah menciptakan tempat sedangkan Allah masih atas sifat azaliyah-Nya sebagaimana wujud-Nya sebelum menciptakan tempat. Mustahil bagi Allah perubahan di dalam Dzat-Nya dan juga pergantian di dalam sifat-sifat-Nya
4. Di dalam kitab Syarh Al-Fiqhu Al-Akbar halaman : 52, imam SyafiI berkata yang merupakan keseluruhan pendapat beliau tentang Tauhid :
من انتهض لمعرفة مدبره فانتهى إلى موجود ينتهي إليه فكره فهو مشبه وإن اطمأن إلى العدم الصرف فهو معطل وإن اطمأن لموجود واعترف بالعجز عن إدراكه فهو موحد
Barangsiapa yang bergerak untuk mengetahui Allah Sang Maha Pengatur-Nya hingga pikirannya sampai pada hal yang wujud, maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dgn makhluq). Dan jika ia merasa tenang dengan suatu hal yang tiada, maka ia adalah muaththil (meniadakan sifat Allah Swt). Dan jika ia merasa tenang pada kwujudan Allah Swt dan mengakui ketidak mampuan untuk memahaminya, maka ia adalah muwahhid (orang yang mengesakan Allah Swt)
Sungguh imam SyafiI begitu jeli dan luas pemahamannya akan hal ini, beliau sungguh telah mengambil dari ayat-ayat Allah Swt dalam Al-Quran :
- {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى]
Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah
- فَلاَ تَضْرِبُواْ لِلّهِ الأَمْثَالَ } [سورة النحل]
Janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpoamaan bagi Allah Swt
- :{هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا } [سورة مريم]
Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia ?
Semua ini membuktikan bahwa imam SyafiI Ra mensucikan Allah Swt dan sifat-sifat-Nya dari apa yang terlintas dalam pikiran berupa makna-makna jisim / fisik seperti duduk, dibatasi dengan arah, tempat, gerakan dan diam serta yang semisalnya dan inilah aqidah Ahlus sunnah wal jamaah.
Terbungkamlah lisan mereka..
Bersambung
(Ibnu Abdillah Al-Katibity)