Rabu, 20 April 2011

MASA'IL DINIYAH. IV

BAB VII
AURAT PEREMPUAN

Ketahuilah bahwa aurat perempuan di hadapan laki-laki asing adalah seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dengan demikian dibolehkan baginya keluar rumah dengan wajah terbuka, sebagaimana hal ini telah disepakati oleh para ulama (ijma’).

Kesepakatan ulama ini telah dikutip oleh Ibnu Hajar al Haitami dalam dua karyanya; al Fatawa al Kubra dan Ha-syiyah Syarh al Idlah ‘Ala Manasik al Hajj wa al Umrah (kitab penjelasan terhadap  al Idlah karya an-Nawawi).

Pernyataannya dalam kitab yang pertama: “Dan kesimpulan madzhab kita, bahwa Imam al Haramain telah menukil ijma’ tentang kebolehan keluarnya seorang perempuan dalam keadaan membuka wajah, dan bagi kaum laki-laki hendaklah menahan pandangan”[22].

Pada kitab yang kedua, ia mengatakan: “Sesungguhnya boleh bagi seorang perempuan untuk membuka wajah dengan kesepakatan para ulama (Ijma') dan bagi kaum laki-laki hendaklah menahan pandangan. kebolehan membuka wajah ini tidak bertentangan dengan ijma' bahwa perempuan diperintahkan untuk menutup mukanya, karena tidak mesti sesuatu yang diperintahkan kepada perempuan untuk kemaslahatan umum itu menunjukkan bahwa perintah tersebut sebagai kewajiban”[23].

Pada halaman lain dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar berkata: “Pernyataannya (an-Nawawi): “… atau apabila perempuan tersebut perlu untuk menutup wajahnya”, tentunya termasuk kebutuhannya di sini adalah apabila perempuan tersebut takut menyebabkan fitnah bagi orang yang melihat kepadanya. Namun begitu --sebagaimana telah kami nyatakan-- tidak wajib bagi perempuan untuk menutup wajahnya di jalan-jalan, seperti keterangan yang sudah kami paparkan di tempat (pembahasan)nya”[24].

Zakariyya al-Anshari dalam kitab Syarh ar-Raudl, berkata[25]: “Apa yang dinukil oleh al-Imam (Imam al Haramain) tentang adanya kesepakatan bolehnya pemerintah mencegah perempuan ke luar rumah dalam keadaan membuka wajah, ini tidak bertentangan atau menafikan apa yang telah dikutip oleh al-Qadli ‘Iyadl dari para ulama tentang tidak wajibnya menutup wajah bagi perempuan di jalan, dan bahwa hal itu (menutup wajah) hanya disunnahkan, dan bagi kaum laki-laki hendaklah menahan pandangannya. Allah berfirman:

  (سورة النور: 30 ) (  قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ) 
(Katakanlah --Wahai Muhammad-- bagi orang-orang mukmin laki-laki, hendaklah mereka menahan pandangan (dengan syahwat)).

Karena instruksi pemerintah bagi kaum perempuan untuk menutup wajah tersebut bukan karena hal itu wajib atas mereka, akan tetapi karena hal itu adalah sunnah dan mengandung kemaslahatan umum, dan jika ditinggalkan akan menyebabkan berkurangnya muru-ah, seperti halnya dalam masalah seorang laki-laki mendengarkan suara perempuan; hal ini boleh ketika tidak menyebabkan fitnah, dan pada asalnya suara perempuan bukan aurat sebagaimana pendapat yang paling shahih”.

Seorang imam mujtahid; Ibnu Jarir at-Thabari dalam tafsirnya berkata[26]: “Memberitakan kepada kami Ibnu Basysyar, berkata: memberitakan kepada kami, Ibnu Abi ‘Adi dan Abd al-A’la dari Sa’id dari Qatadah dari al-Hasan, tentang firman Allah:

ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها (النور:31)
(Dan hendaklah kaum perempuan tidak menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang nampak darinya).

Ia (al-Hasan) berkata: --kecuali yang nampak darinya-- ialah wajah dan pakain. Maka pendapat yang paling benar adalah bahwa yang dimaksud ayat tersebut ialah wajah dan pakaian. Dan jika demikian masuk dalam pengertian ini; sifat mata (sidau), cincin, gelang dan cutek (pacar). Kita menyatakan ini pendapat yang paling utama (benar) dengan alasan karena semua (ulama) sepakat bahwa seorang yang shalat wajib menutup seluruh auratnya (yang harus ditutup dalam shalat), sementara perempuan dalam shalatnya harus membuka wajah dan kedua telapak tangannya. Selain dua hal tersebut seorang perempuan wajib menutup seluruh badannya. Hanya saja ada pendapat yang diriwayatkan dari nabi tentang dibolehkan membuka kedua tangan hingga seukuran pertengahan hastanya (hasta ialah antara ujung jari hingga sikut). Jika hal ini telah menjadi kesepakatan ulama, maka sudah barang tentu adanya kebolehan bagi perempuan untuk membuka dari bagian badannya yang bukan merupakan aurat baginya. Demikian pula hal ini berlaku bagi kaum laki-laki, karena sesuatu yang bukan aurat tidak haram untuk ditampakkan. Dengan demikian apa yang boleh ditampakan bagi kaum perempuan --dari badannya-- maka dapat diketahui bahwa bagain tersebut termasuk dari hal yang dikecualikan Allah dari firman-Nya: (Kecuali yang nampak darinya). Karena apa yang kita sebutkan di atas adalah bagaian yang nampak darinya. Juga --yang boleh ditampakkan tersebut-- sebagai pengesualian dari firman-Nya:

وليضربن بخمرهن على جيوبهن (النور:31)
(Dan hendaklah kaum perempuan menutupkan dengan khimar-khimar mereka di atas juyub mereka)

Khumur pada ayat di atas adalah bentuk jamak dari khimar, dan di atas juyub mereka artinya ditutupkan di atas rambut-rambut, tengkuk-tengkuk dan leher-leher mereka.

Dan telah ada pernyataan dari Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Sa’id ibn Jabir, ‘Atha dan lainnya tentang penafsiran firman Allah:

ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها (النور:31)

Bahwa yang dimaksud ayat ini adalah wajah dan kedua telapak tangan. Inilah pendapat yang benar yang dikuatkan banyak dalil, di antaranya hadits tentang perempuan Khats’amiyyah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari[27], Muslim[28], Malik[29], Abu Dawud[30], an-Nasa’i[31], ad-Darimi[32] dan Ahmad[33] dari jalan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, berkata: “Seorang perempuan Khats’amiyyah di pagi hari raya datang bertanya kepada Rasulullah, ia berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya kewajiban haji telah mendapati ayahku dalam keadaan yang sudah tua renta, ia tidak mampu untuk menetap di atas kendaraan, apakah aku harus menghajikannya?. Rasulullah bersabda: “Berhajilah untuknya”. Ibnu ‘Abbas berkata: “Perempuan tersebut adalah seorang yang cantik, ia menjadikan al-Fadl (seorang sahabat Rasulullah) terkagum-kagum melihat kepada kecantikannya. Kemudian Rasulullah memalingkan leher al-Fadl”.

Dalam lafazh hadits at-Tirmidzi dari hadits ‘Ali[34]: “al-Abbas berkata: Wahai Rasulullah kenapa engkau memalingkan leher anak pamanmu?. Rasulullah bersabda: “Aku melihat seorang pemuda dan pemudi, maka aku mengkhawatirkan syetan atas keduanya”. Ibnu Abbas berkata: “kejadian tersebut setelah turunnya ayat hijab”.

Dalam lafazh al-Bukhari[35] dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas, berkata: “Nabi memboncengkan al-Fadl ibn al-‘Abbas pada hari nahr (ied al-Adlha) di belakang tunggangannya, al-Fadl adalah seorang pemuda berwajah tampan, ketika nabi berhenti untuk memberi fatwa di hadapan manusia, datang seorang perempuan dari Khats’am berparas cantik meminta fatwa kepada nabi, al-Fadl berpaling melihat kepadanya dan ia kagum dengan kecantikannya, nabi menengok sementara al-Fadl tetap memandang kepada perempuan tersebut. Kemudian nabi mengangkat tangannya memegang dagu al-Fadl dan memalingkannya untuk tidak melihat kepada perempuan itu.

Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam keterangan hadits di atas berkata: “Ibnu Batthal berkata: Pada hadits di atas terdapat perintah untuk memalingkan pandangan bila ditakutkan adanya fitnah, artinya apa bila aman dari adanya fitnah maka memandang bukan hal yang terlarang. Dalam hadits ini pula terdapat keterangan bahwa selain para isteri nabi; hijab [penutup wajah] bukan suatu kewajiban. Hijab hanya wajib atas para isreti nabi. Jika wajib atas selain isteri-isteri nabi, tentunya nabi akan memrintahkan perempuan khats’amiyah tersebut untuk menutup wajahnya saat ia memalingkan wajah al-Fadl.

Pendapat yang menyatakan bahwa perempuan khats’amiyah tersebut saat itu sedang ihram [hingga harus membuka wajahnya], adalah pendapat yang tidak benar. Dengan alasan, bahwa perempuan tersebut saat menghadap Rasulullah memiliki dua kesempatan; Pertama untuk tujuan bertanya tentang masalah ihram. Kedua; sekaligus tentang masalah menutup wajah; artinya bila ada keharusan menutup wajah maka Rasulullah akan memerintahkan perempuan tersebut untuk meletakkan kain penutup wajah [pada bagian atas penutup kepalanya] dengan tanpa menutup wajahnya. Namun kenyataannya tidak. Ini berbeda dengan para isteri Rasulullah yang meletakan kain penutup wajah, saat mereka ihram mereka mengangkat kain penutup tersebut, tapi di luar ihram [saat mereka datang atau pulang dari ihram], mereka menutup wajah[36].

* * *
_____________________________________
[22]. Al-Fatawa al-kubra (1/199)
[23]. Hasyiat Syarh al-Idlah Fi Manasik al-Hajj (h/276)
[24]. Ibid (178)
[25]. Lihat Syarah Raudl at-Thalib (3/110)
[26]. Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an (9/54)
[27]. Shahih al-Bukhari: Kitab al-Hajj: Bab Wujub al-Hajj wa Fadlih
[28]. Shahih Muslim: Kitab al-Hajj: Bab al-Hajj ‘an al-‘Ajiz li Zamanah Wa Haram Wa Nahwihima Aw li al-Maut.
[29]. Muwatha Malik: Kitab al-Hajj: Bab al-Hajj ‘amman la Yastathi an Yatsbut ‘Ala ar-Rahilah.
[30]. Sunan Abi Dawud: Kitab al-Manasik: Bab ar-Rajul Yahujj ‘an Ghairih.
[31]. Sunan an-Nasa’i: Kitab al-Manasik: Bab Hajj al-Mar’ah ‘an ar-Rajul.
[32]. Sunan ad-Darimi: Kitab al-Manasik: Baba fi al-Hajj ‘an al-Hayy (2/39-40)
[33]. Musnad Ahmad (1/213)
[34]. Jami’ at-Tirmidzi: Kitab al-Hajj: Baba ma Ja ‘an al-Arafah Kullaha Mawqif.
[35]. Lihat Shahih al-Bukhari: Kitab al-Isti’dzan: Bab tentang firman Allah :  (يا أيها الذين ءامنوا لا تدخلوا بيوتا غير بيوتكم)
[36]. Sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud, Ibnu Abi Syaibah dan lainnya.
[37].       dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar