Rabu, 23 Mei 2012

Qana`ah Kunci Kebahagiaan Hidup

BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIM...
 
Tidak dapat dipungkiri saat ini kita hidup dalam era modern yang lazim disebut Digital Life. Segala kebutuhan dan kepentingan hajat hidup hampir semua dapat dikerjakan hanya dengan menekan digit. Mulai dari kebutuhan primer seperti makan misalnya, dengan mudah kita dapat memasak nasi setelah beras dicuci lalu kita masukkan ke dalam Rice cooker hanya sekali tekan tombol cooking niscaya beberapa saat kemudian beraspun berubah menjadi nasi hangat yang siap dinikmati bersama keluarga. Contoh sederhana di atas menunjukkan bahwa kehidupan masa kini semakin canggih, teknologi membantu memudahkan pekerjaan sehari-hari manusia.

Akankah kehidupan yang serba digital membuat kita semakin banyak keinginan? Jawabannya tergantung dari kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu. Disinilah tantangan kita dalam menjaga ketulusan hati untuk hidup secara bijaksana dan menerima adanya walaupun godaan materi dan gaya glamour setiap saat selalu menatap pandangan mata kita. Di saat yang sama pula merupakan tugas berat kita untuk selalu menjaga hati agar tidak terkontaminasi dengan virus-virus yang membahayakan tersebut, sehingga terhindar dari penyakit-penyakit tidak terpuji.
Tentunya dengan mengharapkan Rahmat Allah Swt. untuk diri dan keluarga agar senantiasa menerima nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah dengan penuh rasa syukur baik syukur secara lisan maupun perbuatan. Sebagaimana firman Allah dalam s. Ibrahim/14:7 yang artinya:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur maka Kami akan menambah nikmat kepadamu, namun jika kamu mengingkari nikmat-KU, maka sesungguhnya adzabku sangat pedih.”
Orang beriman merasa senang dan puas menerima rezeki yang telah dikaruniakan Allah kepadanya, serta merasa bersyukur atas rezeki yang diterimanya. Makan dengan apa adanya akan terasa nikmat tiada terhingga jika dilandasi dengan qana’ah dan syukur. Sebab, pada saat seperti itu ia tidak pernah memikirkan apa yang tidak ada di hadapannya. Justru, ia akan berusaha untuk membagi kenikmatan yang ditrimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya.
Namun hendaklah kita tidak salah pengertian tentang makna dan arti qana`ah, bukanlah qana`ah merasa senang dengan segala kekurangan dan kehidupan yang rendah, lemah semangat dan kemauan untuk mencapai cita-cita yang lebih tinggi, mati keinginan untuk mencapai kemajuan moril dan materil, atau kelesuan untuk membebaskan diri dari kelaparan, kemiskinan dan kesengsaraan. Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qana’ah tidak berarti menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang yang hidup qana’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk kekayaan.
Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi dengan rambu-rambu Allah Swt. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya tak pernah melalaikan dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qana’ah-nya dan mmempertebal rasa syukurnya.
Iman memberikan kepada manusia kepuasan akan apa yang diberikan Allah, dalam hal-hal yang tidak bisa kita merubahnya atau kesanggupan untuk mencapainya, biar dengan usaha dan tipu daya manapun. Apalagi dalam masa kesusahan dan kesulitan yang menimpa perorangan dan masyarakat, qana`ah memberikan pertolongan bagi ketentraman dan perdamaian dalam jiwa.
Jasa keimanan ini sangat besar dalam membatasi jiwa manusia dari memperturutkan loba yang tidak berkesudahan, tidak cukup dengan sedikit, tidak puas dengan yang banyak, tidak memadai dengan yang halal dan wajar, sehingga senantiasa dalam keadaan tidak puas, haus dan berkeluh kesah. Maka timbullah cara-cara pencarian rezeki di luar batas hukum dan kemanusiaan, hanya berpedoman asal dapat, tidak perduli bahaya bagi diri dan masyarakat. Naudzubillah min dzalik
Qana’ah menurut arti bahasanya adalah merasa cukup. Dan secara istilah qana’ah merasa cukup atas apa yang dimilikinya. Sikap qana’ah didefinisikan sebagai sikap merasa cukup dan ridha atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT.
Rela menerima pemberian Allah subhanahu wata’ala apa adanya, merupakan sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan, kecuali bagi siapa yang diberikan taufik dan petunjuk serta dijaga oleh Allah dari keburukan jiwa, kebakhilan dan ketamakannya. Karena manusia diciptakan dalam keadaan memiliki rasa cinta terhadap kepemilikan harta. Namun meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya dapat menekan sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana’ah. Menurut Prof.DR. Hamka dalam Tasauf Modern, qana`ah mengandung lima perkara, yaitu:
Pertama, menerima dengan rela akan apa yang ada. Hati yang rela kepada Allah atas segala keadaan akan menimbulkan kesenangan dan kegembiraan, merupakan jalan menuju hidup bahagia. Begitu pula sebaliknya, hati yang benci memandang semua yang baik menjadi tidak baik bahkan yang baik sekalipun masih dianggap kurang baik. Yang telah cukup masih belum cukup. Hidup dengan keluhan, penyesalan dan senantiasa kurang puas. Hanya iman dan sikap ridalah yang mampu membentengi penglihatan kita dalam memandang segala sesuatu, sehingga kelihatan indah, cantik dan menentramkan hati.
Kedua, memohonkan kepada Allah tambahan yang pantas dan berusaha. Firman Allah dalam s.al-Baqarah ayat 186. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Karena Allah dekat dengan hamba-hamba-NYA yang beriman dan beramal shalih kita dipersilakan untuk memohon dengan ikhlas setelah kita berusaha dengan menyempurnakan ikhtiar. Dalam s.al-Mu`min ayat 60, Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.
Ketiga, Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah. Sebagaimana firman Allah Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Orang beriman mengetahui bahwa cobaan yang diterimanya bukanlah suatu pukulan yang datang tiba-tiba atau datang menyerang dengan membuta tuli, melainkan sesuatu dengan qadar yang telah dikenal, ketentuan yang pernah berlaku, kebijaksanaan dan keputusan dari Tuhan.
Keempat, Bertawakal kepada Allah. Tawakal bukan berarti menyerah semata-mata, tinggal diam dan tidak bekerja. Saidina Umar yang berbunyi; “langit tidak pernah menurunkan hujan emas atau perak”, cukup untuk memberikan pengertian tentang arti tawakal dan menyerahkan diri kepada Allah.
Tawakal bukanlah meninggalkan sebab-sebab yang diadakan oleh Allah, bukan pula menyerah dan mengharapkan supaya Allah mengadakan sesuatu di luar keadaan yang biasa, menanti–nanti hujan emas atau perak turun dari langit atau menunggu dari bumi keluar nasi atau roti tanpa ada kerja dan usaha, tanpa mempergunakan pikiran.
Arti tawakal ialah bekerja dan mengusahakan sebab-sebab yang biasa, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah. Benih disemai dan ditanam, sedang memberi buahnya diharapkan kepada Allah. Kita mengerjakan mana yang biasa dan dalam batas kesanggupan manusia, selebihnya kita serahkan kepada Allah.
Tatkala di masa Rasulullah saw. datanglah seorang Arab dusun kepada Beliau, lalu ditinggalkannya untanya dekat pintu mesjid, lepas tak bertali. Dengan begitu dia menyerahkan kepada Allah untuk memeliharanya, Nabi saw. Bersabda, yang sampai sekarang tetap menjadi perkataan yang bersayap, “I`qilha wa tawakkal” (ikatlah untamu dan bertawakallah).
Kelima, Tidak tertarik oleh tipu daya dunia. Rasulullah Saw. telah bersabda: “Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, kekayaan ialah kekayaan jiwa”. Maksudnya jiwa dan raga merasa cukup dengan apa yang ada, tidak loba dan cemburu, bukan orang yang meminta lebih terus-terusan. Karena kalau masih meminta tambah, bertanda masih miskin.
Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw. bersabda: “alqana`atu maalun laa yanfadu wa kanzun laa yafnaa”. Artinya: Qana`ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan pernah lenyap. (Hadis dirawikan oleh Thabrani dari Jabir).
Tentunya maksud qana`ah dalam Hadis tersebut ialah qana`ah hati bukan qana`ah ikhtiar. Karena kita diperintahkan untuk bekerja dan berusaha semaksimal mungkin seakan-akan kita hidup selamanya. Dibalik itu semua, kita diminta untuk menenangkan hati dan meyakini bahwa dalam bekerja terdapat untung dan rugi, tidak terbentur jika harapan tidak tercapai..
Sebagaimana firman Allah dalam S. At Taubah:105 “Dan katakanlah: “Beramallah kamu, Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang mu`min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha mengetahui akan yang ghaib dan nyata…”.
Rasulullah Saw. bersabda “I`mal lidunyaaka ka annaka ta`isyu abadan wa`mal liakhirataka ka annaka tamuutu ghaddan”, artinya bekerjalah untuk kehidupan duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk kehidupan akhiratmu seakan-akan kamu meninggal esok hari.
Dengan qana`ah kita dapat menghadapi kehidupan dengan kesungguhan yang energik dalam mencari rezki. Tidaklah terdapat rasa takut dan gentar, ragu-ragu dan syak bagi orang yang memiliki sifat qana`ah. Dengan berteguh hati dan fikiran terbuka, ia bertawakal kepada Allah Swt. Mengharapkan pertolongan-Nya, serta tidak merasa jengkel dan kecewa jika terdapat maksud yang belum berhasil.
Sikap qana`ah merupakan obat mujarab dalam menghindari segala keraguan dalam hidup, selain itu berikhtiar dan percaya kepada takdir. Hingga keadaan bagaimanapun yang datang kita tidak syak dan ragu.
Sebagaimana telah dicontohkan Nabi Ayyub as. yang hidup dalam limpahan kenikmatan duniawi, tenggelam dalam kekayaan yang tidak ternilai besarnya, mengepalai keluarga yang besar, hidup rukun damai dan sejahtera. Namun Ayyub tidak tersilau matanya oleh kekayaan yang ia miliki dan tidak tergoyahkan imannya oleh kenikmatan duniawinya ia tetap memohon ampun atas segala dosa dan keteguhan iman serta kesabaran atas segala cobaan dan ujian dari Allah.
Walaupun cobaan dan musibah datang memusnahkan harta kekayaannya, mencerai-beraikan keluarganya sehingga ia menjadi sebatang kara. Dimulai dengan hewan-hewan ternaknya yang bergelimpangan mati satu persatu sehingga habis sama sekali, kemudian disusul ladang-ladang dan kebun-kebun tanamannya yang rusak menjadi kering dan rumahnya yang terbakar habis dimakan api, sehingga dalam waktu yang sangat singkat sekali Ayyub yang kaya-raya tiba-tiba menjadi seorang miskin papa tidak memiliki sesuatu apapun selain hatinya yang penuh iman dan takwa serta jiwanya yang besar.
Maha suci Allah yang telah membalas kesabaran dan keteguhan iman Ayyub bukan saja dengan memulihkan kembali kesehatan badannya dan kekuatan fisiknya seperti keadaan semula, bahkan dikembalikan pula kebesaran duniawinya dan kekayaan harta-bendanya dengan berlipat ganda.
Kepadanya juga dikurniakan lagi putera-putera sebanyak yang telah hilang dan mati dalam musibah yang telah dialaminya. Demikianlah rahmat Tuhan dan kurnia-Nya kepada Nabi Ayyub yang telah berhasil melalui ujian yang berat dengan penuh sabar, tawakkal dan beriman kepada Allah. Kisah Nabi Ayyub dapat kita baca dalam Al-Quran surah Shaad ayat 41-44 dan surah Al-Anbiaa’ ayat 83 dan 84.
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam adalah manusia yang paling qana’ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun demikian beliau masih meminta kepada Allah Swt. agar diberikan qana’ah, beliau berdoa:
“Ya Allah berikan aku sikap qana’ah terhadap apa yang Engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR al-Hakim, beliau menshahihkannya, dan disetujui oleh adz-Dzahabi).

HATI - HATI NGUCAPKAN TALAK

    Nabi Muhammad SAW. bersabda:

أبْغَضُ الْحَلاَلِ اِلىَ اللهِ الطَّلاَقُ  رواه أبو داود و ابن ماجه و صححه الحاكم 

“Paling dibencinya perkara halal di sisi Allah adalah talak (cerai)” ( HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishohihkan oleh al-Hakim )

    Menurut para ulama, kata halal dalam hadis di atas yang dimaksud adalah makruh sebab sesuatu yang makruh itu masih halal dilaksanakan akan tetapi Allah tidak suka. Berarti, maksud sabda Nabi di atas; “perkara makruh paling dibenci di sisi Allah SWT. adalah cerai”. (Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar as Syatiri, Syarah Yaqut an Nafis, Hal: 617)
    Namun terkadang talak juga bisa menjadi sebuah solusi yang tepat di tengah problematika kehidupan berumah tangga ketika membawa suatu kemaslahatan yang kembali pada suami istri atau anak-anak. Ada dua problematika yang penyelesaiannya itu lebih baik dengan talak. Pertama, salah satu dari suami atau istri memiliki kelemahan dalam  memproduksi keturunan. Kedua, ketidakharmonisan dalam menjalani kehidupan berumah tangga, sehingga tidak jarang terjadi pertengkaran, percekcokan dan permusuhan. Bahkan ironisnya, sering kali pihak perempuan mendapatkan kekerasan fisik dari suaminya. (Ahmad Ali al Jurjawi, Hikmat at Tasyri' Wa Falsafatuhu, juz 2 Hal: 36-37) Akan tetapi, ini sekedar hikmah yang terselubung di balik  diperbolehkannya talak, karena itu sifatnya relatif. Terkadang masalah-masalah tersebut tidak harus diselesaikan dengan jalan talak.
    Ada masalah yang lebih urgen (penting) untuk dibahas di sini yakni kebanyakan orang Islam ternyata belum terlalu mengetahui tentang praktek talak itu sendiri, terutama tentang kapan dan bagaimana talak itu bisa jatuh?. Kurangnya pengetahuan tentang hal ini akan berakibat fatal sebab seseorang bisa terjerumus pada perzinahan hanya karena berhubungan intim dengan seseorang yang masih dianggap sebagai istrinya, padahal pernikahannya sudah batal. Atau bisa menyebabkan keragu-raguan dalam menjalani kehidupan berumah tangga sehingga dalam hati sering kali timbul pertanyaan “Pernikahanku masih sah apa tidak ?”.
    Para Salaf as Sholih  berkata:

وَالْوَسْوَسَةُ مَصْدَرُهَا الْجَهْلُ بِمَسَالِكِ الشَّرِيْعَةِ أَوْ نُقْصَانٌ فِي غَرِيْزَةِ الْعَقْل

“Sumber was-was adalah tidak adanya pengetahuan tentang peraturan-peraturan syariat atau kelemahan akal”(al Hafidz an Nawawi, Majmu' Syarah al Muhadzdzab, juz 1Hal: 207)
    Berikut adalah problem seorang muslimah sehubungan dengan masalah talak yang membutuhkan jawaban menurut kaca mata Islam. Dia jatuh dalam jurang keragu-raguan nikahnya masih sah atau sudah batal?. Hal ini disebabkan suaminya sering mengucapkan kata-kata yang mengarah pada talak tapi dianggapnya biasa-biasa saja. Singkatnya, dia sering mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya. Hampir setiap hari bertengkar. Pada puncaknya, dalam keadaan emosi sang suami berkata “Aku sudah tidak sanggup lagi denganmu, lebih baik aku kembalikan saja kamu pada orang tuamu”. Beberapa bulan kemudian muslimah ini  pulang ke rumah orang tuanya karena tidak kuat. Tak lama berselang, dia memutuskan ke suaminya lagi dengan akad nikah baru dengan harapan hidupnya bisa lebih baik lagi. Tetapi harapan tersebut belum bisa tercapai juga. Suaminya tetap saja seperti yang dulu, bahkan kali ini kata-kata berbau talak semakin mengalir dari mulutnya dengan tanpa sadar, dia mengatakan “Oke kita cerai, toh dari awal kamu yang memutuskan kembali padaku”. Tapi anehnya, dia sama sekali tidak merasa menceraikan istrinya dan keesokan harinya biasa-biasa saja. Dan untuk yang ketiga kalinya dia mengatakan “Ya sudahlah, kamu gak taat lagi sama aku, kalau kamu memang tidak mau ke rumah orang tuaku, itu artinya mulai detik ini hubungan kita cukup berakhir sampai disini. Kita sudah bersih tak ada apa-apa lagi”. Esok harinya rukun lagi dan berhubungan seperti biasa.
Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah status pernikahan keduanya? Untuk mengetahui jawabannya ikuti uraian berikut.

1.    Definisi Talak

Secara etimologi talak berarti melepaskan ikatan. Sedangkan dalam pandangan Syara' adalah melepaskan ikatan pernikahan dengan menggunakan kata-kata talak (cerai) atau yang semisalnya. Kebolehan talak telah mendapatkan legitimasi yang sangat kuat dari dalil-dalil syariat baik al Qur'an, Hadits atau Ijma' (kesepakatan para Ulama). (Muhammad bin Ahmad ar Romli (Syafi'i Shoghir), Ghoyat al Bayan Syarah az Zubad Libni Ruslan, Hal: 261) Allah SWT. berfirman:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ   البقرة: 229

“Talak (yang dapat dirujuk) ialah dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. al Baqoroh (2): 229)

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ  الطلاق1: 

"Wahai Nabi, apabila Engkau menceraikan istri-istriMu maka hendaklah Engkau ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu” (QS. at Tholaq (65): 1)

2.    Pembagian Talak

Setelah memahami definisi talak, kini saatnya memahami tentang pembagian talak yang berhubungan dengan prakteknya. Ulama fikih membagi talak menjadi beberapa bagian sesuai sudut pandanganya. Di pandang dari segi kejelasan kata-kata yang menunjukkan pada talak, talak ada dua yakni Shorih dan Kinayah. Di pandang dari segi keadaan istri ketika ditalak apakah dalam keadaan suci atau haid, maka talak dibagi menjadi tiga yakni talak Bid'ah, talak Sunnah dan bukan keduanya. Dan di pandang dari segi hubungannya dengan harta sebagai gantian dari talak, talak ada dua yakni talak Khulu’ dan talak biasa.(DR. Mushtofa al Khin dan DR. Mushtofa al Bugho, al Fiqh al Manhaji 'Ala Madzhab al Imam as Syafi'I, juz 2 Hal: 116)
Namun, pembagian talak di atas tidak akan diterangkan semuanya dalam pembahasan ini. Berdasarkan pendahuluan di atas, penulis hanya akan mengupas tentang pembagian talak dari sudut pandang yang pertama yakni talak Shorih dan Kinayah. Dengan mengetahui secara detail tentang talak shorih dan kinayah maka kita akan mengerti kapan suatu perkataan itu bisa menjadi talak dan memutuskan hubungan pernikahan.
  •     Talak Shorih
Talak Shorih adalah ucapan talak yang secara lahiriah lafadnya hanya menunjukkan pada talak. Dalam bahasa Arab, ada tiga kata yang apabila diucapkan langsung menunjukkan pada talak yakni at Tholaq, as Sarah dan al Firoq dan kata-kata yang tercetak dari ketiganya. Ketiga kata tersebut memiliki arti yang berdekatan, at Tholaq berarti perceraian, as Sarah berarti pelepasan dan al Firoq berarti perpisahan. Dalam implementasinya, kata-kata tersebut bisa menjadi talak baik dikatakan dengan bahasa Arab atau bahasa terjemahan seperti bahasa Indonesia. Berikut contohnya: “Kamu tertalak”, “Aku melepaskan kamu dari hubungan pernikahan ini”, “Aku berpisah dengan kamu” dan bentuk kalimat-kalimat lain yang memuat kata-kata di atas.(Ibid, juz 2 Hal: 116-117)
Kata-kata di atas dikategorikan shorih (jelas) dalam mengindikasikan talak sebab sering terlaku dalam lisan syara' dan diulang-ulang penyebutannya dalam al Qur'an dengan tetap bermakna talak. Allah SWT. berfirman:

  يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ  الطلاق: 1

“Wahai Nabi, apabila Engkau menceraikan istri-istriMu maka hendaklah Engkau ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu”
(QS. at Tholaq (65): 1)

وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا    الأحزاب: 28
“Dan Aku ceraikan kalian (para perempuan) dengan cara yang baik” (QS. al Ahzab (33): 28)

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ    الطلاق: 2
“Apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik” (QS. at Tholaq (65): 2)
Untuk bisa menjadi talak, kata-kata shorih di atas tidak membutuhkan pada niat. Ini disebabkan eksplisitifitas atau kejelasan kata-kata tersebut dalam mengindikasikan terhadap makna, sehingga baik diucapkan dengan niat atau tidak maka langsung jatuh talak. (Ibid, juz 2 Hal: 118)
  •     Talak Kinayah
Talak Kinayah adalah ucapan-ucapan yang masih mungkin berarti talak atau selainnya. Kata-kata yang masuk kategori talak kinayah banyak sekali. Diantaranya adalah: “Temuilah keluargamu”, “Pergilah sekehendakmu”, “Menjauhlah dariku”, “Mengasinglah dariku”, “Kamu haram bagiku” dan kalimat-kalimat lain yang mungkin mengarah pada talak dan mungkin pada selain talak.
Kalimat-kalimat di atas tidak akan bisa menjadi talak kalau seorang suami dalam mengucapkannya tanpa disertai niat talak, semisal dia tidak niat apa-apa sama sekali atau niat sesuatu yang lain.

3.     Syarat Sah Talak

Syarat sah jatuhnya talak ada tiga yaitu telah terjalinnya akad nikah di antara keduanya, sang suami telah sempurna akalnya (bukan anak kecil, gila atau sedang tertidur) dan tidak dipaksa. Dari syarat yang ketiga ini bisa disimpulkan bahwasannya talak juga bisa jatuh meskipun diucapkan dengan main-main.(Ibid, juz 2 Hal: 124-125)

4.    Bilangan Talak

Secara asal hak talak berada di tangan suami sebagaimana firman Allah SWT.:

أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ    البقرة: 237

“atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah”
(QS. al Baqoroh (2): 237)
    Hak talak yang dimiliki oleh suami adalah tiga kali. Maksudnya boleh baginya mentalak istrinya sampai tiga kali. Dua kali talak statusnya adalah Tholaq Roj'iy dan yang terakhir adalah Tholaq Ba'in Kubro.
  •    Tholaq Roj'iy adalah talak pertama atau kedua yang dijatuhkan suami setelah dia pernah menggauli istrinya, di mana setelah itu masih diperbolehkan baginya kembali atau rujuk padanya selama masih dalam keadaan ‘iddah.
  •    Tholaq Ba'in Kubro adalah talak tiga (baik dalam satu waktu atau dilakukan tiga kali dalam waktu yang berbeda) di mana setelah itu suami tidak boleh kembali lagi pada istrinya dengan cara rujuk. 
  •    Tholaq Bain Shughro adalah talak pertama atau kedua yang dijatuhkan selama suami tidak pernah menggauli istrinya atau pernah menggaulinya namun ‘iddah istri telah habis atau talak dengan cara Khulu' (talak dengan cara istri memberikan harta kepada suami atas keinginan dia sendiri).
    Apabila talak yang jatuh pada istri adalah talak Ba’in Kubro atau Shugro, maka bagi suami tidak bisa lagi kembali pada istrinya dengan hanya rujuk. Dia bisa kembali padanya dengan cara akad nikah dan mahar yang baru atas keridhoan istrinya ketika sudah terpenuhinya lima syarat berikut:
1.    ‘Iddahnya telah selesai.
2.    Menjalin hubungan pernikahan lagi dengan laki-laki lain dengan akad nikah yang sah.
3.    Suami yang kedua pernah menggaulinya (baca; menjima'nya) secara hakiki.
4.    Suami yang kedua menceraikannya atau meninggal dunia.
5.    ‘Iddahnya dengan suami yang kedua telah selesai.
Itu adalah peraturan asal tentang siapakah yang memiliki hak talak. Akan tetapi istri pun pada sebagian keadaan diberi hak untuk menuntut cerai yakni ketika dia mendapat perlakuan kasar dari suaminya sehingga membahayakan keselamatannya atau ketika suami tidak mampu memenuhi hak-hak istrinya yang kemudian terjadi kesulitan untuk mencari jalan yang terbaik bagi keduanya. Maka dalam dua kondisi tersebut boleh bagi Qodhi (hakim nikah) untuk menjatuhkan talak terhadap pihak perempuan berdasarkan kehendaknya.(Ibid, juz 2 Hal: 123 dan 133-137)
‘IDDAH
    Untuk mendalami talak, maka juga harus mengetahui tentang apa itu ‘Iddah. Sebab setelah seorang perempuan diceraikan oleh suaminya maka dia harus menjalani masa yang namanya ‘iddah. ‘Iddah adalah masa di mana seorang perempuan menunggu kepastian kekosongan rahimnya dari janin yang kemungkinan dibuahi oleh suaminya. Hal ini bisa diketahui dengan cara melahirkan, menunggu beberapa bulan atau melalui beberapa kali tahap suci dari haid.
    Perempuan yang mengalami masa ‘iddah dibagi menjadi dua. Pertama, perempuan yang ditinggal mati suaminya. Kedua, perempuan yang tidak ditinggal mati suaminya yakni yang diceraikan. Masing-masing dari kedua perempuan tersebut ‘iddahnya adalah sampai melahirkan apabila ketika itu memang dalam keadaan hamil. Apabila tidak dalam keadaan hamil maka untuk perempuan pertama ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari dan untuk perempuan yang kedua, apabila tidak dalam keadaan hamil ‘iddahnya masih diperinci. Apabila dia masih bisa haid maka ‘iddahnya adalah tiga kali suci dari haid dan apabila belum pernah haid atau sudah tidak haid lagi maka ‘iddahnya tiga bulan.(Syekh Ibnu al Qosim al Ghuza, Hamisy Hasyiah al Bajuri (Fathul Qorib), juz 2 Hal: 167-171)
    Dari uraian ini, maka sekarang kita terapkan pada kasus di atas secara terperinci.
  •    Ucapan Pertama “Aku sudah tidak sanggup lagi denganmu, lebih baik aku kembalikan saja kamu pada orang tuamu”.
    Ucapan ini sangat jelas sekali menunjukkan pada talak kinayah sebagaimana uraian di atas. Untuk bisa menjadi talak maka membutuhkan terhadap niat dari sang suami. Apabila dia mengucapkannya dengan niat talak maka jatuhlah talak kesatu dan apabila tidak disertai niat talak maka talak tidak jatuh.
    Talak pertama ini bisa dikategorikan Roj'iy ketika suami pernah menggauli istrinya. Maka dia bisa kembali lagi pada istrinya di tengah masa ‘iddah dengan cara rujuk. Apabila masa ‘iddahnya telah habis sedangkan dia belum rujuk, maka hak rujuk telah hilang dan untuk bisa kembali lagi dia harus menggunakan akad nikah dan mahar yang baru atas keridhoan sang istri.
  •     Akad Nikah Baru
    Apabila ucapan talak kinayah di atas memang benar-benar disertai niat talak maka jatuhlah talak satu. Akad nikah baru tersebut bisa dikatakan tepat ketika talaknya masuk kategori talak Ba'in Shugro. Yakni suami menjatuhkan talaknya sebelum pernah menggauli istrinya atau pernah menggauli tapi masa ‘iddah talak telah habis, di mana dalam masa tersebut suami tidak melakukan rujuk pada istrinya.
  •     Ucapan Kedua “Oke kita cerai, toh dari awal kamu yang memutuskan kembali padaku”
    Tidak diragukan lagi bahwa ucapan yang kedua ini sangat mengarah pada talak Shorih sebab ada kata “cerai”. Maka talak yang kedua pun jatuh walaupun tidak disertai niat talak ketika mengucapkan. Konsekuensi dari hal ini adalah hak talak suami tinggal satu kali lagi. Sama halnya dengan sebelumnya, untuk bisa kembali lagi pada istrinya maka suami cukup rujuk saja dengan kata-kata yang menunjukkan pada kehendak untuk kembali. Rujuk ini bisa dilakukan apabila talaknya termasuk talak Raj'iy. Sekarang, mungkin sang suami pernah menggauli istrinya tapi apakah dia dalam masa ‘iddah talak yang kedua mau rujuk pada istrinya? Apabila tidak segera rujuk sampai ‘iddahnya habis maka harus akad nikah dan mahar baru lagi atas keridhoan sang istri.
  •     Ucapan ketiga “Ya sudahlah, kamu gak taat lagi sama aku, kalau kamu memang tidak mau kerumah orang tuaku, itu artinya mulai detik ini hubungan kita cukup berakhir sampai disini. Khta sudah bersih tak ada apa-apa lagi”
    Ucapan ini dikeluarkan setelah istri tidak mau memenuhi keinginan suami untuk kembali pada orang tua suami. Maka ucapan ini tergolong talak Mu’allaq yakni talak yang digantungkan terhadap terjadinya sesuatu. Talak ini bisa jatuh apabila disertai niat sebab termasuk talak kinayah. Apabila memang ucapan yang ketiga ini disertai niat talak, maka hak talak suami yang ada tiga telah habis. Talak yang ketiga ini tergolong talak Ba’in Kubro. Untuk kembali pada istrinya, sang suami tidak bisa lagi menggunakan rujuk sebagaimana sebelumnya. Dia bisa kembali padanya dengan cara akad nikah dan mahar yang baru atas keridhoan dari mantan istrinya ketika sudah memenuhi lima syarat yang telah disebutkan di atas. Wallahu A’lam

        Oleh: Muhammad Hamdi

ADA APA DENGAN BULAN RAJAB ??? PUASA SUNNAH RAJAB ???

ADA APA DENGAN BULAN RAJAB ??? PUASA SUNNAH RAJAB ???

Posted on May 30, 2011 by ana abdun



بسم الله الرحمن الرحيم

اَلْحَمْدُ ِلله الذي هذانا لهذا و مَاكُنَّ لنهتَدِي لَوْلاَ ان هذانا الله و الصلاة و لاسلام على سَيِّدِنَا رسولالله مُحَمَّدٍ بن عبدالله

وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ مَنْ وَالاَه . اَمَّا بَعْدُ



Memurnikan Akidah Menebarkan Sunnah Sayyidina Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam

Mengingat tanggal 22 Mei 2012 yang insya Allah adalah malam pertama Bulan Rajab maka izinkanlah kami membuat risalah kecil ini yang mudah-mudahan dapat mengingatkan kita kembali akan kemuliaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada Bulan Rajab.



Berikut Penjelasan Guru-guru kami dari para Habaib, Kyai dan Asaatidz mengenai Hal-hal yang berkaitan dengan Amalan-amalan di Bulan Rajab.



Bulan Rajab adalah salah satu bulan-bulan haram yang tersendiri dan tidak berkumpul dengan bulan-bulan haram lainnya. Lain dengan ketiga bulan-bulan haram lainnya. Karena bulan-bulan haram lainnya terletak berurutan, yaitu : Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram.



Ada beberapa Hadist yang berbicara tentang keutamaan bulan ini, diantaranya adalah sebagai berikut:



عن أبي بكرة ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « إن الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق الله السموات والأرض ، السنة اثنا عشر شهرا منها أربعة حرم ، ثلاث متواليات : ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ، ورجب شهر مضر الذي بين جمادى وشعبان

»

Yang artinya: ” Dari Abu Bakrah Radhiallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ”sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya di hari dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan langit dan bumi, satu tahun ada dua belas bulan, disitu terdapat empat bulan yang di haramkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tiga bulan berturut-turut : Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab adalah bulan mudhar yang terletak antara Jumadil akhir dan Sya’ban“.



Maksud dari Hadist ini adalah membatalkan apa yang dilakukan oleh orang jahiliyah dengan mengganti sebagian bulan Haram dengan bulan lainnya, atau yang disebut dengan Annasi’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab suci Al-Qur’an yang artinya :



( إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا في كتاب الله يوم خلق السماوات و الأرض منها أربعة حرم ذلك الدين القيم فلا تظلموا فيهن أنفسكم ) [التوبة : 36



Yang artinya: ” Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan dalam ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat yang haram, itulah ketetapan agama yang lurus maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu “. (QS At-Taubah : 36)



Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi tahu bahwa sejak bumi dan langit diciptakan dan juga malam dan siang berputar pada porosnya, dan menciptakan apa yang ada di langit seperti matahari, bulan dan bintang, dan menjadikan matahari dan bulan bertasbih pada porosnya, maka terjadilah dari itu petangnya malam hari dan putihnya siang hari, maka dari waktu itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan setahun adalah dua belas bulan sesuai dengan terbitnya bulan.



Setahun menurut syariat Islam dihitung sesuai perputaran bulan dan terbitnya, bukan sesuai dengan perputaran matahari seperti yang dilakukan oleh Ahli kitab. Allah menjadikan dari bulan-bulan ini empat yang diharamkan. Tiga diantaranya berurutan yaitu : Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, Rajab merupakan salah satu bulan yang diharamkan Allah yang tersendiri.



عن ابن عباس ، في قوله عز وجل : ( إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا في كتاب الله ) إلى قوله : ( منها أربعة

حرم ذلك الدين القيم فلا تظلموا فيهن أنفسكم ) قال : لا تظلموا أنفسكم في كلهن ، ثم اختص من ذلك أربعة أشهر فجعلهن حرما وعظم حرماتهن وجعل الذنب فيهن أعظم ، والعمل الصالح والأجر أعظم .



Dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhu, dalam sabda Allah yang artinya : “Inna ‘Iddata assyuhuuri ‘indAllahi…”Janganlah kalian menganiaya diri sendiri disemua bulan-bulan ini, khususnya di empat bulan yang diharamkan Allah ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikannya haram, dan telah besar kehormatannya, dan menjadikan dosa-dosa di bulan ini lebih besar, dan amal saleh di bulan ini lebih banyak pahalanya“.



Bulan ini adalah bulan yang sangatlah mulia, ibadah di bulan ini sangat dianjurkan karena mempunyai pahala yang sangat besar. Khususnya berpuasa dan Istighfar di bulan ini juga taubat dari berbagai kekhilafan, di malam pertama di bulan ini do’a-do’a terijabahkan, maka disunahkan untuk banyak berdo’a, Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

عن ابن عساكر عن أبي أمامة رضي الله عنه : ((خمس ليال لا ترد فيهن الدعوة : أول ليلة من رجب ، وليلة النصف من الشعبان ، وليلة الجمعة ، وليلة الفطر ، وليلة النحر ))



Yang artinya: “Ada Lima malam dimana do’a-do’a di situ tidak ditolak, malam pertama di bulan Rajab, malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at, malam Idul Fitri, malam Idhul Adha“.



Al Imam Al Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i, berbunyi : “Telah sampai kepada kami bahwa Asy-Syafi’i mengatakan : ‘Sesungguhnya do’a itu mustajab pada lima malam : malam Jum’at, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan Rajab dan malam nisfu Sya’ban’ “. (Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, 1994, Maktabah Dar Al-Baz : Makkah Al-Mukarramah, juz 3 hlm 319).



NAMA-NAMA BULAN RAJAB

Salah satu dari ciri-ciri bulan Rajab ini adalah, bahwa bulan ini mempunyai nama yang sangat banyak. Sebagian ulama berkata bahwa bulan ini mempunyai empat belas nama yaitu : Bulan Allah , Rajab, Rajab mudhar, Munshilul asinnah, Al-Asham, Al-ashab, Munaffis, Muthahhir, Mu’alla, Muqiim, Harim, Muqasyqisy, Mubarri’, Fardun. Sebagian ulama menyebutkan bahwa Rajab mempunyai tujuh belas nama seperti yang diatas ditambah dengan : Rajam, Munshillul Alat, dan Munzi’ul Asinnah. Bulan Rajab dinamakan bulan Al Asham karena disitu tidak terdengar suara pedang, karena peperangan diharamkan di bulan ini, baik dizaman Jahiliyah dahulu atau setelah datang masa kenabian.



عن عائشة ، رضي الله عنها ، قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إن رجب شهر الله ويدعى الأصم ، وكان أهل الجاهلية إذا دخل رجب يعطلون أسلحتهم ويضعونها ، فكان الناس يأمنون وتأمن السبل ، ولا يخافون بعضهم بعضا حتى ينقضي »



Yang artinya : Dari Sayyidah Aisyah Rhadiallahu anha, dia berkata : Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : ” Rajab Adalah bulan Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan disebut dengan Al-Ashamm, kaum jahiliyah dahulu kala ketika memasuki bulan Rajab memogokkan pedang-pedang mereka dan meletakkannya (meninggalkan peperangan), sehingga orang-orang pun memberi keamanan dan jalan pun tampak aman, dan mereka tidak takut kepada yang lain sampai bulan ini habis“.



Selain itu juga dinamakan “Al Ashab” karena disitu dituangkan segala Rahmat kepada orang-orang yang bertaubat, mengalir cahaya-cahaya kepada seluruh alam.



Dinamakan dengan “Rajam” karena dibulan ini semua setan di rajam oleh para malaikat agar tidak mengganggu para wali dan orang-orang Shaleh. Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :



” رجب شهر الله ، و شعبان شهري ، و رمضان شهر أمتي ” .



Yang artinya: “Rajab adalah bulan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Sya’ban Adalah bulan ku, sedangkan Ramadhan adalah bulan umatku“.



Mengenai hadits diatas memang dhaif namun masih diakui oleh sebagian Ulama Syafi’i, namun mengingkari keutamaan bulan Rajab adalah hal yang munkar, karena Bulan Rajab adalah salah satu dari bulan haram yang dimuliakan Allah dan Rasul Nya.



Al Imam Al Qurtubi di dalam tafsir-nya menerangkan bahwa Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam sendiri pernah menegaskan bahwa “bulan Rajab itu adalah bulan Allah, yaitu bulan Ahlullah, Dan di katakan penduduk (mukmin) Tanah Haram itu Ahlullah karena Allah yang memelihara dan memberi kekuatan kepada mereka”. (Al Qurtubi, Jami’ Ahkam Al Qur’an,Jjuz 6, hlm 326)



عن أنس بن مالك ، يقول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إن في الجنة نهرا يقال له : رجب ، أشد بياضا من اللبن وأحلى من العسل ، من صام من رجب يوما سقاه الله من ذلك النهر »



Yang artinya : Anas bin Malik Radhiallahu anhu mengatakan: “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya di Surga terdapat sungai yang disebut dengan Rajab, warnanya lebih putih daripada susu, dan lebih manis dari pada madu, barang siapa berpuasa sehari di bulan Rajab maka Allah akan memberikan minum kepadanya dari sungai itu“.



عن أنس بن مالك ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « خيرة الله من الشهور شهر رجب ، وهو شهر الله عز وجل ، من عظم شهر رجب فقد عظم أمر الله ، ومن عظم أمر الله أدخله جنات النعيم وأوجب له رضوانه الأكبر ، وشعبان شهري فمن عظم شهر شعبان ، فقد عظم أمري ، ومن عظم أمري كنت له فرطا وذخرا يوم القيامة ، وشهر رمضان شهر أمتي ، فمن عظم شهر رمضان ، وعظم حرمته ولم ينتهكه وصام نهاره وقام ليله وحفظ جوارحه خرج من رمضان وليس عليه ذنب يطلبه الله به »



Dari Anas bin Malik Radhiallahu anhu, dia berkata : Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : ” Bulan yang paling dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bulan Rajab, dia adalah bulan Allah Subhanahu wa Ta’ala, barang siapa mengagungkan bulan ini maka telah mengagungkan perkara Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan barang siapa yang mengagungkan perkara Allah Subhanahu wa Ta’ala maka akan dimasukkan di Surga Na’im, dan diwajibkan untuk diberikan ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling besar, dan bulan Sya’ban adalah bulan bulanku (bulan Rasulullah), barang siapa mengagungkan bulan ini maka telah menggungkan perkaraku, dan barang siapa mengagungkan perkaraku maka aku adalah sebagai pahala baginya dan juga sebagai simpanan pahala di hari kiyamat nanti, sedangkan bulan Ramadhan adalah bulan umatku, barang siapa yang mengagungkan bulan Ramadhan serta mengagungkan kehormatanya dan tidak menghinanya sehingga berpuasa pada siang harinya serta mendirikan malamnya, dan menjaga perbuatanya maka akan keluar dari bulan ini dalam keada’an tanpa membawa dosa yang diminta oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala “.



Para Ulama mengatakan : Bulan Rajab adalah bulan istighfar, dan Sya’ban adalah bulan shalawat atas Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, dan bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an.



Amalan-amalan istighfar seperti “Rabbighfirli war hamni wa tub alayya” itu teriwayatkan dalam hadits dhaif, namun para ulama kita mengamalkannya, dan sepantasnya kita melestarikannya, karena teriwayatkan pula dalam banyak hadits bahwa Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam beristighfar 100 (seratus)kali dalam satu majelis yang disaksikan/bersama para sahabat dengan ucapan itu namun Shighah Jamak. (Sunanul Kubra hadits no. 10.293) dan riwayat ini banyak. Dan pelarangan akan hal itu adalah perbuatan Munkar.



Hadits dari Sayyidina Anas bin Malik Rhadiallahu anhu berkata : “Bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila masuk bulan Rajab selalu berdo’a, “Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan” yang artinya : Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadan“. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya Juz 1 : 259 hadits No. 2.346 dan Tabrani). Hadits ini disebutkan dalam banyak keterangan, seperti dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id Al Musnad (2.346), Al-Bazzar didalam Musnadnya sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf Al Astaar (616). Ibnu As Sunni didalam ‘Amal Al Yawm Wa Al Lailah (658), Ath Thabarany di dalam (Al Mu’jam) Al Awsath (3.939), Kitab Ad Du’a’ (911), Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah (VI:269), Al Baihaqi di dalam Syu’ab (Al Iman) (3.534), Kitab Fadhaa’il Al Awqaat (14), Al Khathib Al Baghdadi di dalam Al Muwadhdhih (II:473).



Wahab bin Munabbah Rhadiallahu anhu berkata : “Semua sungai yang ada didunia ini mengunjungi Air Zam-zam, untuk memuliakan bulan ini (yakni bulan Rajab)”.



Hadits Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya : "Barangsiapa berpuasa di bulan haram (rajab adalah salah satu dari bulan haram) pada hari Kamis, Jum’at dan Sabtu, maka baginya pahala Ibadah 60 tahun". (Majmu' Zawaid Juz 3 hal 191)

Telah berkata Al hafidh Al Muhaddits Al Imam Nawawi Rahimahullah :



ولم يثبت في صوم رجب نهى ولا ندب لعينه ولكن أصل الصوم مندوب إليه وفي سنن أبي داود أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ندب الى الصوم من الأشهر الحرم ورجب أحدها



Tidak ada ketentuan jelas yang menguatkan pelarangan puasa pada bulan Rajab, dan tidak pula keterangan sunnah melakukannya, akan tetapi asal dari ibadah puasa adalah SUNNAH, dan pada riwayat Sunan Abu Dawud bahwa Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mensunnahkan puasa di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram.



Maka jelaslah sudah bahwa adanya kesunnahan berpuasa di bulan Rajab, dan segenap bulan haram (bulan haram adalah 3 bulan berturut turut dan 1 bulan terpisah, yaitu : Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab).

Diriwayatkan dari Mujibah Al Bahiliyah, Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya : “Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)“. (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)



Ada hadits shahih tentang hal tersebut adalah Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya : “Telah menceritakan pada kami Abubakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Abdullah bin Numairih, telah menceritakan pada kami Ibnu Numair, telah menceritakan pada kami ayah kami, telah menceritakan pada kami Utsman bin Hakim Al Anshari berkata: “Aku bertanya pada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab, maka dia menjawab : Aku mendengar Ibnu Abbas berkata : Adalah Nabi berpuasa (di bulan Rajab) sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya, lalu beliau tidak berpuasa sampai kami berkata : Nampaknya beliau tidak akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya“, (Bahkan Albani sendiri dalam Al Irwa’ mengatakan : Hadits ini di-takhrij oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (VI/139) dan Ahmad (I/26), Saya (Albani) katakan : “Bahkan hadits ini juga di-takhrij oleh Imam Abu Ya’la dalam Al-Musnad (VI/156, no. 2547), Al Baihaqi dalam Al-Kubra’ (IV/906), dan dalam Syu’abul Iman (VIII/316, No. 3.638)”.



Diriwayatkan oleh Tsauban bahwa dia pada suatu ketika berjalan bersama Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melewati suatu kuburan di mana Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berhenti sejenak dan menangis tersedu-sedu, ”Mengapa enkau menangis ya Rasulullah ?” tanya Tsauban, lalu Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Aku berdo’a untuk mereka yang sedang disiksa kuburnya maka diringankanlah siksanya oleh Allah Subhananhu wa Ta’ala. Coba mereka berpuasa satu hari dan tidak tidur satu malam dalam bulan Rajab, mereka tidak akan disiksa dalam kuburnya.



Dan bulan Rajab adalah bulan taubah, seorang ulama ahli hadits Al Imam Muhammad bin Abdullah Al Jardani Rahimahullah menerangkan dalam kitab hadits Misbahudz Dzhulam bahwa : “Diterangkan dalam kitab-kitab Allah yang terdahulu, orang yang membaca :



رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَتُبْ عَليَّ ٧٠ ×



Dibaca 70 (tujuh puluh) kali pada setiap selesai shalat isya’ atau waktu pagi dan sore hari di bulan Rajab, “Orang tersebut akan terhindar dari siksaan api neraka (dosa-dosanya diampuni oleh Allah)”.



AMALAN-AMALAN PADA BULAN RAJAB (PENJELASAN DARI GURU-GURU KAMI)

Sumber : Kitab Mukaasyafah Al-Quluub, Al Imam Hujjatul Islam Abi Hamid bin Muhammad Al Ghozali



Di surga ada danau yang bernama Rajab, Airnya putih melebihi putihnya air susu, manis melebihi manisnya madu dan dinginnya melebihi salju, Barang siapa puasa sehari di bulan Rajab kelak Allah (Subhanahu wa Ta’ala) akan memberikan minuman dari danau Rajab. (Al-Hadits)



Dari Abi Hurairah berkata : Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya : “Barang siapa berpuasa pada tanggal 27 Rajab Allah (Subhanahu wa Ta’ala) mencatatnya sebagaimana orang puasa 60 bulan”.

Dan ada awal hari bulan Rajab Malaikat Jibril turun kepada Nabi dengan risalah untuk isra’ bersama Nabi, Nabi bersabda (yang artinya) : “Ingat bulan Rajab adalah bulannya Allah, barang siapa puasa sehari dibulan Rajab dengan iman dan keikhlasan, maka akan mendapatkan keridhoan-Nya.”(Al-Hadits)



Barang siapa membaca :



رَبِّ اغْفِرْ لي وَارْحَمَنِْي ُوتُبْ عَلَيَّ ٧٠ ×



Yang artinya : “Setiap ba’da isya’ malam bulan Rajab, maka tidak akan tersentuh kulitnya oleh api neraka”. (Al-Hadits)

Barang siapa membaca :



أحْمَدُ رَسُولُ الله محمّدُ رَسُولُ الله ٣٥×



Dibaca diantara dua khutbah hari Jum’at Akhir bulan Rajab, maka dimudahkan rizkinya dan dicukupi segala kebutuhanya. (Qaul Ulama)



Maka sungguh telah jelas bagi kita semua bahwa amalan berpuasa dan beristighfar di bulan Rajab mempunyai dalil-dalil ilmiah yang jelas, bahwa hal demikian itu merupakan perbuatan dari Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, bukan seperti yang dituduhkan oleh sekelompok orang yang mengatakan BID’AH SESAT MASUK NERAKA bagi yang mengamalkannya.



Berikut kami tampilkan aksi mereka (ANTI MADZHAB) dalam memelintirkan dan memenggal-menggal dalil-dalil dan diartikan seenak pemahaman mereka, sehingga menimbulkan gesekan pemahaman dan keresahan di masyarakat awam :



Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/amalan-di-bulan-rajab.html



Mari kita perhatikan :

Sepintas lalu dalil-dalil yang mereka kemukakan nampak sangat ilmiah dan brilliant, dan tampak bahwa hanya merekalah yang berpegang dengan hadist Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, tapi coba anda perhatikan lagi dengan cermat sebenarnya apa tujuan mereka mengemukakan hal tersebut.

1. Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/amalan-di-bulan-rajab.html



- Lihat cara mereka melihat hadist dhaif, seolah-olah hadist dhaif itu sederajat dengan hadist maudhu’ (palsu), na’udzubillah min dzalik, padahal didalam ilmu hadist tingkatan dhaif terbagi menjadi 81 bagian, lalu bisakah kita seenaknya menggolongkan derajat hadist dhaif seolah-olah bagaikan maudhu’ (palsu) kemudian tidak bisa dijadikan referensi sehingga kita buang seenak otak kita yang dangkal ini ? - Jangan sampai kita terjebak oleh pemotongan-pemotongan dalil yang dipaparkan mereka para ANTI MADZHAB. Referensi kitab yang mereka sajikan adalah kitab-kitab dari Ulama mereka (ANTI MADZHAB), mereka tidak melihat terlebih dahulu bagaimana para Ulama 4 Madzhab didalam kitab-kitab mereka dalam memahami hadist-hadist yang berkaitan dengan Puasa dan Kemuliaan Bulan Rajab, tetapi justru mereka langsung memvonis selain pemahaman mereka BID'AH SESAT NERAKA, Na'udzubillah, ini yang harus kita waspadai.

2. Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/amalan-di-bulan-rajab.html



- Makin tampak jelas FITNAH mereka yaitu bagaimana mereka menyimpulkan perkataan Khalifah Sayyidina Umar Ibn Khattab, pada konteks “Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan”. Faktanya tidak ada satupun dari para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah 4 (empat) Madzhab yang mengatakan bahwa Rajab itu sederajat dengan Ramadhan atau bahkan lebih mulia, perhatikan cara mereka untuk melarang umat Islam berpuasa dibulan Rajab, secara tidak langsung mereka menuntut kita untuk tidak menggunakan dan meninggalkan hadist dhaif (lemah) dan tanpa disadari kita di paksa untuk menerima doktrin pemahaman mereka. Dan mereka telah lupa bahwa hadist dhaif itu adalah perkataan Sayyidina wa Nabiyyina Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam juga, dah telah sepakat para Muhaddist bahwa hadist dhaif dapat digunakan sebagai Fadhaillul A’mal. - Selalu yang mereka sodorkan ke masyarakat awam adalah HANYA fatwa dari ulama-ulama mereka sendiri, dan hanya mereka saja yang membesarkan ulama tersebut, lain hal-nya dengan Ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah para pemegang madzhab, semua mengakui akan keluhuran dan kemampuan keilmuan mereka, contoh saja Al Imam An Nawawi, tidak ada satu ulama pun yang mengingkari keilmuan beliau.



- Padahal didalam penjelasan didalam kitab mereka telah jelas : Ada hadits shahih tentang hal tersebut adalah Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya : “Telah menceritakan pada kami Abubakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Abdullah bin Numairih, telah menceritakan pada kami Ibnu Numair, telah menceritakan pada kami ayah kami, telah menceritakan pada kami Utsman bin Hakim Al Anshari berkata: “Aku bertanya pada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab, maka dia menjawab : Aku mendengar Ibnu Abbas berkata : Adalah Nabi berpuasa (di bulan Rajab) sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya, lalu beliau tidak berpuasa sampai kami berkata : Nampaknya beliau tidak akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya“, (Bahkan Albani sendiri dalam Al Irwa’ mengatakan : Hadits ini di-takhrij oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (VI/139) dan Ahmad (I/26), Saya (Albani) katakana : Bahkan hadits ini juga di-takhrij oleh Imam Abu Ya’la dalam Al-Musnad (VI/156, no. 2547), Al Baihaqi dalam Al-Kubra’ (IV/906), dan dalam Syu’abul Iman (VIII/316, No. 3.638).

Lihat kejanggalan ulama-ulama ANTI MADZHAB ini, di kitab yang lain puasa Rajab dilarang namun dikitab lain mereka katakan hadist tersebut diriwayatkan oleh para Imam Muhaddist. Sungguh mereka sendiri yang terjebak dengan fatwa ulama mereka, dan tanpa mereka sadari. Mereka lupa bahwa ilmu itu luas dan para Ulama tersebar diseluruh penjuru Dunia.



- Itulah mereka yang merasa lebih faham dibanding dengan Ulama-ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pemegang Madzhab. Sepintas tampak ilmiah namun faktanya hanya pemutar balikan fakta dan doktrin-doktrin pendangkalan pemahaman akan Al Qur’an dan As Sunnah.



- Disini kita bisa fahami siapakah pemecah Umat Islam sebenarnya.



3. Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/amalan-di-bulan-rajab.html



- Perhatikanlah, sebenarnya apakah mereka memahami apa yang telah mereka tulis ?? ketahuilah mereka hanya menggunting-gunting dalil untuk diperlakukan seenak otak mereka. Di atas tadi mereka melarang untuk melarang melakukan berpuasa di bulan Rajab namun sekarang mereka cantumkan dari kitab Ulama mereka dengan mengatakan “Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram,” bukankah ini suatu pemelintiran ? perhatikan !!! disini mereka tulis “untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram”, cukup menggelikan tulisan yang mereka katakan sebagai sanggahan atas orang yang berpuasa di bulan Rajab. Didalam kitab ulama mereka tersebut jelas diterangkan bahwa Sayyidina wa Nabiyyina Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam pun berpuasa di bulan Rajab tersebut, Sungguh aneh pemikiran faham mereka ini. Melarang tapi mencantumkan dalil yang membolehkan. Mereka tidak menyadari bahwa ilmu itu luas dan para ulama terseber diseluruh Dunia.



Maka merupakan suatu kemungkaran yang nyata bagi mereka yang mengharamkannya, karena sebagaimana dijelaskan oleh Al Hafidz Al Imam Nawawi bahwa hal ini tidak ada dalil yang melarangnya, maka sunnah berpuasa di hari-hari yang tidak diharamkan puasa padanya seperti hari Ied.



Pengingkaran akan hal ini adalah mungkar, bila sekelompok muslimin ingin berpuasa di bulan Rajab maka tidak ada satu dalilpun yang melarangnya, karena puasa itu bukan untuk memuliakan berhala, tapi bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.



Namun hal yang sangat menyedihkan adalah sebagian besar muslimin di Dunia ini berpuasa di bulan Rajab, sebagian lain tidak perduli, dan sebagian lainnya sibuk melarang yang berpuasa dan dengan melontarkan vonis-vonis BID’AH, SESAT, NERAKA kepada umat Islam yang pada umumnya berpuasa di Bulan Rajab.

Kelompok ketiga inilah yang BERBAHAYA, karena telah terang-terangan melarang orang muslim yang beribadah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpuasa karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.



Sudah jelas kemungkaran muslimin dengan semakin banyak bermaksiat, maka kini muncul pula kelompok yang mengharamkan apa-apa yang tidak diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

إن أعظم المسلمين في المسلمين جرما من سأل عن شيء لم يحرم على المسلمين فحرم عليهم من أجل مسألته





Sabda Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : “Sungguh sebesar-besar kejahatan muslimin pada muslimin lainnya, adalah yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan atas muslimin, menjadi diharamkan atas mereka karena pertanyaannya”.

(Shahih Muslim Hadits No. 2.358)



Saatnya kita untuk lebih berwaspada atas pemahaman-pemahaman yang mengatas namakan ANTI MADZHAB, ANTI MAULID, ANTI TAHLIL dan lain sebagainya, dan mari kita kembali kepada Guru-guru kita para Habaaib, Kyai, Asaatidz yang memang jelas mempunyai rantaian sanad keilmuan dari Guru kepada Guru kepada Guru hingga kepada Baginda Sayyidina wa Nabiyyina Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.



Sumber tulisan ini berasal dari para Ulama-ulama (Habaaib, Kyai, Asaatidz) yang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan berakidahkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan semoga tulisan ringkas ini bisa bermanfaat, dan marilah kita kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah (Hadist) sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para Ulama 4 (empat) Madzhab. (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanbali dan Imam Hanafi).



Share/sebarkanlah artikel ini dan jadikanlah sebagai niat dakwah Agama yang mulia ini atas kemurnian Akidah, keluhuran dan kelembutan, sesuai yang diajarkan oleh Baginda Nabi Muhammad Shallallahu a’laihi wa sallam, dan bagi mereka saudara-saudari kita yang telah memilih pemahaman diluar 4 (empat) Madzhab semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan kembali kita semua kepada satu jalan yaitu jalannya Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang belandaskan 4 (empat) Madzhab. Amiin ya Rabbal A’lamiin.

Jumat, 11 Mei 2012

Marilah memahami hadits kullu bid’ah dengan ilmu balaghah dan nahwu

Marilah memahami hadits kullu bid’ah dengan ilmu balaghah dan nahwu


كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas;

Dalam Ilmu Balaghah dikatakan,

حدف الصفة على الموصوف

membuang sifat dari benda yang bersifat”.

Jadi jika ditulis lengkap dengan sifat dari bid'ah kemungkinannya adalah

a. Kemungkinan pertama :

كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

Semua "bid’ah yang baik"  itu sesat (dholalah), dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.

b. Kemungkinan kedua :

كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِىالنَّاِر

Semua "bid’ah yang jelek" itu sesat (dholalah), dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka

Jadi kesimpulannya bid'ah yang sesat masuk neraka adalah bid'ah sayyiah (bid'ah yang jelek).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Jauhilah oleh kalian perkara baru, karena sesuatu yang baru (di dalam agama) adalah bid’ah , kullu bid''ah dholalah  (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi & Hakim)

Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membuat perkara baru dalam "urusan kami " ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak“. Diriwayatkan pula oleh ‘Abdullah bin Ja’far Al Makhramiy dan ‘Abdul Wahid bin Abu ‘Aun dari Sa’ad bin Ibrahim (HR Bukhari 2499)

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Dari keempat hadits di atas dapat diketahui bahwa bid'ah yang sayyiah (jelek) adalah bid'ah dalam urusan agama atau "urusan kami" atau perkara syariat (segala perkara yang telah disyariatkanNya/diwajibkanNya) atau mengada-ada dalam urusan yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya.

Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat , baik atau buruk,  ke dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ وَأَبِي الضُّحَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ الصُّوفُ فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ قَالَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir bin ‘Abdul Hamid dari Al A’masy dari Musa bin ‘Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha dari ‘Abdurrahman bin Hilal Al ‘Absi dari Jarir bin ‘Abdullah dia berkata; Pada suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata; ‘Tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)

Hadits di atas diriwayatkan juga dalam Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.

Arti kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah bukanlah sunnah Rasulullah atau hadits  atau sunnah (mandub) karena tentu tidak ada sunnah Rasulullah yang sayyiah, tidak ada hadits yang sayyiah dan tidak ada perkara sunnah (mandub) yang sayyiah

Jadi arti  kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru, sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya

Kesimpulannya,

Sunnah hasanah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah hasanah

Sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah dholalah

Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )

Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak bertentangan dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313).

Contoh sunnah sayyiah (termasuk bid’ah dholalah) yakni perkara baru atau mencontohkan atau meneladankan perkara di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits, perbuatan mempergunakan jejaring sosial facebook untuk bergunjing, menghasut, mencela, menghujat saudara muslim lainnya

Contoh sunnah hasanah (termasuk bid’ah hasanah) perkara baru atau mencontohkan atau meneladankan perkara di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits, perbuatan mempergunakan jejaring sosial facebook untuk menyampaikan apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau sekedar mempergunakannya untuk membaca dan memahami uraian agama dalam rangka tholabul ilmi.

Jadi kullu bid'ah menerima pengecualian pada bid'ah di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits

Hal ini sesuai pula jika ditinjau dari ilmu nahwu

Kalimat bid'ah (بدعة) di sini adalah bentuk ISIM (kata benda) bukan FI'IL (kata kerja).

Dalam ilmu nahwu menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma'rifat (tertentu) dan Isim Nakirah (umum).

Nah.. kata BID'AH ini bukanlah
1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam
yang merupakan bagian dari Isim Ma'rifat.

Jadi kalimat bid'ah di sini adalah Isim Nakiroh dan KULLU di sana berarti tidak ber-idhofah (bersandar) kepada salah satu dari yang 5 di atas. Seandainya KULLU ber-idhofah kepada salah satu yang 5 di atas, maka ia akan menjadi ma'rifat. Tapi pada 'KULLU BID'AH', ia ber-idhofah kepada nakiroh. Sehingga dhalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum).  Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian.

Ulama yang sholeh, bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti Imam Nawawi ra yang bermazhab Syafi'i mengatakan

قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .

Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarkan ilmu atau menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.

Sebagian ulama berpendapat bahwa pengecualian itu pada perkara baru "urusan dunia" atau bid’ah duniawiyyah.

Sangat keliru jika berpendapat bahwa  bid'ah yang diperbolehkan atau bid'ah yang tidak masuk neraka adalah bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) karena bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) ada yang hasanah  (baik) dan ada pula yang sayyiah (buruk).

Tidak boleh kita mengeneralisir bahwa setiap bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) adalah boleh atau baik sebagaimana kaum sekulerisme menyalahgunakan hadits, ”wa antum a’lamu bi amri dunyakum,  “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”.   (HR.  Muslim 4358). Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/urusan-dunia/

Bidah (perkara baru) "urusan dunia" atau bid'ah duniawiyyah harus pula ditetapkan kedalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah).  Jika setiap akan melakukan perbuatan dan merujuk kepada hukum taklifi yang lima maka termasuk perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan Hadits.

Perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan Hadits seperti itulah termasuk ke dalam dzikrullah (mengingat Allah) atau memandang Allah ta'ala sebelum melakukan perbuatan,  sebagaimana Ulil Albab, kaum muslim yang menggunakan lubb atau akal qalbu atau muslim yang menundukkan akal pikirannya kepada akal qalbu sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/01/29/tundukkan-akal-pikiran/

Ulil Albab sebagaimana firman Allah yang artinya,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).

Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).

Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )

Jadi segala perbuatan atau segala urusan dunia yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam termasuk dalam perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatkanNya (diwajibkanNya) jika bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka termasuk bid'ah dholalah dan jika tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka termasuk bid'ah hasanah atau sunnah hasanah.

Kesimpulam akhir adalah,

Siapa yang melakukan sunnah hasanah yakni mencontohkan atau meneladankan atau membuat perkara baru (bid'ah) di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan perbuatan tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa melakukan sunnah sayyiah yakni yang mencontohkan atau meneladankan atau membuat perkara baru (bid'ah) di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan perbuatan tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.

Jadi para ulama yang sholeh yang membuat Ratib al Haddad, sholawat nariyah, sholawat badar, qasidah burdah, maulid barzanji atau orang yang pertama kali mengadakan peringatan Maulid Nabi maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala-pahala dari orang-orang yang mengamalkannya.

Perlu diketahui, contohnya kitab Barzanji ditulis oleh ulama yang sholeh dari keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mendapatkan pengajaran agama dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada lisannya Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni  Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.

Sayyid Ja’far adalah seorang mufti di Madinah , tentu kita tahu bagaimana kompetensi mufti pada zaman dahulu. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah. Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri. Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi.

Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah

Sebaliknya mereka yang melarang peringatan Maulid Nabi, Ratib al Haddad, sholawat nariyah, sholawat badar, qasidah burdah, maulid barzanji menjadikan mereka terjerumus menjadi ahli bid'ah yakni mengada ada dalam urusan agama atau mengada ada dalam "urusan kami" atau mengada ada dalam perkara syariat (segala perkara yang telah disyariatkanNya/diwajibkanNya) atau mengada-ada dalam urusan yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNya.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)

Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Demikianlah betapa halusnya  hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi agar mereka memahami Al Qur'an dan Hadits dengan makna dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi “terjemahkan saja” berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi). Hal ini umum terjadi pada mereka yang memahami agama berlandaskan muthola’ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri.

Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits atau berpendapat atau berfatwa harus berdasarkan ilmu. Sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan Hadits.

Mereka tidak memperhatikan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’). Mereka tidak juga memperhatikan sifat lafadz-lafadz dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat dan lain lainnya.

Begitupula dengan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi agar mereka memahami Al Qur'an dan Hadits dengan makna dzahir selain dapat  menjerumuskan mereka menjadi ahli bid'ah adalah menjurumuskan mereka kedalam kekufuran dalam i'tiqod.

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”

Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa

Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya),  maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan  tangan makhluk (jisim-jisim lainnya),  maka orang tersebut hukumnya  ‘Aashin  atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia

Salaf yang sholeh mengatakan

قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير

Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir

Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:

كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه

Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.

Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat dan mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.

Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.

Terhadap  lafazh-lafazh ayat sifat ,  Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh

Keterjerumusan kekufuran dalam i'tiqod adalah hal yang dialami oleh ulama Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang disampaikan oleh ulama-ulama terdahulu seperti dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/ atau pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Bahkan karena kesalahpahamannya mengakibatkan Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia


Wassalam