Jumat, 15 April 2011

PARA IMAM, MUHADDITS BERKEYAKINAN ALLAH ADA TANPA TEMPAT


PARA IMAM, MUHADDITS BERKEYAKINAN ALLAH ADA TANPA TEMPAT

1. IMAM MALIK IBN ANNAS

Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malik dari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn Wahb-, berkata: 
“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?. Abdullah ibn Wahab berkata: Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena "bagaimana" (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)".
Anda perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-kata “Bagaimana?”. Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.
Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang mengatakan: “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul (al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur'an. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an.

Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna duduk atau bersemayam yang Kayfiyyah duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita. Hal ini berbeda dengan orang-orang Wahhabiyyah yang salah paham terhadap pernyataan al-Lalika’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Hanya saja, --menurut mereka--, Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. A'udzu Billah.
Untuk membantah keyakinan kaum Wahhabiyyah tersebut, kita katakan kepada mereka: Dalam perkataan al-Lalika-i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman terdapat kata “al-Kayf Ghair Ma’qul”, ini artinya bahwa Istawa tersebut bukan Kayfiyyah, sebab Kayfiyyah adalah sifat benda. Dengan demikian, oleh karena kata Istawa ini bukan Kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam pengertian duduk atau bersemayam. Karena duduk atau bertempat itu hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki anggota badan, seperti pantat, lutut dan lainnya. Sementara Allah maha suci dari pada anggota-anggota badan.
Yang mengherankan, kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyyah di atas seringkali memutarbalikan perkataan dua Imam di atas. Mereka sering mengubahnya dengan mengatakan “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”. Perkataan semacam ini sama sekali bukan riwayat yang benar berasal dari al-Imam Malik atau lainnya. Tujuan kaum Musyabbihah mengucapkan kata tesebut tidak lain adalah untuk menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu mereka mengatakan Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. Karena itu mereka seringkali mengatakan: "Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui". Atau terkadang mereka juga berkata: "Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui". jadi, Perkataan kaum Musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” tidak lain hanyalah untuk mengelabui orang-orang awam bahwa semacam itulah yang telah dikatakan dan yang dimaksud oleh Al-Imam Malik. A'udzu Billah.
Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata: Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya bekata: Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimankah Istawa Allah? Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata: “al-Istiwa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istiwa Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”. Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya. Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).
Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut: 
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa bagi Allah. Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna zhahirnya. Tentu makna zhahir Istawa adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yan lain. Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik. Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).
Ada pelajaran penting yang dapat kita tarik dari peristiwa ini. Jika al-Imam Malik sangat marah terhadap orang tersebut hanya karena menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, hingga mengklaimnya sebagai ahli bid’ah, maka tentunya beliau akan lebih marah lagi terhadap mereka yang dengan terang-terangan mengartikan Istawa dengan duduk, bertempat atau bersemayam! Dapat kita pastikan seorang yang berpendapat kedua semacam ini akan lebih dimurkai lagi oleh al-Imam Malik. Hal itu karena mengartikan Istawa dengan duduk atau bersemayam tidak hanya menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, tapi jelas merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.
Dan sesungguhnya sangat tidak mungkin seorang alim sekaliber al-Imam Malik berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat dan arah. Al-Imam Malik adalah Imam kota Madinah (Imam Dar al-Hijrah), ahli hadits terkemuka, perintis fiqih madzhab Maliki, sudah barang tentu beliau adalah seorang ahli tauhid, berkeyakinan tanzih, mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya. Tentang kesucian tauhid al-Imam Malik ibn Anas, al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah, dalam karyanya berjudul al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta). Dalam penjelasan hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus menyebut nabi Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman akidah tanzih, -bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah-. Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam -ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja. Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”. Dengan demikian, hadits ini oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasan ini dalam al-Muqtafa Fi syaraf al-Mustahafa. Perkataan Al-Imam Malik ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil. Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin).
Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit). Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya). 
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik di atas adalah riwayat yang sama sekali tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada al-Imam Malik tidak lain hanyalah kedustaan belaka.

2. IMAM ABU HANIFAH

Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna "Istawa", beliau menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al-Burhan al-Mu’yyad)..
Di sini ada pernyataan yang harus kita waspadai, ialah pernyataan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat kontroversi dan melakukan kedustaan persis seperti seperti yang biasa dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya, kedustaan yang ia sandarkan kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya’ir Nuniyyah-nya, Ibn al-Qayyim menuliskan sebagai berikut:
“Demikian telah dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, juga oleh Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun lafazh-lafazhnya berasal dari pernyataan Al-Imam Abu Hanifah...
bahwa orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di atas arsy-Nya, dan bahwa Dia di atas langit serta di atas segala tempat, ...
Demikian pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di atas arsy, --di mana perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap getaran hati manusia--,...
Maka itulah orang yang tidak diragukan lagi dan pengkafirannya. Inilah pernyataan yang telah disampaikan oleh al-Imam masa sekarang (maksudnya gurunya sendiri; Ibn Taimiyah).
Inilah pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar (karya Al-Imam Abu Hanifah), di mana kitab tersebut telah memiliki banyak penjelasannya”.

Apa yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim dalam untaian bait-bait syair di atas tidak lain hanya untuk mempropagandakan akidah tasybih yang ia yakininya. Ia sama persis dengan gurunya sendiri, memiliki keyakinan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Pernyataan Ibn al-Qayyim bahwa keyakinan tersebut adalah akidah al-Imam Abu Hanifah adalah kebohongan belaka. Kita meyakini sepenuhnya bahwa Abu Hanifah adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Bukti kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya al-Imam Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-Washiyyah, atau lainnya. Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.
Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).
Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut: 

وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.
“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).
Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.
Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata: 
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق
“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).
Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan: 
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.

 “Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan: 
“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).
Dalam tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?”. Demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit”. 
Klaim kafir dari al-Imam Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua ungkapan tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu tersebut pasti baharu (makhluk), bukan Tuhan.
Tulisan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali disalahpahami atau sengaja diputarbalikan pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah. Perkataan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah untuk mempropagandakan keyakinan mereka bahwa Allah berada di langit atau berada di atas arsy. Padahal sama sekali perkataan al-Imam Abu Hanifah tersebut bukan untuk menetapkan tempat atau arah bagi Allah. Justru sebaliknya, beliau mengatakan demikian adalah untuk menetapkan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini terbukti dengan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah kita kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia?”.
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa klaim kafir yang sematkan oleh al-Imam Abu Hanifah adalah terhadap mereka yang berakidah tasybih; yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Inilah maksud yang dituju oleh al-Imam Abu Hanifah dengan dua ungkapannya tersebut di atas, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi dalam karyanya; Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200). Demikian pula prihal maksud perkataan al-Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 180).
Asy-Syaikh ‘Ali Mulla al-Qari di dalam Syarah al-Fiqh al-Akbar menuliskan sebagai berikut: 
“Ada sebuah riwayat berasal dari Abu Muthi’ al-Balkhi bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang berkata “Saya tidak tahu Allah apakah Dia berada di langit atau berada di bumi!?”. Abu Hanifah menjawab: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena Allah berfirman “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa”, dan arsy Allah berada di atas langit ke tujuh”. Lalu Abu Muthi’ berkata: “Bagaimana jika seseorang berkata “Allah di atas arsy, tapi saya tidak tahu arsy itu berada di langit atau di bumi?!”. Abu Hanifah berkata: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena sama saja ia mengingkari Allah berada di langit. Dan barangsiapa mengingkari Allah berada di langit maka orang itu telah menjadi kafir. Karena Allah berada di tempat yang paling atas. Dan sesungguhnya Allah diminta dalam doa dari arah atas bukan dari arah bawah”. 
Kita jawab riwayat Abu Muthi’ ini dengan riwayat yang telah disebutkan oleh al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam kitab Hall ar-Rumuz, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata: “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu apakah Allah di langit atau di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam ini memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka orang tersebut seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”. Al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam adalah ulama besar terkemuka dan sangat terpercaya. Riwayat yang beliau kutip dari al-Imam Abu Hanifah dalam hal ini wajib kita pegang teguh. Bukan dengan memegang tegung riwayat yang dikutip oleh Ibn ‘Abi al-Izz; (yang telah membuat syarah Risalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah versi akidah tasybih). Di samping ini semua, Abu Muthi’ al-Balkhi sendiri adalah seorang yang banyak melakukan pemalsuan, seperti yang telah dinyatakan oleh banyak ulama hadits” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 197-198).
Asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Hamami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka, dalam kitab karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad menuliskan beberapa pelajaran penting terkait riwayat Abu Muthi’ al-Balkhi di atas, sebagai berikut:
Pertama: Bahwa pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah tersebut sama sekali tidak ada penyebutannya dalam al-Fiqh al-Akbar. Pernyataan semacam itu dikutip oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan dengan sengaja ia berdusta mengatakan bahwa itu pernyataan al-Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar, tujuannya tidak lain adalah untuk mempropagandakan kesesatan orang itu sendiri.
Kedua: Kutipan riwayat semacam ini jelas berasal dari seorang pemalsu (wadla’). Riwayat orang semacam ini, dalam masalah-masalah furu’iyyah (fiqih) saja sama sekali tidak boleh dijadikan sandaran, terlebih lagi dalam masalah-masalah ushuliyyah (akidah). Mengambil periwayatan orang pemalsu semacam ini adalah merupakan pengkhiatan terhadap ajaran-ajaran agama. Dan ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang hendak menyebarkan kesesatan atau bid’ah yang ia yakini.
Ketiga: Periwayatan pemalsu ini telah terbantahkan dengan periwayatan yang benar dari seorang al-Imam agung terpercaya (tsiqah), yaitu al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam. Periwayatan al-Imam Ibn Abd as-Salam tentang perkataan al-Imam Abu Hanifah jauh lebih terpercaya dan lebih benar dibanding periwayatan pemalsu tersebut. Berpegang teguh kepada periwayatan seorang pendusta (kadzdzab) dengan meninggalkan periwayatan seorang yang tsiqah adalah sebuah pengkhianatan, yang hanya dilakukan seorang ahli bid’ah saja. Seorang yang melakukan pemalsuan semacam ini, cukup untuk kita klaim sebagai orang yang tidak memiliki amanah. Jika orang awam saja melakukan pemalsuan semacam ini dapat menjadikannya seorang yang tidak dapat dihormati lagi, terlebih jika pemalsuan ini dilakukan oleh seorang yang alim, maka jelas orang alim ini tidak bisa dipertanggungjawabkan lagi dengan ilmu-ilmunya. Dan “orang alim” semacam itu tidak pantas untuk kita sebut sebagai orang alim, terlebih kita golongkannya dari jajaran Imam-Imam terkemuka, atau para ahli ijtihad. Dan lebih parah lagi jika pengkhianatan pemalsu ini dalam tiga perkara ini sekaligus. Padahal dengan hanya satu pengkhianatan saja sudah dapat menurunkannya dari derajat tsiqah. Karena jika satu riwayat sudah ia dikhianati, maka kemungkinan besar terhadap riwayat-riwayat yang lainpun ia akan melakukan hal sama (Lebih lengkap lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99-100).
Kemudian dalam bait sya’ir di atas, Ibn al-Qayyim tidak hanya membuat kedustaan kepada al-Imam Abu Hanifah, namun ia juga melakukan kedustaan yang sama terhadap al-Imam Ya’qub. Yang dimaksud al-Imam Ya’qub dalam bait sya’ir ini adalah sahabat al-Imam Abu Hanifah; yaitu Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Dalam menyikapi perbuatan Ibn al-Qayyim ini, asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Humami berkata: “Tidak diragukan lagi apa yang ia nyatakan ini adalah sebuah kedustaan untuk tujuan mempropagandakan keyakinan bid’ahnya” (Lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99). 
Penilaian yang sama terhadap Ibn al-Qayyim semacam ini juga telah diungkapkan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab bantahannya terhadap Ibn al-Qayyim sendiri, berjudul Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim. Karya Al-Imam al-Kautsari ini adalah sebagai tambahan atas kitab karya Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil, kitab yang juga berisikan serangan dan bantahan terhadap bid’ah-bid’ah Ibn al-Qayyim. Yang dimaksud dengan “Ibn Zafil” oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam judul kitabnya ini adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; murid dari Ibn Taimiyah (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 108).
Dengan demikian riwayat yang sering dipropagandakan oleh Ibn al-Qayyim, yang juga sering dipropagandakan oleh kaum Wahhabiyyah bahwa al-Imam Abu Hanifah berkeyakinan “Allah berada di langit” adalah kedustaan belaka. Riwayat ini sama sekali tidak benar. Dalam rangkaian sanad riwayat ini terdapat nama-nama perawi yang bermasalah, di antaranya; Abu Muhammad ibn Hayyan, Nu’aim ibn Hammad, dan Nuh ibn Abi Maryam Abu ‘Ishmah.
Orang pertama, yaitu Abu Muhammad ibn Hayyan, dinilai dla’if oleh ulama hadits terkemuka yang hidup dalam satu wilayah dengan Abu Muhammad ibn Hayyan sendiri. Ulama hadits tersebut adalah al-Imam al-Hafizh al-‘Assal. Kemudian orang kedua, yaitu Nu’aim ibn Hammad adalah seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 409). 
Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam yang merupakan ayah tiri dari Nu’aim ibn Hammad, juga seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 433). 
Dan Nuh ibn Abi Maryam ini adalah anak tiri dari Muqatil ibn Sulaiman; pemuka kaum mujassimah. Dengan demikian, Nu’aim ibn Hammad telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Nuh ibn Abi Maryam. Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Muqatil ibn Sulaiman. Orang-orang yang kita sebutkan ini, sebagaimana dinilai oleh para ulama ahli kalam, mereka semua adalah orang-orang yang berkeyakinan tasybih dan tajsim. Dengan demikian bagaimana mungkin riwayat orang-orang yang berakidah tasybih dan tajsim semacam mereka dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan permasalahan akidah?! Sesungguhnya orang yang bersandar kepada mereka adalah bagian dari mereka sendiri.
Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybih, dalam penilaiannya terhadap Nu’aim ibn Hammad, mengutip perkataan Ibn ‘Adi, mengatakan: “Dia (Nu’aim ibn Hammad) adalah seorang pemalsu hadits” (Lihat Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). 
Kemudian al-Imam Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya tentang riwayat Nu’im ibn Hammad, tiba-tiba beliau memalingkan wajahnya sambil berkata: “Hadits munkar dan majhul” (Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). Penilaian Al-Imam Ahmad ini artinya bahwa riwayat Nu’aim ibn Hammad ada sesuatu yang sama sekali tidak benar.
(Masalah): Jika kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah, mengatakan bahwa adz-Dzahabi telah mengutip riwayat dari kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Hafizh al-Bayhaqi bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah berasal dari al-Imam Abu Hanifah. 
(Jawab): Kita katakan: Riwayat al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dengan memepergunakan kata “In shahhat al-hikayah...” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 429). Hal ini menunjukan bahwa riwayat tersebut bermasalah. Artinya, riwayat yang dikutip al-Hafizh al-Bayhaqi ini bukan untuk dijadikan dalil. Yang menjadi masalah besar ialah bahwa tulisan al-Bayhaqi “In shahhat ar-riwayah...” ini diacuhkan oleh adz-Dzahabi untuk tujuan memberikan pemahaman kepada para pembaca bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah statemen al-Imam Abu Hanifah. Ini menunjukan bahwa adz-Dzahabi tidak memiliki amanat ilmiyah. Hal ini juga menunjukan bahwa adz-Dzahabi telah banyak dipengaruhi oleh faham-faham gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah. al-Imam al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim menuliskan bahwa pernyataan al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat: “In shahhat ar-riwayah...” menunjukan bahwa dalam riwayat tersebut terdapat beberapa cacat (al-khalal).
Namun hal terpenting dari pada itu ialah bahwa al-Imam al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat tersebut, di dalam banyak tempat banyak menyebutkan tentang kesucian Allah dari pada tempat dan arah, salah satunya pernyataan beliau berikut ini: 
“Sebagian sahabat kami (kaum Ahlussunnah dari madzhab Asy’ariyyah Syafi’iyyah) mengambil dalil dalam menafikan tempat dari Allah dengan sebuah hadits sabda Rasulullah: “Engkau ya Allah az-Zahir (Yang segala sesuatu menunjukan akan keberadaan-Nya) tidak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau ya Allah al-Bathin (Yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) tidak ada suatu apapun di bawah-Mu”. Dari hadits ini dipahami jika tidak ada suatu apapun di atas Allah, dan tidak ada suatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 400).
Pada halaman lain dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, Al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Apa yang diriwayatkan secara menyendiri (tafarrud) oleh al-Kalbi dan lainnya memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk, padahal sesuatu yang memiliki bentuk maka pasti dia itu baharu, membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk tersebut. Sementara Allah itu Qadim dan Azali (tanpa permulaan)” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 415).
Pada bagian lain dari kitab di atas, al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449). 
Juga mengatakan: “Sesungguhnya gerak, diam, dan bersemayam atau bertempat itu adalah termasuk sifat-sifat benda. Sementara Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada suatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).
Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang bagi kita bahwa keyakinan Allah berada di langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-Imam Abu Hanifah adalah kedustaan belaka yang sama seakali tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan semacam ini tidak hanya kedustaan kepada Al-Imam Abu Hanifah semata, tapi juga kedusataan terhadap orang-orang Islam secara keseluruhan dan kedustaan terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri.

Al Hamdu Lillah Rabb al-Alamin.

3. IMAM SYAFI’I

Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata: 
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)

“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).

Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:

واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)


“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata: 
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)

“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah. 

SAYA TEGASKAN: Imam asy-Syafi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.
Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Ada di dua tempat?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan langit adalah makhluk Allah. Na’udzu Billahi Minhum..... 

3. IMAM AHMAD IBN HANBAL

Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:

وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.

“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)

5. Imam Bukhari

Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, para ulama salaf saleh, dan aqidah mayoritas umat Islam; Ahlussunnah Wal Jama’ah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kita akan banyak menemukan pernyataan para ulama terkemuka dari generasi ke generasi dalam menetapkan keyakinan suci ini. Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah juga merupakan keyakinan Syaikhul Muhadditsin al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (w 256 H), penulis kitab yang sangat mashur; Shahih al-Bukhari. Para ulama yang datang sesudah beliau yang menuliskan syarh bagi kitabnya tersebut menyebutkan bahwa al-Imam al-Bukhari adalah seorang ahli Tauhid, beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. 
Salah seorang penulis Syarh Shahih al-Bukhari, as-Syekh ‘Ali ibn Khalaf al-Maliki yang dikenal dengan Ibn Baththal (w 449 H) menuliskan sebagai berikut: 

غَرْضُ البُخَارِيّ فِي هذَا البَاب الرّدُّ عَلَى الْجَهْمِيّةِ الْمُجَسِّمَةِ فِي تَعَلُّقِهَا بِهذِه الظّوَاهِر، وَقَدْ تَقَرّرَ أنّ اللهَ لَيْسِ بِجِسْمٍ فَلاَ يَحْتَاجُ إلَى مَكَانٍ يَسْتَقِرّ فِيْهِ، فَقَدْ كَانَ وَلاَ مَكَان، إنّمَا أضَافَ المَعَارِجَ إلَيْه إضَافَةُ تَشْرِيفٍ، وَمَعْنَى الارْتفَاعِ إلَيْهِ اعْتِلاؤُه، أى تَعَالِيْهِ، مَعَ تَنْزِيْهِهِ عَنِ الْمَكَانِ.

“Tujuan al-Bukhari dalam membuat bab ini adalah untuk membantah kaum Jahmiyyah Mujassimah, di mana kaum tersebut adalah kaum yang hanya berpegang teguh kepada zhahir-zhahir nash. Padahal telah ditetapkan bahwa Allah bukan benda, Dia tidak membutuhkan kepada tempat dan arah. Dia Ada tanpa permulaan, tanpa arah dan tanpa tempat. Adapun penisbatan “al-Ma’arij” adalah penisbatan dalam makna pemuliaan (bukan dalam pengertian Allah di arah atas). Juga makna “al-Irtifa’” adalah dalam makna bahwa Allah maha suci, Dia maha suci dari tempat” (Fath al-Bari, j. 13, h. 416).

Pernyataan Ibn Bathal ini dikutip oleh al-hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari dan disepakatinya. Dengan demikian berarti keyakinan Allah ada tanpa tempat adalah merupakkan keyakinan para ahli hadits secara keseluruhan.

INGAT, jangan pernah anda berkayakinan bahwa Allah berada di atas arsy atau berada di langit. mustahil Allah bertempat pada makhluk-Nya sendiri. Arsy dan langit adalah makhluk Allah. ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.

6. Imam Al-Ghazali

Al-Imâm Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), nama yang sangat akrab dengan kita, seorang teolog, sufi besar, seorang yang ahli dalam banyak disiplin ilmu. Dalam kitab karyanya yang sangat agung; Ihya’ Ulumiddin, pada jilid pertama menuliskan bab khusus tentang penjelasan akidah mayoritas umat Islam; akidah Ahlussunnah, yaitu pada bagian Qawa’id al-Aqa’id. . Di antara yang beliau tulis adalah sebagai berikut: 

تعالى (أى الله) عن أن يحويه مكان كما تقدس عن أن يحده زمان، بل كان قبل أن خلق الزمان والمكان وهو الآن على ما عليه كان (إحياء علوم الدين، كتاب قواعد العقائد، الفصل الأول ج.1 ص. 108)

“Allah Maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci untuk dibatasi oleh waktu dan zaman. Dia ada tanpa permulaan, tanpa tempat, dan tanpa zaman, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan arah) ada seperti sediakala tanpa tempat dan dan tanpa arah” (Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 1, h. 108).

Pada bagian lain dari kitab tersebut al-Imâm al-Ghazali menuliskan: 
“Pokok ke empat; Adalah mengetahui bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat. Dia maha suci dari dibatasi oleh tempat. Arguman atas ini adalah bahwa setiap benda itu pasti memiliki tempat, dengan demikian ia membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dalam tempat tersebut. Juga sesuatu yang bertempat itu tidak lepas dari dua keadaan; menetap pada tempatnya tersebut atau bergerak pindah dari satu tempat ke tempat alinnya. Dan kedua sifat ini jelas merupakan sifat-sifat dari sesuatu yang baharu. Dan sesuatu yang tidak lepas dari kebaharuan maka berarti sesuatu tersebut adalah sesuatu yang baharu” (Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 1, h. 127).

Masih dalam kitab Ihya’ al-Imâm al-Ghazali juga menuliskan: 

الأصل السابع: العلم بأن الله تعالى منـزه الذات عن الإختصاص بالجهات، فإن الجهة إما فوق وإما أسفل وإما يمين وإما شمال أو قدام أو خلف، وهذه الجهات هو الذي خلقها وأحدثها بواسطة خلق الإنسان إذ خلق له طرفين أحدهما يعتمد على الأرض ويسمى رجلا، والآخر يقابله يسمى رأسا، فحدث اسم الفوق لما يلي جهة الرأس واسم السفل لما يلي جهة الرجل، حتى إن النملة التي تدب منكسة تحت السقف تنقلب جهة الفوق في حقها تحتا وإن كان في حقنا فوقا. 
وخلق للإنسان يدين وإحداهما أقوى من الأخرى في الغالب فحدث اسم اليمين للأقوى واسم الشمال لما يقابله، وتسمى الجهة التي تلي اليمين يمينا والأخرى شمالا، وخلق له جانبين يبصر من أحدهما ويتحرك إليه فحدث اسم القدام للجهة التي يتقدم إليها بالحركة واسم الخلف لما يقابلها. (إحياء علوم الدين، ج.1، ص. 128)

“Pokok ke tujuh; adalah berkeyakinan bahwa Dzat Allah suci dari bertempat pada suatu arah. Karena arah tidak lepas dari salah satu yang enam; atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Arah-arah tersebut diciptakan oleh Allah denga jalan penciptaan manusia. Allah menciptakan manusia dengan dua bagian; bagian yang megarah ke bumi yaitu bagian kakinya, dan bagian yang berlawanan dengannya yaitu bagian kepalanya. Dengan adanya pembagian ini maka terjadilah arah, bagian ke arah kakinya disebut bawah dan bagian ke arah kepalanya disebut atas. Demikian pula seekor semut yang merayap terbalik di atas langit-langit rumah, walaupun dlaam pandangan kita tubuhnya terbalik, namun baginya arah atasnya adalah bagian yang ke arah kepalanya dan bagian bawahnya adalah adalah bagian yang ke arah bawahnya.
Pada manusia kemudian Allah menciptakan dua tangan, yang pada umumnya salah satunya memiliki kekuatan lebih atas lainnya. Maka terjadilah penamaan bagi tangan yang memiliki kekuatan lebih sebagai tangan kanan. Sementara tangan bagian lainnya yang yang berlawanan dengannya disebut dengan tangan kiri. Juga Allah menciptakan bagi manusia tersebut dua bagian bagi arah badanya; bagian yang ia lihat dan ia tuju dengan bergerak kepadanya, dan bagian yang berada pada sebaliknya. Bagian yang pertama disebut arah depan semantara yang bagian sebaliknya disebut dengan arah belakang” (Ihya 'Ulumiddin, j. 1, h. 128).

Kemudian al-Imâm al-Ghazali menuliskan:

فكيف كان في الأزل مختصا بجهة والجهة حادثة؟ أو كيف صار مختصا بجهة بعد أن لم يكن له؟ أبأن خلق العالم فوقه ويتعالى عن أن يكون له فوق إذ تعالى أن يكون له رأس، والفوق عبارة عما يكون جهة الرأس، أو خلق العالم تحته فتعالى عن أن يكون له تحت إذ تعالى عن أن يكون له رجل والتحت عبارة عما يلي جهة الرجل، وكل ذلك مما يستحيل في العقل (إحياء علوم الدين، ج.1، ص. 128)

“Dengan demikian bagaimana mungkin Allah Yang ada tanpa permulaan (azaly) memiliki tempat dan arah, sementara tempat dan arah itu sendiri baharu?! Bagaimana mungkin Allah yang ada tanpa permulaan dan tanpa tempat lalu kemudian berubah menjadi berada pada tempat tersebut?! Apakah Allah menciptakan alam yang alam tersebut berada di arah atas-ya?! Sesesungguhnya Allah maha suci dari dikatakan “arah atas” bagi-Nya. Karena bila dikatakan “arah atas” bagi Allah maka berarti Dia memiliki kepala. Karena sesungguhnya penyebutan “arah atas” hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kepala. Demikian pula Allah maha suci dari dikatakan “arah bawah” bagi-Nya. Karena bila dikatakan arah bawah bagi Allah maka berarti Dia memiliki kaki. Karena sesungguhnya penyebutan arah bawah hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kaki. Hal itu semua secara akal adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” (Ihya' 'Ulumiddin, j. 1, h. 128). 

Dalam kitab al-Arba’in fi Ushuliddin, al-Imam al-Ghazali menuliskan:

وأنه لا يحل في شىء ولا يحل فيه شىء، تعالى عن أن يحويه مكان كما تقدس عن أن يحده زمان، بل كان قبل أن خلق الزمان والمكان وهو الآن على ما عليه كان (الأربعين في أصول الدين، ص 8)

“... dan bahwa Allah tidak bertempat di dalam sesuatu, dan tidak ada sesuatu apapun yang bertempat pada-Nya. Allah maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci dari dibatasi oleh waktu/zaman. Dia Allah ada sebelum terciptanya waktu dan tempat, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan waktu) ada sebagaimana pada sifat-Nya azaly; tanpa tempat dan tidak terikat oleh waktu”. (al-Arba’in Fi Ushuliddin, h. 8)

KESIMPULAN: Akidah Rasulullah, para sahabat, dan kaum Salaf saleh, serta keyakinan mayoritas umat Islam; Ahlussunnah Wal Jama’ah ialah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”. 
Sangat tidak masuk akal, atau tepatnya kita katakan “tidak berakal”, bila ada orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada di langit atau di di arsy, seperti keyakinan orang-orang Wahhabiyah di masa sekarang. Bagaimana mereka berkeyakinan Allah berada di langit?! Juga berkeyakinan Allah berada di arsy?! Di dua tempat heh..?! Padahal mereka yakin bahwa langit dan arsy adalah makhluk Allah. Itu artinya dalam keyakinan mereka Allah bertempat pada makhluk-Nya sendiri. A’udzu Billah al-‘Alyy al-‘Azhim.

Fa al-Wahhabiyyah Yadlhak Alayhim as-Sufaha’ Qabl al-‘Uqala’.

7. AL-IMAM FAKHR AR-RAZI

• Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imam al-Fakhr ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:
“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil” .


Di bagian lain dari tafsirnya dalam penafsiran firman Allah QS. Thaha: 5 menuliskan sebagai berikut:

“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka duduk, bertempat atau bersemayam di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql dari berbagai segi;
Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya. Artinya bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy sama azali seperti Allah. -Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan sesuatu yang azali kepada selain Allah-”.
Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan terjadinya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah kiri arsy. Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.
Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika dalam keadaan kedua maka berarti ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada atau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada di atas arsya tersebut diam saja.

Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan pertama maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat. Kemudian jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas Allah” .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar