Minggu, 23 September 2012

PENGGUNAAN Hadist Jariyah dari Nabi SaW OLEH WAHABY sebagai tolak ukur dalam menetapkan bahwa Allah SWT "bersemayam" di atas Arasy

mereka yang selalu saja menggunakan Hadist Jariyah dari Nabi SaW ini sebagai tolak ukur dalam menetapkan bahwa Allah SWT "bersemayam" di atas Arasy......

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤ

ْمِنَةٌ. رواه مسلم.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit.” (HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064)

Imam Syafi’i berkata: “Aqidah yang saya yakini dan diyaikini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya yakni di atas langit-Nya. (Adab Syafi’i wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 93)

Ibnu Khuzaimah berkata: “Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya Ia istiwaa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya…”. (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Hakim di kitabnya Ma’rifah “Ulumul Hadits” hal : 84).

Ibnu Khuzaimah berkata setelah membawakan dua ayat Al Qur’an Surat Al Mulk ayat 16 dan 17 dalam kitabnya “At-Tauhid” hal : 115 :”Bukankah Ia telah memberitahukan kepada kita -wahai orang yang berakal- yaitu : apa yang ada di antara keduanya (QS. Al Mulk ayat 16 dan 17-pen) sesungguhnya Ia di atas langit”.

Firman Allah “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” (QS. Al Hadid: 4) menurut Ibnu Katsir ialah ilmu-Nya, pengawasan-Nya, penjagaan-Nya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy di langit. (Tafsir Qur’anil Azhim: 4/317)

Ibnu Mas’ud berkata: “Arsy itu di atas air dan Allah ‘Azza wa Jalla di atas ‘Arsy, Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”. (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Thabrani di kitabnya “Al-Mu’jam Kabir” no. 8987 dan lain-lain Imam. Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal. 103 berkata : sanadnya shahih)

Ibnu Abil Izzi al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) mengatakan: “Dalam hadits Mi’raj ini terdapat dalil tentang ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang mencermatinya”.(Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277)

Berkata Mujahid (seorang Tabi’in besar murid Ibnu Abbas). Artinya : “Ia istawaa (bersemayam) di atas “Arsy” maknanya : “Ia berada tinggi di atas “Arsy”
(Riwayat Imam Bukhari di sahihnya Juz 8 hal : 175)

>>>> dan ini jawaban sebagai pembanding atas bantahan mereka ....... :

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).

Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:

عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.

“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).

Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ

“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:

وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَان

“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:

وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ

“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”

Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda :

انت الظاهر فليس فوقك شيئ وانت الباطن فليس دونك شيئ
رواه المسلم

“Engkaulah adz-Dzohir yang tidak ada sesuatu-pun di atas-Mu, dan Engkaulah al-Baathin, yang tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu” (HR. Muslim)

Jadi, kalau tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya, maka itu artinya Allah Ta’aala tidak membutuhkan tempat dan arah.

Telah berkata pula salaf sholih dari kalangan Sahabat Nabi, Sayyidina ‘Ali Radhiyallaah ‘anhu:

ان الله خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته
رواه ابو منصور البغدادي فى الفرق بين الفرق

“Sesungguhnya Allah Ta’aala menciptakan ‘Arsy bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya sebagai tempat bagi dzat-Nya”
(Abu Manshur al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq)

Al-Hafizh Ibn al-Jawzi Rahimahullaah telah berkata di dalam kitabnya Daf’u Syibh at-Tasybih:

أن من وصف الله بالمكان والجهة فهو مشبه مجسم لله لا يعرف ما يجب للخالق

“Sesungguhnya orang-orang yang menyifatkan Allah dengan tempat dan arah, maka sesungguhnya dia termasuk Musyabbih dan Mujassim yang tidak mengerti sifat Allah”

al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata di dalam Fath al-Bari:
ان المشبهة المجسمة لله تعالى هم الذين وصفوا الله بالمكان والله منزه عنه

“Sesungguhnya kaum Musyabbihah mujassimah itu adalah mereka yang menyifati Allah dengan tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat.”

Pendapat abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullaah di dalam kitabnya al-Ibanah ‘an ushul ad-diyanah:

“Dan sesungguhnya Allah istiwa’ atas ‘arsy sebagaimana yang Dia firmankan, dan dengan makna yang Dia inginkan. Istiwa yang bersih dari arti menyentuh, menetap, bertempat, diam dan pindah. ‘Arsy tidak membawa-Nya, melainkan ‘arsy (yang dibawa). ‘Arsy dibawa maksudnya tercakup dalam kelembutan kuasa-Nya, serta tunduk dalam genggaman-Nya. Dia di atas (tidak menyentuh ‘arsy), bahkan di atas segala sesuatu hingga gugusan bintang tata surya sekalipun. “Di atas” yang tidak membuat-Nya tambah dekat ke arsy dan langit, melainkan Dia sangat tinggi derajat-Nya dari ‘arsy sebagaimana Dia sangat tinggi derajat-Nya dari tata surya, dan Dia dengan itu dekat dari segala yang ada. Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya dan menyaksikan segala sesuatu”

Dari kalimat-kalimat beliau rahimahullaah dapat disimpulkan beliau tidak mengitsbatkan arah atas dalam makna zohir, akan tetapi beliau rahimahullaah mena’wilkannya kepada “tinggi derajat-Nya”.

قال الإمام ابو الحسن الأشعري: ان الله لا مكان له
رواه البيهقي فى الأسماء والصفات

Al Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam al-Asmaa’ wa ash-shifat)

Syech Abdul Qadir al-jailani Qaddsallaah sirrahu berkata di dalam kitabnya Sirr al-asrar di pasal “al Fashl ar-rabi’ fi bayaani ‘adad al-’ilm” :
Beliau menyatakan bahwasanya “Tafsir itu diperuntukkan bagi kalangan ‘awwaam, sedangkan ta’wil diperuntukkan bagi kalangan khowwash”

maksudnya tafsir atas Istawa tersebut diperuntukkan bagi kalangan yang awam akan ilmu Agama, sedangkan mereka yang paham akan makna serta tafsirnya / ta'wilnya maka diperuntukkan bagi kalangan khowwash.... spt contoh dibawah ini ketika Imam Bukhari men-ta'wil salah satu ayat :

al-Imam al-Bukhari mengatakan:

بَابُ – كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ

“Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya, artinya Kekuasaan-Nya.”

kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya kekuasaan-Nya. ini artinya, al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat ini.

semoga bermanfaat .........

2 komentar:

  1. قال الإمام ابو الحسن الأشعري: ان الله لا مكان له
    رواه البيهقي فى الأسماء والصفات
    Al Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam al-Asmaa’ wa ash-shifat)

    yang benar begini bro.............

    perkataan Abdullah bin Sa’iid Al-Qottoon sebagaimana dinukil oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dalam kitabnya [ maqoolaat Al-Islamiyiin 1/351 ]
    Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata, “Dan Abdullah bin Sa’iin menyangka bahwasanya Al-Baari (Allah) di zaman azali tanpa ada tempat dan zaman sebelum penciptaan makhluk, dan Allah senantiasa berada di atas kondisi tersebut, dan bahwasanya Allah beristiwaa’ di atas ‘arsyNya sebagaimana firmanNya, dan bahwasanya Allah berada di atas segala sesuatu”

    8. Sebagai pemungkas untuk orang-orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam Abu hasan Asy’ari. Di sini kami sebutkan bantahan beliau terhadap orang yang mentakwil lafaz (استوى) dengan makna (استولى) dalam kitab munumental beliau “Al Ibaanah“[Lihat: ‘Al Ibaanah”, hal: 98-99.]: “Sesungguhnya orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyah dan Haruriyah berpendapat bahwa firman Allah: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه/5]
    “Tuhan Yang Maha Pemurah beristiwaa’ di atas ‘Arsy“.

    “Asumsi orang-orang Mu’tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah bahwa zat Allah berada disetiap tempat, melazimkan Allah berada dalam perut Maryam, tempat buang kotoran dan tempat buang hajat, hal ini adalah bertentangan dengan agama”, dan juga asumsi Allah ada tanpa tempat tanpa arah.
    Hal ini juga melazimkan Allah berada diantara diantara langit dan bumi, diantara dua langit dan diantara dua lapis bumi, ini senua merupakan kemustahilan dan saling bertentangan”.
    Demikian bantahan Imam Abu Hasan Asy’ary secara ringkas. Semoga orang-orang Asyaa’irah yang mengaku sebagai pengikut beliau mau menerima keyakinan imam mereka dan meninggalkan keyakinan orang-orang Mu’Tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah. [ Baca kitab : Aqoowiil Ats Tsiqqoot karangan Al karmy, hal: 124.]

    BalasHapus
  2. Muhammad bin Isma’il Al Bukhari [hidup dari tahun 194-256 H].
    قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إسماعيل في آخر الجامع الصحيح في كتاب الرد على الجهمية باب قوله تعالى وكان عرشه على الماء قال أبو العالية استوى إلى السماء إرتفع وقال مجاهد في استوى علا على العرش وقالت زينب أم المؤمنين رضي الله عنها زوجني الله من فوق سبع سموات
    Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari berkata dalam akhir Al Jaami’ Ash Shohih dalam kitab bantahan kepada Jahmiyah, beliau membawakan Bab firman Allah Ta’ala,
    وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
    “Dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air.” (QS. Hud : 7).
    Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’ adalah naik. Mujahid mengatakan bahwa istiwa’ adalah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Zainab Ummul Mukminin mengatakan, “Allah yang berada di atas langit ketujuh yang telah menikahkanku.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202].

    Imam Abul Hasan Al-’Asy’ari rahimahullah [lahir tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H].
    Beliau berkata dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr:
    Ijmak kesembilan :
    Dan mereka (para salaf) berkonsensus (ijmak) … bahwasanya Allah ta’aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman Allah,
    أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ
    Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk : 16).
    Dan Allah berfirman
    إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
    kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir : 10).
    Dan Allah berfirman
    الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏
    “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5).
    Dan bukanlah istiwaa’nya di atas arsy maknanya istiilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh qodariah (Mu’tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu. Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya,
    وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
    Dia bersama kamu dimana saja kamu berada (QS Al-Hadiid : 4).
    Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta’wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja mereka berada” [Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234].

    BalasHapus