Selasa, 11 September 2012

APAKAH TASHAWWUF ITU...

Tasawuf adalah jalan untuk mencapai muslim yang ihsan

Firman Allah ta’ala yang artinya,
Inilah ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi muhsinin (muslim yang ihsan), (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Lukman [31]:2-5)
”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.  (QS Shaad [38]:46-47)
Masih saja mereka memperolok-olok kaum sufi, kaum yang mengamalkan tasawuf.
Al Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitami berkata : “ Berhati-hatilah kamu dari menentang para ulama shufi. Dan sebaiknya bagi manusia sebisa mungkin untuk tidak menentang para ulama shufi, semoga Allah memberi manfaat kepada kita dengan ma’rifat-ma’rifat mereka dan melimpahkan apa yang Allah limpahkan kepada orang-orang khususnya dengan perantara kecintaan kami pada mereka, menetapkan kita pada jalan pengikut mereka dan mencurahkan kita curahan-curahan ilmu ma’rifat mereka. Hendaknya manusia menyerahkan apa yang mereka lihat dari keadaan para ulama shufi dengan kemungkinan-kemungkinan baik yang dapat mengeluarkan mereka dari melakukan perbuatan haram. Kami sungguh telah menyaksikan orang yang sangat menentang ulama shufi, mereka para penentang itu mendapatkan ujian dari Allah dengan pencabutan derajatnya, dan Allah menghilangkan curahan kelembutan-Nya dan rahasia-rahasia kehadiran-Nya. Kemudian Allah menimpakan para penentang itu dengan kehinaan dan kerendahan dan mengembalikan mereka pada derajat terendah. Allah telah menguji mereka dengan semua penyakit dan cobaan . Maka kami berlindung kepada-Mu ya Allah dari hantaman-hantaman yang kami tidak sanggup menahannya dan dari tuduhan-tuduhan yang membinasakan. Dan kami memohon agar Engkau menetapi kami jalan mereka yang kuat, dan Engkau anugerahkan kami  apa yang telah Engkau anugerahkan pada mereka sehingga kami menjadi orang yang mengenal Allah dan imam yang mujtahid, sesungguhnya Engkau Maha Mampu atas segala sesuatu dan Maha Layak untuk mengabulkan permohonan “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 113, karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS Al Luqman [31]:6).
Mereka yang memperolok-olok kaum sufi adalah hasil pengajaran para ulama korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi
Salah satu contoh penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf.
Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.
Pada hakikatnya upaya kaum Zionis Yahudi menjauhkan kaum muslim dari tasawuf adalah dalam rangka merusak akhlak kaum muslim sebagaimana mereka menyebarluaskan pornografi, gaya hidup bebas, liberalisme, sekulerisme, pluralisme, hedonisme dan lain lain.
Contoh cara menghasut adalah mereka memotong perkataan-perkataan ulama yang sholeh dan menempatkan bukan pada tempatnya atau menyembunyikan maksud tujuan perkataan tersebut
Contoh hasutan,  mereka menyampaikan bahwa Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya sampai Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.”
Perkataan Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tersebut bersumber dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi.
Di dalam kitab itu, Imam As Syafi’i menyatakan, “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi kekurangan akal (dungu).” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Beliau juga menyatakan,”Aku tidak mengetahui seorang sufi yang berakal, kecuali ia seorang Muslim yang khawwas.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Dari potongan-potongan perkataan tersebut dapat disimpulkan bahwa Imam As Syafi’i mencela seluruh penganut sufi.
Padahal tidaklah demikian, Imam As Syafi’i hanya mencela mereka yang menisbatkan kepada tasawuf namun tidak benar-benar mengamalkan tasawuf.
Dalam kitab yang sama, Imam Al Baihaqi menjelaskan,”Dan sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)
Jelas, dari penjelasan Imam Al Baihaqi di atas, yang dicela Imam As Syafi’i adalah para sufi yang hanya sebatas pengakuan dan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya.
Imam As Syafi’i juga menyatakan,”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut,”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).
Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena perilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)
Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini.
Selain itu, silahkan periksa kurikulum atau silabus tentang tasawuf di perguruan tinggi Islam, pastilah tasawuf adalah jalan untuk mencapai muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh)
Silahkan periksa pula struktur organisasi mufti Kerajaan Negeri Sembilan, Malaysia ada bagian yang menangani tarekat tasawwuf http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/01/sto-mufti-negeri-sembilan.png
Berikut adalah hadits yag menjadi landasan utama dari tasawuf dalam Islam
Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)
Tasawuf hanyalah sebuah istilah. Agama Islam terdiri dari 3 pokok sebagaimana yang disampaikan malaikat Jibril a.s dan kita ketahui dari  hadits di atas yakni tentang Iman , tentang Islam dan tentang Ihsan
Tentang Iman atau aqidah, kita dapat temui pada ushuluddin atau i’tiqod
Tentang Islam atau syariat atau hukum-hukum dalam Islam, kita dapat temui pada fiqih
Tentang Ihsan atau akhlak, kita dapat temui pada tasawuf
Peranan dan pentingnya tasawuf dapat dibaca uraian seorang Dosen Tasawuf yang termuat dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Contoh akibat tidak mendapatkan pengetahuan tasawuf sehingga tidak dapat meng-ihsan-kan dirinya dapat kita ketahui dari perilaku mereka yang sama-sama mengaku-aku mengikuti Salafush Sholeh dari link-link berikut
http://semogakamiselamat.wordpress.com/2011/11/07/point-point-kesesatan-para-penyembah-thogut-radio-rodja/
http://www.darussalaf.or.id/stories.php?catid=16
http://ad-diin.blogspot.com/2012/01/untukmu-yang-masih-bertanya-tentang.html
http://www.salafybpp.com/categoryblog/97-dusta-firanda-ditengah-badai-fitnah-yang-sedang-melanda-bag1.html
http://firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/144-tanggapan-terhadap-tulisan-seorang-ustadz-hafizohullah-http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1706
http://www.youtube.com/watch?v=m3h1jEQFNhI
http://www.youtube.com/watch?v=CNrEijcGSK
http://isnad.net/media/Muhammad_Sewed_di_Gugat.pdf
http://isnad.net/?dl_name=kumal-kumal-dzul-akmal.pdf
http://isnad.net/media/Muhammad_Sewed_di_Gugat.pdf
http://isnad.net/dialog-luqman-hizbi-firanda-sururi
http://isnad.net/?dl_name=dzulqornain_yayasan.rar
http://isnad.net/media/dzul-akmal-undercover.pdf
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa muslim yang ihsan adalah  muslim yang meyakini dalam pengawasan Allah Azza wa Jalla atau yang terbaik adalah muslim yang bermakrifat, melihat Allah Azza wa Jalla dengan hatinya (ain bashiroh)
Muslim yang menyakini dalam pengawasan Allah Azza wa Jalla atau muslim yang bermakrifat, melihat Allah dengan hatinya (ain bashiroh) maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, mencegah dirinya dari perbuatan maksiat, mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah. Inilah tujuan Rasulullah diutus oleh Allah ta’ala
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Tujuan beragama adalah merupakan upaya meneladani akhlak manusia yang paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak (berakhlak tidak baik).
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“
Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi).
Muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan  adalah indikator muslim yang mentaati Allah dan RasulNya, muslim yang telah meraih maqom disisiNya, muslim yang telah diberi ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla sehingga selalu berada dalam kebenaran, selalu berada pada jalan yang lurus. Hanya 4 golongan manusia yang meraih maqom disisiNya yakni para Nabi (Rasulullah yang utama), para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh
Firman Allah ta’ala yang artinya,
Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik untuk bukan Nabi dan meraih maqom disisiNya sehingga menjadi kekasih Allah (wali Allah) dengan mencapai shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Rasulullah bersabda yang artinya “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Tidak ada komentar:

Posting Komentar