Rabu, 20 April 2011

MASA'IL DINIYAH. IV

BAB X
MENUTUP AURAT DENGAN PAKAIAN KETAT

Adapun perihal memakai pakaian ketat yang menutup aurat dan warna kulit, maka hal ini sesuatu yang makruh. Sebagaimana dinyatakan ar-Rauyani kitab al-Bahr[67]. Demikian pula dinyatakan oleh Syekh Syamsuddin ar-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, ia berkata: "Perempuan tidak boleh menampakan [bagain badannya], kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Penutup aurat disyaratkan mencegah warna kulit, sekalipun sempit [ketat], hanya saja hal itu makruh bagi perempuan, dan perbuatan yang menyalahi keutamaan bagi kaum laki-laki"[68].

            Pernyataan serupa juga ditulis oleh Syekh Zakariyya al-Anshari dalam kitab Syarah Raudl at-Thalib[69]. Juga oleh Syekh al-Bakri ad-Dimyathi dalam I'anah at-Thalibin[70] dan ulama besar lainnya dari ulama madzhab as-Syafi'i.

            Di antara ulama madzhab Maliki yang menyatakan makruh memakai pakaian pakaian ketat bagi perempuan adalah; as-Syaikh Muhammad 'Illaisy dalam Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar al-Khalil[71]. Al-Baji al-Maliki dalam Syarh al-Muwatha[72] menyatakan hal serupa.

            Di antara ulama madzhab Hanbali yang menyatakan makruh masalah ini ialah Syekh al-Buhuti al-Hanbali dalam kitabnya Kasyaf al-Qina'[73]. Di antara yang dikutip beliau sebagai dalil dalam masalah ini adalah sebuah hadits Rasulullah. Bahwa suatu ketika Rasulullah menghadiahkan pakaian [semacam pakaian al-Qibthiyyah] kepada Usamah ibn Zaid. Kemudian Usamah memakaikan pakaian tersebut kepada isterinya. Ketika Rasulullah bertanya: "Kenapa engkau tidak memakai pakaian al-Qibthiyyah?. Usamah menjawab: "Aku memakaikannya kepada isteriku wahai Rasulullah!. Rasulullah bersabda: "Suruhlah ia untuk mengenakan pakain dasar [ghilalah], aku khawatir pakaian [al-Qibthiyyah] tersebut membentuk tubuhnya". Dalam pada ini Rasulullah tidak mengharamkan pakain ketat tersebut.

___________________________________
[67].       Al-Bahr al-Mudzahhab (116)

[68].       Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj (2/6)

[69].       Asna al-Mathalib Syarh Raudl at-Thalib (1/176)

[70].       Hasyiah I'anah at-Thalibin (1/113)

[71].       Lihat Minah al-Jalil (1/226)

[72].       Al-Muntaqa Syarh al-Muwatha (1/251)

[73].       Lihat Kasyaf al-Qina' (1/278)

MASA'IL DINIYAH. IV

BAB IX
HUKUM MEMAKAI MINYAK WANGI DAN BERHIAS UNTUK PEREMPUAN

Ketahuilah bahwa keluarnya seorang perempuan dalam keadaan berhias atau memakai minyak wangi dengan keadaan menutup aurat hukumnya makruh tanzih, tidak haram. Hal itu menjadi haram jika perempuan tersebut bertujuan untuk pamer (mendapatkan pandangan mata) dari kaum laki-laki; artinya bertujuan membuat fitnah terhadap mereka.

Ibnu Hibban[58], al-Hakim[59], an-Nasa’i[60], al-Baihaqi[61] meriwayatkan dalam bab kemakruhan kaum perempuan untuk memakai minyak wangi, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud[62] dari Abi Musa al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:
أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية
(Perempuan manapun memakai wewangian kemudian lewat pada suatu kaum (laki-laki) agara mereka mendapati baunya maka ia seorang pelaku zina).

At-Tirmidzi[63] dalam bab tetang kemakruhan keluar perempuan dengan memakai wewangian, juga dari hadits Abi Musa al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:
كل عين زانية، والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فهي كذا وكذا
(Setiap [kebanyakan] mata melakukan zina, dan perempuan jika ia memakai wewangian kemudian lewat di suatu majelis maka ia yang begini dan begini). Artinya ia seorang pelaku zina.

Hadits terakhir di atas dalam pengertian umum (Muthlaq), sementara hadits yang pertama dengan lafazh [ليجدوا ريحها] dalam pengertian yang dikhususkan (Muqayyad). Tujuan kedua hadits adalah sama. Karena itu maka pengertian yang umum (Mutlaq) harus dipahami dengan mengaitkannya dengan pengertian yang khusus (Muqayyad), sebagai mana kaedah ini telah menjadi keharusan dengan kesepakatan (Ijma’) mayoritas ulama, supaya kita terhindar dari konfrontasi dengan kesepakatan (Ijma’) mayoritas ulama tersebut. Karena itu tidak ada seorangpun dari para ulama yang menyatakan haram secara mutlak bagi seorang perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian. Pemahaman semacam ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya, bahwa ia berkata[64]: “Kita [Isteri-isteri nabi] keluar bersama nabi menuju Mekah, dan kita melumuri wajah dengan misik wangi untuk ihram. Jika salah seorang dari kami berkeringat, air keringatnya mengalir di atas wajahnya [membentuk guratan-guratan], dan nabi tidak mencegah”. Padahal Rasulullah dan isteri-isterinya berpakian ihram dari Dzil Hulaifah; suatu tempat beberapa mil dari Madinah.

Hadits pertama di atas diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan al-Baihaqi dalam suatu bab yang keduanya menamakan bab tersebut dengan “Bab makruh bagi perempuan untuk memakai wewangian”. Bab tersebut dinamakan demikian karena keduanya paham bahwa hukum perempuan memakai minyak wangi adalah makruh tanzih. Lafazh makruh jika diungkapkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah makruh tanzih, sebagaimana dinyatakan para ulama madzhab Syafi’i. Syaikh Ahmad ibn Ruslan berkata[65]:

وفاعل المكروه لم يعذب  #   بل إ ن يكف لامتثال يثب
(Seorang pelaku perbuatan makruh tidak disiksa, tetapi bila ia tidak melakukan perbuatan tersebut karena tujuan melaksanakan syari’at, ia diberi pahala).

Sebagaiman diketahuai al-Baihaqi adalah salah seorang ulama besar madzhab Syafi’i. Pemahaman mazdhab Syafi’i ini juga diambil oleh madzhab Hanbali dan Maliki. Artinya semua madzhab menyatakan bahwa lafazh “makruh” jika disebut secara mutlak maka yang dimaksud adalah “makruh tanzih”. Adapaun dalam madzhab Hanafi, umumnya penyebutan tersebut untuk tujuan “makruh tahrim”; artinya pelaku perbuatan tersebut telah berdosa.

Dengan demikian, orang yang mengharamkan keluarnya perempuan dengan wewangian, akan bersikap apa terhadap hadits ‘Aisyah di atas yang merupakan hadits shahih, karena tidak ada seorang ahli haditspun (al-hafizh) yang menyatakan hadits tersebut dla’if ?!. Adapun penyataan sikap dari seorang yang bukan ahli hadits tentu saja tidak ada gunanya, karena itu tidak memberikan pengaruh (sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab Musthalah al-Hadits).

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, bahwa suatu ketika seorang perempuan lewat di hadapan Abu Hurairah yang wewangiannya dirasakan oleh beliau, ia bertanya: “Handak kemanakah engkau wahai hamba Tuhan yang maha perkasa?, perempuan tersebut menjawab: “Ke masjid”. Abu Hurairah berkata: “Adakah engkau memakai wewangian untuk itu?”. Ia menjawab: “Iya”. Abu Hurairah berkata: “Kembalilah engkau pulang dan mandilah, sesungguhnya saya mendengar Rasulullah bersabda: “Allah tidak menerima shalat  seorang perempuan yang keluar menuju masjid sementara wewangiannya menyebar semerbak hingga ia pulang kembali dan mandi”. Hadits ini tidak dinyatakan shahih oleh seorang hafizhpun. Bahkan Ibnu Khuzaimah yang meriwayatkannya berkata: “Jika hadits ini shahih”. [artinya menurut beliau hadits ini tidak shahih].

Dengan demikian hadits ini tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Yang menjadi sandaran hukum dalam hal ini adalah hadits ‘Aisyah sebelumnya di atas, karena hadits tersebut lebih kuat sanadnya dari pada hadits Ibnu Khuzaimah ini.

Namun demikian makna dua hadits ini dapat dipadukan. Dengan dipahami sebagai berikut: “Jika hadits Ibnu Khuzaimah dinyatakan shahih maka maknanya bukan untuk tujuan mengharamkan memakai minyak wangi bagi kaum perempuan, tapi untuk menyatakan bahwa shalatnya perempuan tersebut tidak diterima [tidak memiliki pahala]. Hal ini sebagaimana diketahui bahwa ada beberapa perbuatan makruh yang dapat menghilangkan pahala perbuatan [ibadah] yang sedang dilakukan, namun begitu perbuatan [makruh] tersebut bukan sebuah kemaksiatan.  Contohnya seperti shalat tanpa adanya khusyu, shalat tetap sah [menggugurkan kewajiban] hanya saja tanpa pahala dan tidak diterima. Contoh lainnya seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Abu Dawud dengan marfu’[66]: “Siapa yang mendengar orang memanggil [adzan] dan ia tidak memiliki alasan untuk mengikutinya [shalat jama’ah] maka tidak diterima shalatnya [sendiri] yang ia lakukan”. Beberapa sahabat bertanya: “Apakah alasan dalam hal ini?”. Ia menjawab: “Rasa takut atau karena sakit”. Hadits ini bukan berarti orang yang tidak shalat berjama’ah dengan tanpa alasan sebagai pelaku maksiat. Tetapi maknanya orang tersebut telah berlaku perbuatan makruh. Demikian pula dengan hadits Ibnu Khuzaimah di atas bukan dalam pengertian haram memakai wewangian bagi perempuan, tetapi dalam pengertian makruh.

Catatan lainnya; wewangian yang dimakruhkan di sini adalah wewangian yang semerbak baunya, sebab lafazh haditsnya menyatakan [وريحها تعصف], dan lafazh [تعصف] untuk bau yang menyengat, tidak digunakan mutlak/umum bagi seluruh wewangian. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh para ahli bahasa.

Adapun hadits yang berbunyi:
لا تمنعوا إماء الله من مساجد الله ولكن ليخرجن تفلات
(Janganlah kalian melarang para hamba Allah dari kaum perempuan untuk mendatangi masjid-masjid, hanya saja hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak memakai wewangian). Hadits inipun dalam pengertian makruh tanzih bila perempuan tersebut memakai wewangian menuju masjid.

            Pengakuan sebagain orang bahwa an-Nasa’i meriwayatkan:
فمرت بقوم فوجدوا ريحها ...
Dengan lafazh [فوجدوا]; (…hingga kaum laki-laki medapatkan wanginya…) adalah periwayatan yang tidak shahih. Riwayat yang shahih adalah dengan lafazh [ليجدوا]; (…dengan tujuan agar kaum laki-laki mendapatkan wanginya).

            Simak apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad ibn al-Munkadir, berkata: “Suatu saat Asma’ didatangi ‘Aisyah, sementara Zubair (suami Asma’) tidak ada di rumah. Dan ketika Rasulullah masuk ia mendapati wewangian, ia bersabda: “Tidak layak bagi seorang perempuan memakai wewangain di saat suaminya tidak di rumah”. Hadits inipun bukan untuk menunjukan keharaman, karena bila untuk tujuan haram maka akan diterangkan langsung oleh nabi.

            Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali dalam karyanya al-Adab as-Syar’iyyah berkata: “Haram bagi seorang perempuan keluar rumah suaminya tanpa mendapatkan izin darinya, kecuali karena dlarurat atau karena kewajian syari’at…”. Pada akhir tulisan ia berkata: “…dan dimakruhkan bagi perempuan memakai wewangain untuk hadir ke masjid atau ke tempat lainnya”.

* * *

Al-Baihaqi dalam dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa di hari iedul fitri Rasulullah keluar rumah, ia shalat dua raka’at, saat itu beliau bersama Bilal, kemudian datang kaum perempuan dan nabi menyuruh mereka semua untuk bersedekah, setelah itu kemudian kaum perempuan tersebut melepaskan apa yang mereka kenakan dari al-Khursh dan as-Sakhab. Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Abi al-Walid, dan diriwayatkan Muslim dari Syu’bah”. As-Sakhab adalah sesuatu yang dikenakan dari wewangian. Al-Khursh adalah perhiasan-perhiasan dari emas dan perak. Dalam hadits ini terdapat kebolehan bagi kaum perempuan untuk memakai wewangaian dan berhias, di mana Rasulullah tidak melarang kaum perempuan tersebut untuk mengenakannya.

__________________________________
[58].       Al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibn Hibban (6/301)
[59].       Al-Mustadrak: Kitab at-Tafsir (2/396)
[60].       Sunan an-Nasa'i: Kitab az-Zinah
[61].       As-Sunan al-Kubra (3/246)
[62].       Sunan Abi Dawud: Kitab at-Tarajjul: Bab tentang keluarnya perempuan dengan memakai minyak wangi.
[63].       Jami' at-Tirmidzi: Kitab al-Adab: Bab tentang makruhnya seorang perempuan keluar dengan memakai minyak wangi.
[64].       Sunan Abi Dawud: Kitab al-Manasik.
[65].       Matan az-Zubad (h. 10)
[66].       Sunan Abi Dawud: Kitab as-Shalat. Lihat pula al-Mustadrak (1/246) dan as-Sunan al-Kubra (3/75)

MASA'IL DINIYAH. IV

BAB VIII
SUARA PEREMPUAN BUKAN AURAT

Ketahuilah bahwa pendapat yang menjadi rujukan dari empat madzhab tentang suara perempuan adalah bukan aurat. Bagaimana mungkin dikatakan aurat sementara dalam hadits dinyatakan bahwa Nabi memberikan keringanan terhadap seorang Jariyah untuk menyanyi saat mangantar seorang pengantin perempuan menuju mempelai laki-laki. Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya[37] merهwayatkan dari Hisyam ibn ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, bahwasannya ia mengantar mempelai perempuan menuju pengantin pria dari kaum Anshar, kemudian nabi berssabda:
يا عائشة ما كان معكم لهو فإن الأنصار يعجبهم اللهو
(Wahai ‘Aisyah tidakkah ada bersama kalian sebuah permainan (al-Lahw), sesungguhnya kaum Anshar itu sangat menyenangi permainan).
Dalam riwayat at-Thabarani[38] dari Syuraik ibn Hisyam ibn ‘Urwah dari ayahnya; ‘Urwah ibn Zubair dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah bersabda:
فهل بعثتم معها جارية تضرب بالدف وتغني؟
(Tidakkah kalain mengutus jariah untuk memukul rebana dan bernyanyi?). ‘Aisyah berkata: “Berkata apa…?”. Rasulullah bersabda: “Berkata:

أتيناكم  أتيناكم           #   فحيونا نحييكم
ولو لا الذهب الأحمر   #  ما حلت بواديكم
ولو لا الحنطة السمراء #  ما سمنت عذاريكم
(Kami mendatangi kalian, kami mendatangi kalian, maka sambutlah kami, kamipun akan menyambut kalian. Kalaulah tidak karena Dzahab Ahmar (emas merah) maka tidak akan ramai tempat-tempat asing kalian. Dan kalaulah bukan karena Hinthah as-Samra (gandum cokelat) maka tidak akan gemuk perawan-perawan kalian).

Riwayat ath-Thabarani di atas adalah shahih, di dalamnya ada tambahan terhadap riwayat al-Bukhari; yaitu memukul rebana dan melantunkan lagu dengan kalimat-kalimat di atas. Pengertian jariah dalam hadits di atas adalah seorang perempuan. (lihat al-Qamus al-Muhith dan Lisan al-‘Arab pada huruf ج- ر- ي ).

Al-Bukhari juga meriwayatkan[39] dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: “Rasulullah masuk kepadaku sementara bersamaku ada dua orang perempuan sedang bernyanyi dengan nyanyian yang menggairahkan, kemudian nabi merebahkan badan di atas tempat tidur dan memalingkan wajahnya. Sesaat kemudian datang Abu Bakar, ia menegurku berkata: “Seruling syetan ada di rumah nabi?”. Kemudian Rasulullah bersabda: “Biarkan keduanya…”, setelah Rasulullah tidak menghiraukan lagi aku mencandai kedua perempuan tersebut, kemudian keduanya keluar”.

Ibnu Hajar berkata[40]: “Pernyataannya (al-Bukhari); […dua orang perempuan --Jariyatani--], ia tambahkan dengan bab sesudahnya; […dari perempuan-perempuan al-Anshar]. Dalam lafazh hadits at-Thabarani[41] dari Ummi Salamah disebutkan bahwa salah satu kedua perempuan tersebut adalah milik Hassan ibn Tsabit, dalam kitab al-Arba’in karya as-Sulamiy disebutkan bahwa keduanya adalah milik ‘Abdullah ibn Salam. Dalam kitab al-‘Idaen karya Ibn Abi ad-Dunya dari jalan Fulaih dari Hisyam ibn ‘Urwah bahwa yang sedang bernyanyi tersebut adalah Hamamah dan salah seorang sahabatnya. Sanad terakhir ini shahih, hanya saja aku tidak menemukan nama perempuan satunya, namun demikian mungkin perempuan yang kedua bernama Zaenab, dan telah ia (al-Bukhari) sebutkan dalam bab nikah”.

Ibnu Hajar juga berkata[42]: “… akan tatapi tidak adanya pengingkaran Rasulullah terhadap hal itu menunjukan adanya kebolehan sesuatu yang tidak ia komentari”. Juga berkata: “Dari hadits ini diambil dalil dalam kebolehan mendengar suara perempuan menyanyi sekalipun ia bukan seorang budak, karena nabi tidak mengingkari Abu Bakar untuk mendengarkannya, bahkan ia mengingkari sikap pengingkarannya”.
Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Khalid ibn Dzakwan[43]: “Berkata Rubayyi’ binti Mu’awwidz ibn ‘Afra: Rasulullah datang pada masa pengantinku, kemudian ia duduk seperti duduknya engkau di hadapanku. Kemudian para perempuan-perempuan kami melai memukul rebana dan menyebut-nyebut nama orang-orang tuaku yang gugur dalam perang Badar. Ketika salah seorang perempuan tersebut berkata: […dan di antara kami ada seorang nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi hari esok], nabi bersabda: [Tinggalkan kalimat tersebut, ucapkan kalimat-kalimat yang sebelumnya engkau katakan].

Ibnu Hajar berkata[44]: “at-Tabarani dalam al-Mu’ajam al-Ausath dengan sanad hasan mengeluarkan dari hadits ‘Aisyah bahwa nabi lewat di hadapan perempuan-perempuan Anshar yang sedang dalam acara pernikahan, mereka sedang bernyanyi dengan mengatakan:

وأهدى لها كبشا تنحنح في المربد  #  وزوجك في النادي ويعلم ما في غد
[…dan suaminya menghadiahkan domba kepadanya (pengantin wanita) yang mengembik di tempat pengembalaan. Dan suamimu berada diperkumpulan dan mengetahui apa yang terjadi hari esok].

Kemudian Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang mengetahui kejadian hari esok kecuali Allah”.

Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits ini ada keterangan dalam mengkabarkan pernikahan dengan rebana dan dengan nyanyian yang mubah, juga tentang kedatangan pemimpin (Imam) dalam pesta tersebut sekalipun terdapat permainan-permainan, selama itu tidak melampaui batas kebolehan”. Hadits di atas juga diriwayatkan oleh al-Bazzar[45].

Ibnu Majah meriwayatkan[46] dari Anas ibn Malik bahwa di suatu daerah Madinah nabi bertemu dengan perempuan-perempuan yang sedang memukul rebana dan bernyanyi, mereka bereka:

نحن جوار من بني النجار  #  يا حبذا محمد من جار
[Kita adalah para perempuan dari Bani Najar, dan Muhammad adalah sebaik-baiknya orang yang menjadi tetangga].

Kemudian nabi bersabda: “Allah maha mengetahui bahwa aku benar-benar mencintai mereka”. Al-Hafizh al-Bushiri berkata: “Sanad hadits ini shahih, dan rijalnya orang-orang terpercaya”[47].

Seorang ahli bahasa; al-Hafizh Muhammad ibn Muhammad al-Husaini az-Zabidi yang dikenal dengan Murtadla dalam karyanya; Ithaf as-Sadat al-Muttaqin, berkata: “al-Qadli ar-Rauyani berkata: …Sekalipun perempuan tersebut meninggikan suaranya dalam talbiah, hal itu tidak haram, karena suaranya bukan aurat”[48].

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari berkata: “Dalam hadits ini [hadits tentang baiat perempuan dengan ucapan] terdapat keterangan bahwa mendengar perkataan perempuan asing adalah mubah, dan bahwa suaranya bukan aurat”[49].

An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim dalam keterangan hadits cara baiat perempuan berkata: “Pada hadits ini terdapat keterangan bahwa suara perempuan boleh didengar bila dibutuhkan, dan bahwa suaranya bukan aurat”[50].

Ibnu ‘Abidin al-Hanafi mengutip dari kitab al-Qinyah berkata: “Boleh berbicara Yng mubah dengan perempuan asing. Dalam al-Mujtaba disebutkan: Pada hadits ini terdapat dalil dalam kebolehan berbicara dengan perempuan asing dengan perkataan yang tidak dibutuhkan, hal ini tidak termasuk dalam pengertian “terjerumus dalam sesuatu yang tidak bermanfa’at”[51].

Dalam kitab Asna al-Mathalib Syarh Raudl at-Thalib, Syekh Zakariyya al-Anshari berkata: “…kemudian sesungguhnya suara perempuan bukan aurat menurut pendapat yang paling benar”[52].

Dengan demikian, dengan penjelasan ini, jelas bahwa suara perempuan bukan aurat, kecuali bagi orang yang bersenang-senang dalam mendengar suara kepadanya, dalam keadaan terakhir ini haram.

Jika dikatakan: “Bukankah firman Allah:
فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض (الأحزاب:32)
(Maka janganlah kalian menurunkan dalam berkata-kata kalian, hingga menjadi tamak (berburuk sangka) seseorang yang didalam hatinya memiliki penyakit).
Menunjukan keharaman dalam mendengar suara perempuan?

Jawab: Perihal ayat tersebut tidak menunjukan demikian. Al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata: “Allah memerintahkan terhadap mereka [isteri-isteri nabi] untuk berkata-kata dengan dengan perkataan yang fasih dan terang, tidak dengan kata-kata yang menyebabkan adanya ikatan dalam hati dan kelembutan, seperti halnya yang demikian itu umumnya terjadi pada kaum perempuan arab saat mereka berbincang-bincang dengan kaum laki-laki; yaitu dengan melembutkan suara seperti suara perempuan yang sedang kebingungan (al-Muribat) dan yang lemah gemulai (al-Mumisat), Allah melarang mereka dari hal demikian ini”[53].

Dalam tafsir al-Bahr al-Muhith, pada firman Allah [فلا تخضعن بالقول], Abu Hayyan berkata: “Ibnu ‘Abbas berkata: “Janganlah kalian lemah gemulai dalam berbicara”. Al-Hasan berkata: “Janganlah kalian berkata-kata dengan keburukan”. Al-Kalbi berkata: “Janganlah kalian berkata-kata dengan cara yang membangkitkan orang yang sedang dalam kebingungan”. Ibnu Zaid berkata: “Merendahkan kata-kata adalah ucapan-ucapan yang memasukan candaan dalam hati”. Dikatakan pula, maksudnya “Janganlah kalian melemahkan tutur kata terhadap kaum laki-laki”. Allah memerintahkan terhadap mereka [isteri-isteri nabi] untuk berkata-kata baik, tidak dengan kata-kata yang menyebabkan adanya ikatan dalam hati dan kelembutan, seperti halnya yang demikian itu umumnya terjadi pada kaum perempuan arab saat mereka berbincang-bincang dengan kaum laki-laki; yaitu dengan melembutkan suara seperti suara perempuan yang lemah gemulai (al-Mumisat), Allah melarang mereka dari hal demikian itu”[54].

Dari sini diketahui bahwa tujuan ayat bukan untuk mengharamkan atas mereka [isteri-isteri nabi] dalam berbincang-bincang hingga suara mereka didengar kaum laki-laki. Akan tetapi larangan di sini adalah untuk berkata-kata dengan lemah lembut seperti seperti perkataan perempuan yang sedang kebingungan (al-Muribat) dan yang lemah gemulai (al-Mumisat); artinya kaum perempuan pelaku zina.

Telah diriwayatkan dengan shahih bahwa ‘Aisyah mengajar kaum laki-laki dari belakang penutup (sitar). Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab at-Talkhish al-Habir berkata: “Maka telah tsabit dalam kitab Shahih bahwa mereka bertanya kepada ‘Aisyah tentang hukum-hukum dan hadits-hadits secara langsung (Musyafahah)[55].

Al-Hakim dalam al-Mustadrak meriwayatkan dari al-Ahnaf ibn Qais, berkata: “Saya mendengar khutbah Abu Bakar as-Siddiq, ‘Umar ibn al-Khathab, ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Ali ibn Abi Thalib dan para khalifah-khalifah seterusnya hingga hari ini, dan aku tidak pernah mendengar perkataan dari mulut seorang makhluk yang lebih wibawa dan baik dari apa yang keluar dari mulut ‘Aisyah”[56].

Dalam at-Tafsir al-Kabir, dalam firman Allah [وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن], al-Fakhr ar-Razi menulis: “Tentang suara perempuan ada dua pendapat, pendapat yang paling benar ialah bahwa hal itu bukan aurat, karena para isteri nabi meriwayatkan hadits-hadits bagi kaum laki-laki”[57].

Di antara mereka adalah ‘Aisyah; beliau meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah kepada kaum laki-laki dan memberi fatwa kepada mereka, dan ia tidak merubah suaranya. Demikian pula dari beberapa kaum perempuan keluarga Shalahuddin al-Ayyubi meriwayatkan hadits bagi kaum laki-laki. Dan siapa yang merujuk kepada kitab-kitab tentang tingkatan para ahli hadits (Thabaqat al-Muhadditsin), para huffazh al-hadits, para ahli fiqh, ia akan menemukan banyak biografi ulama yang notabene mereka sebagai sandaran ilmu syari’at mengambil (membaca) atau belajar kepada kaum perempuan.

Yang lebih utama adalah kaum perempuan belajar kepada kaum perempuan di tempat tertentu, yang para [pengajar] perempuan tersebut ahli dalam keilmuan dari segi kafa’ah dan tsiqah.

____________________________________
[37]. Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nikah: Bab tentang perempuan-perempuan yang mengantar mempelai wanita menuju suaminnya dan doa mereka baginya.
[38]. Dikutip oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id (4/289), at-Tabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath, lihat pula Fath al-Bari (9/226)
[39]. Shahih al-Bukhari: Kitab al-‘Idaen: Bab al-Hirab wa ad-Daraq Yaum al-‘Ied.
[40]. Fath al-Bari (2/440)
[41]. al-Mu’jam al-Kabir (23/264-265)
[42]. Fath al-Bari (2/443)
[43]. Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nikah: Bab memukul rebana saat nikah dan walimah
[44]. Fath al-Bari (9/203)
[45]. Lihat Kasyf al-Astar (3/5-6). Al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id (8/129) berkata: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan para rijal shahih”.
[46]. Sunan Ibn Majah: Kitab an-Nikah: Bab al-Ghina wa ad-Duff.
[47]. Mishbah az-Zujajah Fi Zawa’id Ibn Majah (1/334)
[48]. Ithaf as-Sadat al-Muttaqin Bi Syarh Ihya Ulum ad-Din (4/338)
[49]. Fath al-Bari (13/204)
[50]. Syarh Shahih Muslim (10/13)
[51]. Radd al-Muhtar (5/236)
[52]. Asna al-Mathalib (3/110)
[53]. al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an (14/177)
[54]. al-Bahr al-Muhith (7/229)
[55]. at-Talkhis al-Habir Fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’i al-Kabir (3/140)
[56]. Mustadrak  al-Hakim: Kitab Ma’rifat as-Shabah (4/11)
[57]. at-Tafsir al-Kabir (23/207)
[58