Jumat, 19 Oktober 2012

16. MAFAHIM

pencipta  washithah yang menciptakan makna keperantaraan kepada  washithah.
Seandainya Allah tidak memberi makna keperantaraan  terhadap segala sebab maka
segala sebab itu tidak layak menjadi washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh
Allah seperti benda mati, cakrawala, hujan dan api  atau sebab yang berakal seperti
malaikat, manusia, atau jin.

PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN NISBAT LAFAZH

Barangkali Anda berkata : Tidaklah rasional menisbatkan satu tindakan kepada dua
pelaku karena mustahil berkumpulnya dua hal yang mampu memberikan pengaruh
kepada satu obyek yang terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar pandangan kalian.
Namun konteksnya jika pelaku hanya memiliki satu pengertian dalam penggunaan–
nya”. Tapi jika pelaku memiliki dua pengertian maka kalimat tersebut ada kemungkinan
digunakan untuk salah satunya. 

Kalau demikian tidak boleh kalimat itu digunakan untuk kedua-duanya sebagaimana
telah diketahui dalam penggunaan kalimat yang memiliki lebih dari satu pengertian
(musytarak/ambigu) atau hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan “Pemimpin
membunuh si fulan” dan ungkapan “Si fulan dibunuh oleh algojo.” Kata membunuh yang
dinisbatkan kepada pemimpin memiliki pengertian yang berbeda dengan kata yang sama
yang dinisbatkan kepada algojo. Maka ungkapan kita  : Allah adalah pelaku dengan
pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu menjadi ada dan ungkapan kita :
Sesungguhnya makhluk adalah pelaku, artinya adalah bahwa makhluk adalah obyek yang
Allah ciptakan padanya kemampuan setelah menciptakan padanya kehendak dan
pengetahuan. 

Berarti hubungan qudrah dengan  iradah serta gerakan dengan qudrah adalah hubungan
kausalitas dan yang diciptakan dengan yang menciptakan. Hubungan semacam ini
berlaku jika obyeknya adalah makhluk berakal. Namun jika tidak berakal ia termasuk
kategori mengaitkan yang disebabi atas yang menjadi penyebab.

Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal yang memiliki kaitan dengan  qudrah sebagai
Fa’il (pelaku) bagaimanapun bentuk kaitannya. Sebagaimana algojo dan penguasa bisa
disebut pembunuh dengan memandang dari sudut masing-masing. Karena pembunuhan
berkaitan dengan keduanya. Meskipun pembunuhan dilihat dari dua sisi pandang berbeda
namun masing-masing algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh. Demikian pula
dalam hal menilai obyek-obyek dari qudrat dengan dua qudrat. .

Dalil yang menunjukkan diperbolehkannya menisbatkan hal-hal di atas dan relevansinya
adalah bahwa Allah SWT sendiri kadang menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan
terkadang kepada yang lain dan terkadang menisbatkannya kepada diri-Nya sendiri.

Allah SWT berfirman yang Artinya : Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk
(mencabut nyawa)mu akan mematikanmu."(Q.S. As-Sajdah : 11), "Allah memegang jiwa
(seseorang) ketika matinya." (Q.S. Az-Zumar :42), "Maka Terangkanlah kepadaku
tentang yang kamu tanam." (Q.S. Al-Waqi`ah : 63) dengan dinisbatkan kepada mereka.

15, MAFAHIM

menghindari kontradiksi antar dalil-dalil yang ada  seperti kelompok (Mu’tazilah) yang
berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dengan menggunakan argumentasi firman
Allah yang Artinya : "Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa
Arab." (Q.S. Az-Zukhruuf : 3). 

Kemudian kelompok  Qadariyyah (free will) yang menggunakan ayat yang Artinya :
"Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri." (Q.S. As-Syuuraa : 20),
dan ayat : "Apa yang telah kamu kerjakan." (Q.S.Yunus : 23)

Kelompok  Jabariyah yang berpegang teguh dengan ayat : "Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (Q.S. Ash-Shaaffaat : 96), dan ayat :
"Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar,  tetapi Allah-lah yang
melempar." (Q.S.Al-Anfaal : 17)

Untuk menyingkap maksud dari firman Allah di muka bahwa sesungguhnya semua
kelompok ummat Islam diluar kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua tindakan
para hamba adalah diciptakan Allah SWT berdasarkan ayat : 

meskipun tindakan itu bisa dilekatkan kepada hamba dengan menggunakan pendekatan
lain yang disebut iktisab (bekerja) seperti dalam firman Allah :

"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya." (Q.S.Al.Baqarah : 286) dan ayat-ayat lain yang
menunjukkan penyandaran kerja kepada hamba. 

Keterkaitan  qudrah dengan  al-maqdur (obyek dari sifat qudrah) tidak harus melalui
penciptaan semata karena qudrah Allah pada masa azali berkaitan dengan alam sebelum
Allah menciptakannya. Dan  qudrah Allah ketika menciptakan alam berkaitan dengan
alam dalam corak keterkaitan lain. 

ESENSI MENISBATKAN TINDAKAN KEPADA PARA HAMBA

Berangkat dari keterkaitan qudrah di atas jelaslah bahwa keterkaitan qudrah tidak hanya
dengan terjadinya al-maqdur lewat sifat ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka
sendiri dengan cara mengerjakan bukan penciptaan. Karena Allah yang menciptakan,
menakdirkan dan menghendakinya. Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah
menghendaki apa yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak dengan
bukti Allah menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah tidak menghendaki
semuanya beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah :

Yang Artinya : "Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu
sangat menginginkannya." (Q.S. Yusuf : 103).

Penisbatan tindakan kepada makhluk masuk kategori penisbatan musabbab (Obyek yang
terkena pengaruh sebab) kepada  sabab (penyebab  atau  wasithah (perantara). Hal ini
bukanlah sebuah kontradiksi karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah

14, MAFAHIM


Seandainya tidak demikian, Allah perlu mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah yang berbeda
dengan  ra’fah-Ku, dan  rahiim dengan rahmat yang berbeda dengan rahmat-Ku, atau
mengatakan Ra’uuf dengan rahmat tertentu dan Rahiim dengan rahmat tertentu, atau bisa
juga mengatakan  Ra’uuf dengan  ra’fah kemanusiaan dan rahiim dengan rahmat
kemanusiaan. Namun semua ini ternyata tidak ada. Malah Allah memberi Nabi sifat
ra’fah dan rahmat tanpa menambahkan penjelasan apapun.

MAJAZ ‘AQLI DAN PENGGUNAANNYA 

Tidak disangsikan lagi bahwa majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Diantaranya yang Artinya : “Dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman
mereka (karenanya)”  (Q.S. Al-Anfaal : 2). Penyandaran kalimat  ziyadah ke kalimat
aayaat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat adalah penyebab bertambah sedang yang
menambah sesungguhnya adalah Allah SWT. "hari yang menjadikan anak-anak
beruban." (Q.S. Al-Muzzammil :17)

Penyandaran kata Ja’ala pada pada al-Yaum adalah majaz ‘aqli. Karena Al-Yaum adalah
tempat mereka menjadi beruban. Kejadian tersebut tercipta pada Al-Yaum sedang yang
menjadikan sesungguhnya adalah Allah SWT.  "Dan jangan pula Suwwa`, Yaghuts,
Ya`uq dan Nasr, dan sungguh mereka menyesatkan kebanyakan (manusia)." (Q.S. Nuh :
23-24) Penyandaran  Idlal pada ashnam adalah majaz ‘aqli karena  ashnam adalah
penyebab terjadinya  idlal sedang yang memberi petunjuk dan yang menyesatkan
hakikatnya Allah SWT semata. 

Firman Allah mengisahkan Fir’aun yang Artinya : "Hai Haman, buatkanlah bagiku
sebuah bangunan yang Tinggi." (Q.S.Al-Mu\`min : 36). Penyandaran  Al-Binaa
(membangun) kepada Haman adalah majaz ‘aqli karena Haman cuma penyebab. Ia hanya
pemberi perintah dan tidak membangun sendiri. Yang  membangun adalah para
pekerja. Adapun keberadaaan majaz ‘aqli dalam hadits maka di dalamnya terdapat jumlah
yang banyak yang diketahui oleh orang yang mau mengkajinya. 

Para ulama berkata : “Terlontarnya penyandaran di atas dari orang yang mengesakan
Allah cukup menjadikannya dikategorikan sebagai penyandaran majazi karena keyakinan
yang benar adalah bahwa pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka adalah
Allah semata. Allah adalah pencipta para hamba dan  tindakan-tindakan mereka. Tidak
ada yang bisa memberikan pengaruh kecuali Allah. Orang hidup atau orang mati tidak
bisa memberi pengaruh apapun. Keyakinan semacam ini adalah tauhid yang murni.
Berbeda kalau memiliki keyakinan yang berlawanan. Maka ia bisa jatuh dalam
kemusyrikan. 

URGENSI MENETAPKAN KAITAN (NISBAT) DALAM  MENETAPKAN
BATASAN KUFUR DAN IMAN

Beberapa kelompok sesat hanya menggunakan pendekatan tekstual tanpa melibatkan
indikasi-indikasi dan tujuan-tujuan, serta tidak menggunakan titik temu yang bisa

13, MAFAHIM

Mengetahui hal-hal ghaib,
Mengetahui hal-hal ghaib adalah milik Allah. Seperti dalam ayat : “Katakanlah: tidak
ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali
Allah". (Q.S. An-Naml : 65)

Namun terdapat dalil yang menunjukkan Allah menginformasikan kepada Nabi hal-hal
gaib : 
&nbrp;ً“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan
kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya”
(ayat)

Hidayah,
Maka sesungguhnya hidayah adalah khusus milik Allah. Allah berfirman yang Artinya :
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang  yang dikehendaki-Nya, dan Allah
lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” ( Q.S.Al-Qashash : 56 ),
Akan tetapi terdapat ayat yang menjelaskan bahwa Nabi SAW juga bisa memberi
hidayah. Allah berfirman :
 “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus."
(Q.S. Asy-Syuura : 52)

Hidayah yang terdapat dalam ayat pertama berbeda dengan hidayah dalam ayat kedua.
Perbedaan ini hanya dapat dipahami oleh kaum mu’minin yang memiliki kemampuan
berfikir yang baik yang mampu membedakan status Khaliq dan makhluk. Jika pengertian
hidayah disamakan niscaya Allah perlu mengatakan "Sesungguhnya engkau memberi
hidayah yang berupa bimbingan, atau sesungguhnya engkau memberi hidayah tapi bukan
seperti hidayah-Ku." 

Tapi kedua ungkapan ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Malah Allah membiarkan
lafadz hidayah tanpa keterangan apapun. Karena orang yang mengesakan Allah dari
kaum muslimin bisa memahami kata-kata dan mengerti perbedaan indikasi dari kata-kata
tersebut menyangkut apa yang dis`ndarkan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Masalah
ini sama dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an yang memberi sifat Rasul dengan
Ar-Ra’fah dan Ar-Rahmah saat Allah berfirman :
 “Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

Dan Allah juga mensifati diri-Nya dengan dua sifat  di atas dalam banyak ayat. Sudah
umum diketahui bahwa Ar-Ra’fah dan Ar-Rahmah dalam ayat kedua berbeda arti dengan
Ar-Ra’fah dan Ar-Rahmah dalam ayat pertama. Waktu Allah mensifati Nabi-Nya dengan
kedua sifat tersebut, Dia mensifatinya tanpa embel-embel apapun. Karena orang yang
dikhithabi adalah seorang mu’min yang mengesakan Allah yang mengerti perbedaan
antara Khaliq dan makhluk.

12. MAFAHIM

keimanan kepada beliau dan kepada risalahnya. Dan tawassul bukanlah berarti beribadah
kepada Nabi SAW. Karena beliau betapapun tinggi derajat dan kedudukannya tetaplah
seorang makhluk yang tidak mampu menolak bahaya dan memberi manfaat tanpa izin
Allah. Allah SWT berfirman yang Artinya, : “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini
manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan
kamu itu adalah Tuhan yang Esa". (Q.S. Al-Kahfi : 110)

ASPEK-ASPEK YANG SAMA ANTARA STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ
TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KESUCIAN ALLAH

Banyak orang keliru dalam memahami sebagian aspek-aspek yang sama antara status
Khaliq dan makhluq. Mereka menganggap bahwa menisbatkan aspek-aspek di atas
kepada status makhluk adalah menyekutukan Allah. Diantara aspek-aspek di atas adalah
seperti sifat-sifat khusus kenabian yang salah dipahami oleh sebagaian orang dan
menganalogikannya dengan analogi kemanusiaan. Karena itu mereka menilai terlalu
berlebihan bila aspek-aspek tersebut disandarkan kepada Rasulullah. Mereka menilai
bahwa menisbatkan aspek-aspek itu kepada Rasulullah berarti mensifati beliau dengan
sebagian sifat-sifat ketuhanan.

Pandangan ini adalah sebuah kebodohan murni. Karena Allah SWT bebas memberi siapa
saja dan sesuai kehendak-Nya tanpa ada tekanan yang mengharuskan. Tapi semata-mata
karunia-Nya kepada orang yang hendak Dia mulyakan, Dia tinggikan derajat dan hendak
ditonjolkan kelebihannya atas orang lain. Hal ini bukan berarti melepas hak-hak dan
sifat-sifat ketuhanan. Hak-hak sifat-sifat ketuhanan tetap terpelihara sesuai dengan
kedudukan Allah SWT. Jika ada makhluk yang memiliki salah satu dari hak atau sifat
ketuhanan maka harus disesuaikan dengan kondisi kemanusiaan, yaitu harus terbatasi dan
diperoleh lewat izin, anugerah, dan kehendak Allah.

Bukan karena kekuatan makhluk, rencana dan perintahnya. Karena manusia adalah
makhluk lemah yang tidak mampu menimpakan bahaya, memberi manfaat, kematian ,
kehidupan dan kebangkitan dari kubur untuk dirinya  sendiri. Banyak hal-hal yang dalil
yang menunjukkanya sebagai hak Allah, namun Allah SWT memberikannya kepada
Nabi SAW dan orang lain. Berangkat dari penjelasan  di atas, pensifatan Nabi SAW
dengan hal-hal di atas tidak meninggikannya sampai  ke derajat ketuhanan atau
menjadikan beliau sebagai sekutu bagi Allah SWT.Di antara aspek-aspek di atas adalah : 

Syafaat,
Syafaat adalah milik Allah. Allah berfirman yang Artinya : “Katakanlah: Hanya
kepunyaan Allah syafaat itu semuanya." (Q.S. Az-Zumar : 44), Namun syafaat juga
dimiliki oleh Rasul SAW dan orang lain atas kehendak Allah seperti terdapat dalam
sebuah hadits : 

"Saya dikaruniai syafaat”, kemudian :

“Saya adalah orang pertama yang memberi syafaat dan diterima syafaatnya."
 

11. MAFAHIM

Menyangkut keutuhan jasad para Nabi ,  Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi menyusun
sebuah risalah khusus menyangkut hal tersebut yang  berjudul  ‘Inbaa’ul Adzkiyaa’ bi
Hayaatil Anbiyaa’. 

Dari ibnu Mas’ud Rasulullah SAW bersabda :

“Hidupku lebih baik buat kalian. Kalian berbicara dan saya berbicara kepada kalian.
Dan jika saya meninggal dunia maka kewafatanku lebih baik buat kalian. Amal
perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku melihat amal baik aku memuji Allah
dan jika aku melihat amal buruk aku beristighfar buat kalian”. 
Al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh  Al-Bazzaar dan para perawinya
sesuai dengan standar perawi hadits shahih.

Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW, beliau berkata :
“Tidak ada seorangpun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan
nyawaku hingga aku membalas salamnya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Sebagian
ulama menafsirkannya dengan mengembalikan kemampuan berbicara beliau.

Dari ‘Ammar ibn Yaasir, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah SWT mewakilkan seorang malaikat yang diberi Allah nama semua
makhluk pada kuburanku. Maka tidak ada seorang pun  hingga hari kiamat yang
menyampaikan shalawat untukku kecuali malaikat itu menyampaikan kepadaku namanya
dan nama ayahnya ; ini adalah si fulan anak si fulan yang telah menyampaikan shalawat
untukmu”. HR. Al-Bazzaar dan Abu al-Syaikh ibn Hibban yang redaksinya : Rasulullah
SAW bersabda :


“Sesungguhnya ada malaikat Allah yang telah diberi semua nama makhluk oleh Allah. Ia
berdiri di atas kuburanku jika aku meninggal. Maka  tidak ada seorang pun yang
menyampaikan shalawat kepadaku kecuali si malaikat  berkata, “Wahai Muhammad!
fulan bin fulan telah menyampaikan shalawat untukmu”.  Rasulullah berkata, “Rabb
Tabaraka wa Ta’ala merahmatinya. Untuk satu shalawat dibalas 10 rahmat”. Dalam Al-
Kabiir At-Thabaraani meriwayatkan hadits seperti ini.
 
Meskipun Rasulullah SAW telah wafat namun keutamaan, kedudukan dan derajatnya di
sisi Allah tetap abadi. Mereka yang beriman tidak akan ragu akan fakta ini. Karena itu,
bertawassul kepada Nabi Muhammad SAW pada dasarnya  kembali kepada keyakinan
keberadaan hal-hal di muka dan meyakini beliau dicintai dan dimuliakan Allah serta

10. MAFAHIM

-  Ucapan Penduduk Aikah kepada Nabi mereka Syu’aib dalam kisah yang diceritakan
Allah tentang mereka yang artinya : “Mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah
salah seorang dari orang-orang yang kena sihir. Dan kamu tidak lain melainkan
seorang manusia seperti Kami, dan Sesungguhnya Kami yakin bahwa kamu benar-
benar Termasuk orang-orang yang berdusta”. (Q.S. Asy-Syu’araa’ : 186).

-  Ucapan kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad SAW yang memandang beliau
semata-mata sebagai manusia dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka :
”Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-
pasar? mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu
memberikan peringatan bersama-sama dengan dia? (Q.S. Al-Furqaan : 7)

Nabi telah menginformasikan status dirinya dengan benar akan sifat-sifat luhur dan hal-
hal yang melampauai kebiasaan yang membuatnya berbeda dengan manusia lain. 
Sabda beliau dalam sebuah hadits shahih :

“Kedua mataku terpejam namun hatiku tetap terjaga”.


“Saya mampu melihat kalian dari belakangku sebagaimana melihatmu dari depan”.

"Saya dianugerahi pintu-pintu gudang dunia”.

Meskipun telah wafat, Rasulullah tetap hidup dalam  bentuk kehidupan  barzakh yang
sempurna. Beliau mampu mendengar perkataan, membalas salam dan shalawat orang
yang bershalawat sampai kepada beliau. Amal perbuatan ummat disampaikan kepada
beliau hingga beliau berbahagia atas perbuatan orang-orang yang baik dan beristighfar
terhadap orang-orang yang melakukan dosa. Allah juga mengharamkan bumi untuk
memakan jasadnya. Jasad Nabi terlindungi dari hal-hal yang bersifat merusak dan dari
apapun yang berada dalam tanah.

Dari Aus ibn Aus R.A , ia berkata , “Rasulullah SAW bersabda :

“Salah satu hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at ; di hari itu Adam
diciptakan dan wafat, Israfil meniup sangkakala dan matinya seluruh makhluk. Maka
perbanyaklah bershalawat untukku pada hari Jum’at.  Karena shalawat kalian
disampaikan kepadaku”. Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami sampai kepadamu
padahal tubuhmu telah hancur?”  tanya para sahabat. “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa
Jalla mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” Jawab Rasulullah. ( HR.
Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ibn Hibban dalam kitab shahihnya serta Al-Hakim
yang menilai hadits ini shahih ).