Jumat, 19 Oktober 2012

19. MAFAHIM

Pendapat kedua : Pada dasarnya penafsiran hadits Nabi menyatakan bahwa kufur
terhadap nikmat Allah sebab membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat
ini berlaku bagi orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini didukung oleh
riwayat terakhir pada bab ini ; Sebagian orang, di pagi hari ada yang bersyukur dan ada
yang kufur..

Dalam riwayat lain ; Allah tidak menurunkan berkah dari langit kecuali sebagian manusia
mengkufuri terhadap berkah itu. Kata <  ( terhadap berkah itu ) menunjukkan kekufuran
yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu A’lam.

Anda bisa melihat bahwa Imam An-Nawawi menyatakan adanya kesepakatan ulama
bahwa siapapun yang menisbatkan tindakan kepada perantara tidak berdampak kufur
kecuali disertai keyakinan bahwa perantara itu yang bertindak sebagai pelaku, pengatur
dan pencipta.

Namun jika perantara tidak dilihat demikian namun hanya menganggap perantara adalah
ciri atau tempat terjadinya penciptaan yang telah ditakdirkan maka vonis kufur tidak
jatuh. Syara’ malah kadang mengajak untuk memandang perantara sebagaimana sabda
Nabi :

"Siapapun yang memberi kebaikan kepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda tidak
mampu membalasnya maka doakanlah ia sampai kalian menyadari telah membalas
kebaikannya." 
Dan sabda Nabi yang lain :
   
"Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah."

Ajakan  syara’ ini berdasarkan pertimbangan bahwa memandang perantara dari sudut
pandang demikian tidak berarti meniadakan anugerah  dari Allah. Banyak ayat dimana
Allah SWT memberikan pujian atas perbuatan baik para hamba-Nya dan malah memberi
mereka pahala atas perbuatan tersebut. Allah adalah Dzat yuang mendorong mereka
berbuat baik dan menciptakan kemampuan mereka untuk mengerjakannya. Allah
berfirman yang Artinya : "Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat
(kepada Tuhannya)." (Q.S. Shaad : 30), "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada
pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya." (Q.S.Yunus :26) "Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu" (Q.S. Asy-Syams : 9). 

Jika telah jelas di mata Anda bahwa tindakan (al-fi’l) dapat digunakan dalam beragam
makna maka makna-makna tersebut tidaklah berbenturan jika dipahami dengan jernih.
Makna-makna yang terkandung dalam ungkapan lebih luas dari ungkapan itu sendiri dan
hati lebih luas dari buku-buku yang dikarang. Jika  kita terpaku pada  lafadz dalam arti
hakiki tanpa memandang majaz maka kita tidak akan mampu mengkompromikan antara
teks-teks atau membedakannya. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar