Dan
telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada
kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami Zakariya’ dari Ibnu
Asywa’ dari Amir dari Masruq dia berkata, “Aku berkata kepada Aisyah,
‘Lalu kita apakah firman Allah: ‘(Kemudian dia mendekat, lalu bertambah
dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung
busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada
hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan) ‘ (Qs. an-Najm:
8-10). Aisyah menjawab, ‘(Yang dimaksud ayat tersebut) adalah Jibril.
Dia mendatangi Rasulullah dalam bentuk seorang laki-laki, dan pada
kesempatan ini, dia mendatangi beliau dalam bentuknya yang sesungguhnya,
sehingga dia menutupi ufuk langit’.” (HR Muslim 260)
Dari
Masruq dia berkata, “Aku yang duduk bersandar dari tadi, maka aku mulai
duduk dengan baik, lalu aku berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin! Berilah aku
tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-buru, (dengarlah
kata-kataku
ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah berfirman: walaqad raaahu
bialufuqi almubiini (QS at Takwir [81]:23) dan Firman Allah lagi:
walaqad raaahu nazlatan ukhraa (QS An Najm 53]:13) Maka Aisyah menjawab,
‘Aku adalah orang yang pertama bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau
telah menjawab dengan bersabda: Yang dimaksud ‘dia’ dalam ayat itu
adalah Jibril (bukan Allah), “aku tidak pernah melihat Jibril dalam
bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia turun dari langit
dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara lagit dan
bumi.” (HR Muslim 259)
Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan
Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi), Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi
dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al
Muhith mengatakan: “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i)
dalam ayat tersebut (QS Al-Mulk [67]:16) adalah malaikat”. Ayat tersebut
tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit. Perkataan ‘man’ yaitu
‘siapa’ dalam ayat tadi berarti malaikat bukan berarti Allah berada dan
bertempat di langit.
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi
~rahimahullah mengatakan : “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man
fissama-i) dalam ayat tersebut adalah kekuasaan/kerajaan dan qudrat-Nya
(Shulthonihi wa qudratihi ) jadi yang di langit adalah kekuasaan dan
qudratnya (Shulthonihi wa qudratihi) bukan dzat Allah.
**>>>>>Berikut
penjelasan ulama yang sholeh dari kalangan keturunan cucu Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yakni Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki. Kami
kutipkan dari terjemahan kitab
beliau yang aslinya berjudul “Wa huwa bi al’ufuq al-a’la” diterjemahkan
oleh Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril
‘alaihissalam”
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun
dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai
naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa
antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu
termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik
dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan.
Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada
jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak
melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta
alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar
laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya,
ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan
ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi
Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan
oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila
anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi
Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah
untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau
adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan
dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan
sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk
mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq.
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah
bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara
Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang
diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala.
Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan
Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,”
artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka
kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa
alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya.
Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau
menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan
tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya
tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina
adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun
beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di
mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi
wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa
keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan
dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci
dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al
Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar
bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak
dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul
Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah
berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu”
Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?” Ia menjawab,
“Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam
lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam
kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau.
Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,”
sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau
dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar
gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa
yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam
lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang
berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan
para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi
atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak
antara Dia dengan mereka“.
Jadi,
Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang
hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia
mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang
tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang
nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi), Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al Muhith mengatakan: “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut (QS Al-Mulk [67]:16) adalah malaikat”. Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit. Perkataan ‘man’ yaitu ‘siapa’ dalam ayat tadi berarti malaikat bukan berarti Allah berada dan bertempat di langit.
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi ~rahimahullah mengatakan : “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah kekuasaan/kerajaan dan qudrat-Nya (Shulthonihi wa qudratihi ) jadi yang di langit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthonihi wa qudratihi) bukan dzat Allah.
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq.
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka“.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar