Minggu, 23 September 2012
PENGGUNAAN Hadist Jariyah dari Nabi SaW OLEH WAHABY sebagai tolak ukur dalam menetapkan bahwa Allah SWT "bersemayam" di atas Arasy
mereka yang selalu saja menggunakan Hadist
Jariyah dari Nabi SaW ini sebagai tolak ukur dalam menetapkan bahwa
Allah SWT "bersemayam" di atas Arasy......
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤ
ْمِنَةٌ. رواه مسلم.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit.” (HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064)
Imam Syafi’i berkata: “Aqidah yang saya yakini dan diyaikini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya yakni di atas langit-Nya. (Adab Syafi’i wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 93)
Ibnu Khuzaimah berkata: “Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya Ia istiwaa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya…”. (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Hakim di kitabnya Ma’rifah “Ulumul Hadits” hal : 84).
Ibnu Khuzaimah berkata setelah membawakan dua ayat Al Qur’an Surat Al Mulk ayat 16 dan 17 dalam kitabnya “At-Tauhid” hal : 115 :”Bukankah Ia telah memberitahukan kepada kita -wahai orang yang berakal- yaitu : apa yang ada di antara keduanya (QS. Al Mulk ayat 16 dan 17-pen) sesungguhnya Ia di atas langit”.
Firman Allah “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” (QS. Al Hadid: 4) menurut Ibnu Katsir ialah ilmu-Nya, pengawasan-Nya, penjagaan-Nya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy di langit. (Tafsir Qur’anil Azhim: 4/317)
Ibnu Mas’ud berkata: “Arsy itu di atas air dan Allah ‘Azza wa Jalla di atas ‘Arsy, Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”. (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Thabrani di kitabnya “Al-Mu’jam Kabir” no. 8987 dan lain-lain Imam. Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal. 103 berkata : sanadnya shahih)
Ibnu Abil Izzi al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) mengatakan: “Dalam hadits Mi’raj ini terdapat dalil tentang ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang mencermatinya”.(Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277)
Berkata Mujahid (seorang Tabi’in besar murid Ibnu Abbas). Artinya : “Ia istawaa (bersemayam) di atas “Arsy” maknanya : “Ia berada tinggi di atas “Arsy”
(Riwayat Imam Bukhari di sahihnya Juz 8 hal : 175)
>>>> dan ini jawaban sebagai pembanding atas bantahan mereka ....... :
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).
Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَان
“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda :
انت الظاهر فليس فوقك شيئ وانت الباطن فليس دونك شيئ
رواه المسلم
“Engkaulah adz-Dzohir yang tidak ada sesuatu-pun di atas-Mu, dan Engkaulah al-Baathin, yang tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu” (HR. Muslim)
Jadi, kalau tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya, maka itu artinya Allah Ta’aala tidak membutuhkan tempat dan arah.
Telah berkata pula salaf sholih dari kalangan Sahabat Nabi, Sayyidina ‘Ali Radhiyallaah ‘anhu:
ان الله خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته
رواه ابو منصور البغدادي فى الفرق بين الفرق
“Sesungguhnya Allah Ta’aala menciptakan ‘Arsy bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya sebagai tempat bagi dzat-Nya”
(Abu Manshur al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq)
Al-Hafizh Ibn al-Jawzi Rahimahullaah telah berkata di dalam kitabnya Daf’u Syibh at-Tasybih:
أن من وصف الله بالمكان والجهة فهو مشبه مجسم لله لا يعرف ما يجب للخالق
“Sesungguhnya orang-orang yang menyifatkan Allah dengan tempat dan arah, maka sesungguhnya dia termasuk Musyabbih dan Mujassim yang tidak mengerti sifat Allah”
al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata di dalam Fath al-Bari:
ان المشبهة المجسمة لله تعالى هم الذين وصفوا الله بالمكان والله منزه عنه
“Sesungguhnya kaum Musyabbihah mujassimah itu adalah mereka yang menyifati Allah dengan tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat.”
Pendapat abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullaah di dalam kitabnya al-Ibanah ‘an ushul ad-diyanah:
“Dan sesungguhnya Allah istiwa’ atas ‘arsy sebagaimana yang Dia firmankan, dan dengan makna yang Dia inginkan. Istiwa yang bersih dari arti menyentuh, menetap, bertempat, diam dan pindah. ‘Arsy tidak membawa-Nya, melainkan ‘arsy (yang dibawa). ‘Arsy dibawa maksudnya tercakup dalam kelembutan kuasa-Nya, serta tunduk dalam genggaman-Nya. Dia di atas (tidak menyentuh ‘arsy), bahkan di atas segala sesuatu hingga gugusan bintang tata surya sekalipun. “Di atas” yang tidak membuat-Nya tambah dekat ke arsy dan langit, melainkan Dia sangat tinggi derajat-Nya dari ‘arsy sebagaimana Dia sangat tinggi derajat-Nya dari tata surya, dan Dia dengan itu dekat dari segala yang ada. Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya dan menyaksikan segala sesuatu”
Dari kalimat-kalimat beliau rahimahullaah dapat disimpulkan beliau tidak mengitsbatkan arah atas dalam makna zohir, akan tetapi beliau rahimahullaah mena’wilkannya kepada “tinggi derajat-Nya”.
قال الإمام ابو الحسن الأشعري: ان الله لا مكان له
رواه البيهقي فى الأسماء والصفات
Al Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam al-Asmaa’ wa ash-shifat)
Syech Abdul Qadir al-jailani Qaddsallaah sirrahu berkata di dalam kitabnya Sirr al-asrar di pasal “al Fashl ar-rabi’ fi bayaani ‘adad al-’ilm” :
Beliau menyatakan bahwasanya “Tafsir itu diperuntukkan bagi kalangan ‘awwaam, sedangkan ta’wil diperuntukkan bagi kalangan khowwash”
maksudnya tafsir atas Istawa tersebut diperuntukkan bagi kalangan yang awam akan ilmu Agama, sedangkan mereka yang paham akan makna serta tafsirnya / ta'wilnya maka diperuntukkan bagi kalangan khowwash.... spt contoh dibawah ini ketika Imam Bukhari men-ta'wil salah satu ayat :
al-Imam al-Bukhari mengatakan:
بَابُ – كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ
“Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya, artinya Kekuasaan-Nya.”
kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya kekuasaan-Nya. ini artinya, al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat ini.
semoga bermanfaat .........
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit.” (HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064)
Imam Syafi’i berkata: “Aqidah yang saya yakini dan diyaikini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya yakni di atas langit-Nya. (Adab Syafi’i wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 93)
Ibnu Khuzaimah berkata: “Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya Ia istiwaa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya…”. (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Hakim di kitabnya Ma’rifah “Ulumul Hadits” hal : 84).
Ibnu Khuzaimah berkata setelah membawakan dua ayat Al Qur’an Surat Al Mulk ayat 16 dan 17 dalam kitabnya “At-Tauhid” hal : 115 :”Bukankah Ia telah memberitahukan kepada kita -wahai orang yang berakal- yaitu : apa yang ada di antara keduanya (QS. Al Mulk ayat 16 dan 17-pen) sesungguhnya Ia di atas langit”.
Firman Allah “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” (QS. Al Hadid: 4) menurut Ibnu Katsir ialah ilmu-Nya, pengawasan-Nya, penjagaan-Nya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy di langit. (Tafsir Qur’anil Azhim: 4/317)
Ibnu Mas’ud berkata: “Arsy itu di atas air dan Allah ‘Azza wa Jalla di atas ‘Arsy, Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”. (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Thabrani di kitabnya “Al-Mu’jam Kabir” no. 8987 dan lain-lain Imam. Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal. 103 berkata : sanadnya shahih)
Ibnu Abil Izzi al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) mengatakan: “Dalam hadits Mi’raj ini terdapat dalil tentang ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang mencermatinya”.(Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277)
Berkata Mujahid (seorang Tabi’in besar murid Ibnu Abbas). Artinya : “Ia istawaa (bersemayam) di atas “Arsy” maknanya : “Ia berada tinggi di atas “Arsy”
(Riwayat Imam Bukhari di sahihnya Juz 8 hal : 175)
>>>> dan ini jawaban sebagai pembanding atas bantahan mereka ....... :
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).
Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَان
“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda :
انت الظاهر فليس فوقك شيئ وانت الباطن فليس دونك شيئ
رواه المسلم
“Engkaulah adz-Dzohir yang tidak ada sesuatu-pun di atas-Mu, dan Engkaulah al-Baathin, yang tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu” (HR. Muslim)
Jadi, kalau tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya, maka itu artinya Allah Ta’aala tidak membutuhkan tempat dan arah.
Telah berkata pula salaf sholih dari kalangan Sahabat Nabi, Sayyidina ‘Ali Radhiyallaah ‘anhu:
ان الله خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته
رواه ابو منصور البغدادي فى الفرق بين الفرق
“Sesungguhnya Allah Ta’aala menciptakan ‘Arsy bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya sebagai tempat bagi dzat-Nya”
(Abu Manshur al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq)
Al-Hafizh Ibn al-Jawzi Rahimahullaah telah berkata di dalam kitabnya Daf’u Syibh at-Tasybih:
أن من وصف الله بالمكان والجهة فهو مشبه مجسم لله لا يعرف ما يجب للخالق
“Sesungguhnya orang-orang yang menyifatkan Allah dengan tempat dan arah, maka sesungguhnya dia termasuk Musyabbih dan Mujassim yang tidak mengerti sifat Allah”
al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata di dalam Fath al-Bari:
ان المشبهة المجسمة لله تعالى هم الذين وصفوا الله بالمكان والله منزه عنه
“Sesungguhnya kaum Musyabbihah mujassimah itu adalah mereka yang menyifati Allah dengan tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat.”
Pendapat abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullaah di dalam kitabnya al-Ibanah ‘an ushul ad-diyanah:
“Dan sesungguhnya Allah istiwa’ atas ‘arsy sebagaimana yang Dia firmankan, dan dengan makna yang Dia inginkan. Istiwa yang bersih dari arti menyentuh, menetap, bertempat, diam dan pindah. ‘Arsy tidak membawa-Nya, melainkan ‘arsy (yang dibawa). ‘Arsy dibawa maksudnya tercakup dalam kelembutan kuasa-Nya, serta tunduk dalam genggaman-Nya. Dia di atas (tidak menyentuh ‘arsy), bahkan di atas segala sesuatu hingga gugusan bintang tata surya sekalipun. “Di atas” yang tidak membuat-Nya tambah dekat ke arsy dan langit, melainkan Dia sangat tinggi derajat-Nya dari ‘arsy sebagaimana Dia sangat tinggi derajat-Nya dari tata surya, dan Dia dengan itu dekat dari segala yang ada. Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya dan menyaksikan segala sesuatu”
Dari kalimat-kalimat beliau rahimahullaah dapat disimpulkan beliau tidak mengitsbatkan arah atas dalam makna zohir, akan tetapi beliau rahimahullaah mena’wilkannya kepada “tinggi derajat-Nya”.
قال الإمام ابو الحسن الأشعري: ان الله لا مكان له
رواه البيهقي فى الأسماء والصفات
Al Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam al-Asmaa’ wa ash-shifat)
Syech Abdul Qadir al-jailani Qaddsallaah sirrahu berkata di dalam kitabnya Sirr al-asrar di pasal “al Fashl ar-rabi’ fi bayaani ‘adad al-’ilm” :
Beliau menyatakan bahwasanya “Tafsir itu diperuntukkan bagi kalangan ‘awwaam, sedangkan ta’wil diperuntukkan bagi kalangan khowwash”
maksudnya tafsir atas Istawa tersebut diperuntukkan bagi kalangan yang awam akan ilmu Agama, sedangkan mereka yang paham akan makna serta tafsirnya / ta'wilnya maka diperuntukkan bagi kalangan khowwash.... spt contoh dibawah ini ketika Imam Bukhari men-ta'wil salah satu ayat :
al-Imam al-Bukhari mengatakan:
بَابُ – كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ
“Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya, artinya Kekuasaan-Nya.”
kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya kekuasaan-Nya. ini artinya, al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat ini.
semoga bermanfaat .........
I'TIQOD / AQIDAH ASWAJA
Dalam
masalah i'tiqod atau ushuluddin kita tinggal mengikuti Imam Asy’ari
(bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) dan
para pengikutnya.
Dalam masalah i’tiqod di antara mazhab yang
empat tidak ada perbedaan karena i’tiqod bukanlah masalah yang bersifat
furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus
kekufuran dalam i’tiqod.
20 sifat wajib ada bagi Allah ta’ala adalah dasar bagi kaum muslim untuk mengenal Allah (ma'rifatullah).
Salah satu kegunaannya adalah agar tidak salah dalam memahami ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah
Aqidah Ilahiyyah terdiri dari 41 sifat, yaitu:
a. 20 sifat yang wajib bagi Allah swt: wujud (وجود), qidam (قدم), baqa
(بقاء), mukhalafah lil hawaditsi (مخالفة للحوادث), qiyamuhu bin nafsi
(قيامه بالنفس), wahdaniyyat (وحدانية), qudrat (قدرة), iradat (ارادة),
ilmu (علم), hayat (حياة), sama’ (سمع), bashar (بصر), kalam (كلام),
kaunuhu qadiran (كونه قديرا), kaunuhu muridan (كونه مريدا), kaunuhu
‘aliman (كونه عليما), kaunuhu hayyan (كونه حيا), kaunuhu sami’an (كونه
سميعا), kaunuhu bashiran (كونه بصيرا), dan kaunuhu mutakalliman (كونه
متكلما).
b. 20 sifat yang mustahil bagi Allah swt: ‘adam (tidak
ada), huduts (baru), fana’ (rusak), mumatsalah lil hawaditsi
(menyerupai makhluk), ‘adamul qiyam bin nafsi (tidak berdiri sendiri),
ta’addud (berbilang), ‘ajzu (lemah atau tidak mampu), karohah
(terpaksa), jahlun (bodoh), maut, shamam (tuli), ‘ama (buta), bukmun
(gagu), kaunuhu ‘ajizan, kaunuhu karihan, kaunuhu jahilan (كونه جاهلا),
kaunuhu mayyitan (كونه ميتا), kaunuhu ashamma (كونه أصم), kaunuhu a’ma
(كونه أعمى), dan kaunuhu abkam (كونه أبكم).
c. 1 sifat yang ja’iz bagi Allah swt.
I. DALIL-DALIL SIFAT WAJIB BAGI ALLAH SWT:
1. Dalil sifat Wujud (Maha Ada): QS Thaha ayat 14, QS Ar-Rum ayat 8, dsb.
2. Dalil sifat Qidam (Maha Dahulu): QS Al-Hadid ayat 3.
3. Dalil sifat Baqa (Maha Kekal): QS Ar-Rahman ayat 27, QS Al-Qashash ayat 88.
4. Dalil sifat Mukhalafah lil Hawaditsi (Maha Berbeda dengan Makhluk): QS Asy-Syura ayat 11, QS Al-Ikhlas ayat 4.
5. Dalil sifat Qiyamuhu bin Nafsi (Maha Berdiri Sendiri): QS Thaha ayat 111, QS Fathir ayat 15.
6. Dalil sifat Wahdaniyyat (Maha Tunggal / Esa): QS Az-Zumar ayat 4, QS
Al-Baqarah ayat 163, QS Al-Anbiya’ ayat 22, QS Al-Mukminun ayat 91, dan
QS Al-Isra’ ayat 42-43.
7. Dalil sifat Qudrat (Maha Kuasa): QS An-Nur ayat 45, QS Fathir ayat 44.
8. Dalil sifat Iradat (Maha Berkehendak): QS An-Nahl ayat 40, QS
Al-Qashash ayat 68, QS Ali Imran ayat 26, QS Asy-Syura ayat 49-50.
9. Dalil sifat Ilmu (Maha Mengetahui): QS Al-Mujadalah ayat 7, QS At-Thalaq ayat 12, QS Al-An’am ayat 59, dan QS Qaf ayat 16.
10. Dalil sifat Hayat (Maha Hidup): QS Al-Furqan ayat 58, QS Ghafir ayat 65, dan QS Thaha 111.
11 & 12. Dalil sifat Sama’ (Maha Mendengar) dan Bashar (Maha Melihat): QS Al-Mujadalah ayat 1, QS Thaha ayat 43-46.
13. Dalil sifat Kalam (Maha Berfirman): QS An-Nisa ayat 164, QS Al-A’raf ayat 143, dan QS Asy-Syura ayat 51.
Dua puluh sifat yang wajib bagi Allah tersebut di atas dibagi kepada 4 bagian, yaitu:
1. Sifat Nafsiyyah. Artinya: Sifat yang tidak bisa difahami Dzat Allah
tanpa adanya sifat. Sifat Nafsiyyah ini hanya satu sifat, yaitu: sifat
wujud.
2. Sifat Salbiyyah. Artinya: Sifat yang tidak pantas
adanya di Dzat Allah swt. Sifat Salbiyyah ini jumlahnya ada lima sifat,
yaitu: Qidam, Baqa, Mukhalafah lil Hawaditsi, Qiyamuhu bin Nafsi, dan
Wahdaniyyah.
3. Sifat Ma’ani. Artinya: Sifat yang tetap dan
pantas di Dzat Allah dengan kesempurnaan-Nya. Sifat Ma’ani ini jumlahnya
ada tujuh sifat, yaitu: Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, dan
Kalam.
4. Sifat Ma’nawiyyah. Artinya: Sifat yang merupakan
cabang dari sifat Ma’ani. Sifat Ma’nawyyah ini jumlahnya ada tujuh
sifat, yaitu: Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu ‘Aliman, Kaunuhu
Hayyan, Kaunuhu Sami’an, Kaunuhu Bashiran, dan Kaunuhu Mutakalliman.
*****
II. DALIL-DALIL SIFAT JA’IZ BAGI ALLAH
a. QS Al-Qashash ayat 68
b. QS Al-Imran ayat 26
c. QS Al-Baqarah ayat 284
CATATAN PENTING:
Pokok-pokok Ilmu Tauhid (مبادئ علم التوحيد):
1. Definisi Ilmu Tauhid (حده):
Ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat Allah dan para rasul-Nya,
baik sifat-sifat yang wajib, mustahil maupun ja’iz, yang jumlah semuanya
ada 50 sifat. Sifat yang wajib bagi Allah ada 20 sifat dan sifat yang
mustahil ada 20 sifat serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. Begitupula
sifat yang wajib bagi para rasul ada 4 sifat (sidiq. tabligh, amanah,
dan fathanah) dan sifat yang mustahil ada 4 sifat (kidzb / bohong,
kitman / menyembunyikan, khianat, dan bodoh) serta sifat yang ja’iz ada 1
sifat. 50 sifat ini dinamakan “Aqidatul Khomsin / عقيدة الخمسين “.
Artinya: Lima puluh Aqidah.
2. Objek atau Sasaran Ilmu Tauhid (موضوعه): Dzat Allah dan sifat-sifat Allah.
3. Pelopor atau Pencipta Ilmu Tauhid (واضعاه): Imam Abul Hasan
Al-Asy’ari (260 H – 330 H / 873 M – 947 M ) dan Imam Abul Manshur
Al-Mathuridi ( 238 – 333 H / 852 – 944 M ).
4. Hukum Mempelajari Ilmu Tauhid (حكمه): Wajib ‘ain dengan dalil ijmali (global) dan wajib kifayah dengan dalil tafshili.
5. Nama Ilmu Tauhid (اسمه): Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Kalam dan Ilmu ‘Aqa’id.
6. Hubungan Ilmu Tauhid dengan Ilmu-ilmu lain (نسبته): Asal untuk ilmu-ilmu agama dan cabang untuk ilmu selainnya.
7. Masalah-masalah Ilmu Tauhid (مسائله): Sifat-sifat wajib, mustahil, dan ja’iz bagi Allah swt dan para Rasul-Nya.
8. Pengambilan Ilmu Tauhid (استمداده): Diambil dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan akal yang sehat.
9. Faedah Ilmu Tauhid (فائدته): Supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia.
10. Puncak Mempelajari Ilmu Tauhid (غايته): Memperoleh kebahagian, baik
di dunia maupun akherat dan mendapat ridha dari Allah swt serta
mendapat tempat di surga.
Jumat, 21 September 2012
Potongan firman Allah ta'ala yang disalahgunakan oleh wahaby
Potongan
firman Allah ta'ala yang disalahgunakan oleh kaum Zionis WAHABY untuk
menghasut atau melancarkan ghazwul fikri (perang pemahaman) agar kaum
muslim tidak mentaati sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
untuk mengikuti as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim) adalah yang
artinya
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang
di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah"
(QS Al An'Am [6]:116)
Padahal firmanNya selengkapnya adalah yang artinya
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah)" (QS Al An'Am [6]:116)
Jadi yang
dimaksud "kebanyakan orang-orang yang di muka bumi" adalah orang-orang
yang mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah)" dan dari asbabun nuzul ayat tersebut mereka
adalah yang menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan Allah dan
mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan Allah, menyatakan bahwa
Allah mempunyai anak.
Hadits yang disalahgunakan oleh kaum
Zionis Yahudi untuk menghasut atau melancarkan ghazwul fikri (perang
pemahaman) agar kaum muslim tidak mentaati sunnah Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam untuk mengikuti as-sawad al a’zham (mayoritas kaum
muslim) adalah
“Badaal islamu ghoriban wasaya’udu ghoriba kama bada’a fatuuba lil ghoroba“ ,
“Islam datang dalam keadaan asing dan akan akan kembali asing maka beruntunglah orang-orang yang asing itu”.. (Hr Ahmad)
Kalau asing ditengah-tengah orang kafir atau orang yang sesat, tentulah
hal yang benar namun asing ditengah-tengah as-sawad al a’zham
(mayoritas kaum muslim) maka itulah yang dimaksud keluar seperti anak
panah yang meluncur dari busurnya menjadi khawarij atau orang-orang
seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi An Najdi yang pemahamannya telah
keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al
a’zham). Khawarij adalah bentuk jamak (plural) d`ri kharij (bentuk isim
fail) artinya yang keluar
Orang-orang seperti Dzul
Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi , mereka membaca Al Qur`an dan
mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun
ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu
sekte/firqoh/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana,
bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka.
Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka
dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka
menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun
ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak
sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana
anak panah meluncur dari busurnya”. (HR Muslim 1773)
“Shalat
mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan” artinya sholat mereka
tidak sampai ke hati yakni sholatnya tidak mencegah dari perbuatan keji
dan mungkar sehingga mereka semakin jauh dari Allah ta’ala
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali
semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir
nomor 11025, 11/46)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Contohnya pada masa sekarang mereka yang pemahamannya telah keluar
(kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)
seperti pelaku bom atau pengrusakan masjid, pengrusakan kuburan kaum
muslim, pelaku bom bunuh diri di negeri yang dipenuhi kaum muslim dan
tidak pula dalam keadaan perang
Mereka bersikap radikalisme atau ekstremisme karena salah memahami firmanNya seperti yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di
sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan
ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS At
Taubah [9]:123)
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu,
maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka,
dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat
pengintaian”. (QS At Taubah [9]:5)
“Dan bunuhlah mereka di mana
saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah
mengusir kamu; dan fitnah” (QS Al Baqarah [2]:191)
Mereka
bersikap radikalisme atau ekstremisme dikarenakan pembagian tauhid
menjadi tiga (tauhid Rububiyyah, tauhid Uluhiyyah, tauhid Asma’ was
Shifaat) sehingga berkeyakinan bahwa kaum muslim pada umumnya (as-sawad
al a’zham) telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid
Mereka berakhlak buruk dapat ditimbulkan dari hasutan atau ghazwul
fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi bahwa
“Tuhan adalah jauh” bertentangan dengan firmanNya yang artinya “Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat”. (QS Al Baqarah [2]:186 ).
Mereka
terindoktrinisasi bahwa Tuhan bertempat di suatu tempat yang jauh
mengikuti aqidah Fir’aun sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan
pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/14/terhasut-aqidah-firaun/
Sehingga mereka secara psikologis atau alam bawah sadar mereka
menjauhkan diri dari Allah atau berpaling dari Allah sehingga
terbentuklah akhlak yang buruk
Akhlak yang buruk adalah mereka
yang tidak takut kepada Allah atau mereka yang berpaling dari Allah atau
menjauhkan diri dari Allah karena mereka memperturutkan hawa nafsu.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh
tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk
orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Jadi
orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim an Najdi adalah
korban hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis
Yahudi sehingga mempergunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang
kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang kaum muslim
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan:
“Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir
lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat:
kitab Sohih Bukhari jilid:4 halaman:197].
Oleh karena itu janganlah menyempal atau mengasingkan diri dari mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ”
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan
tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia
menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam
Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama),
bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku
tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian
melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas
kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al
Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir,
ini adalah hadits Shohih)
Ibnu Mas’ud radhiallahuanhu
mewasiatkan yang artinya: ”Al-Jama’ah adalah sesuatu yang menetapi
al-haq walaupun engkau seorang diri”
Maksudnya tetaplah
mengikuti Al-Jamaah atau as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim)
walaupun tinggal seorang diri di suatu tempat yang terpisah. Hindarilah
firqoh atau sekte yakni orang-orang yang mengikuti pemahaman seorang
ulama yang telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim
(as-sawad al a’zham).
Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa
beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman
dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan
mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan.
Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam,
dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah
mengikuti salah satu firqah/sekte. Hindarilah semua firqah/sekte itu
jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa Islam
pada akhirnya akan asing pula sebagaimana pada awalnya karena pada
umumnya kaum muslim walaupun mereka banyak dan menjalankan perkara
syariat namun mereka gagal untuk sampai (wushul) kepada Allah atau
mereka gagal mendekatkan diri kepada Allah ta’ala atau mereka gagal
meraih maqom disisiNya
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda
“Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan
kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka
berbahagialah bagi orang-orang yang asing”. Beliau ditanya, “Ya
Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”. Beliau bersabda,
“Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan
Thabrani]
“Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan
ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang
yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang
mentaatinya”. (HR. Ahmad)
Islam pada awalnya datang dengan
asing diantara manusia yang berakhlak buruk (non muslim / jahiliyah).
Tujuan beragama adalah untuk menjadi manusia yang berakhlakul karimah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS
Al-Ahzab:21)
Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu
wa ta’ala telah menjadikan akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan
hambaNya. Oleh karena itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung
menghubungkan anda kepada Allah”
Salah satu tanda yang utama
dari seorang muslim yang dekat dengan Allah adalah berakhlakul karimah
sehingga akan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
para Nabi, para Shiddiqin dan Syuhada
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya
tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan
mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah
mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang
tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan
sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang
pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan
barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang
mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom disisiNya
dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang
membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau
muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana
yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala
dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini
kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi
mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati,
yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga
seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika
ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di
mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm
bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah
selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ
عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu
Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR
Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau
melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saxa
telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?”
dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat
dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat melihat Allah
dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah bahwa Allah
Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai
Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah)
kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu
tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR
Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al
Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka
selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu
memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau
berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang
dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji
dan mungkar hingga dia dekat dengan Allah ta’ala karena berakhlakul
karimah meneladani manusia yang paling mulia Sayyidina Muhammad
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
مَّن فِي السَّمَاء PENJELASAN AYAT
Dan
telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada
kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami Zakariya’ dari Ibnu
Asywa’ dari Amir dari Masruq dia berkata, “Aku berkata kepada Aisyah,
‘Lalu kita apakah firman Allah: ‘(Kemudian dia mendekat, lalu bertambah
dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung
busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada
hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan) ‘ (Qs. an-Najm:
8-10). Aisyah menjawab, ‘(Yang dimaksud ayat tersebut) adalah Jibril.
Dia mendatangi Rasulullah dalam bentuk seorang laki-laki, dan pada
kesempatan ini, dia mendatangi beliau dalam bentuknya yang sesungguhnya,
sehingga dia menutupi ufuk langit’.” (HR Muslim 260)
Dari
Masruq dia berkata, “Aku yang duduk bersandar dari tadi, maka aku mulai
duduk dengan baik, lalu aku berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin! Berilah aku
tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-buru, (dengarlah
kata-kataku
ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah berfirman: walaqad raaahu
bialufuqi almubiini (QS at Takwir [81]:23) dan Firman Allah lagi:
walaqad raaahu nazlatan ukhraa (QS An Najm 53]:13) Maka Aisyah menjawab,
‘Aku adalah orang yang pertama bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau
telah menjawab dengan bersabda: Yang dimaksud ‘dia’ dalam ayat itu
adalah Jibril (bukan Allah), “aku tidak pernah melihat Jibril dalam
bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia turun dari langit
dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara lagit dan
bumi.” (HR Muslim 259)
Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan
Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi), Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi
dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al
Muhith mengatakan: “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i)
dalam ayat tersebut (QS Al-Mulk [67]:16) adalah malaikat”. Ayat tersebut
tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit. Perkataan ‘man’ yaitu
‘siapa’ dalam ayat tadi berarti malaikat bukan berarti Allah berada dan
bertempat di langit.
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi
~rahimahullah mengatakan : “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man
fissama-i) dalam ayat tersebut adalah kekuasaan/kerajaan dan qudrat-Nya
(Shulthonihi wa qudratihi ) jadi yang di langit adalah kekuasaan dan
qudratnya (Shulthonihi wa qudratihi) bukan dzat Allah.
**>>>>>Berikut
penjelasan ulama yang sholeh dari kalangan keturunan cucu Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yakni Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki. Kami
kutipkan dari terjemahan kitab
beliau yang aslinya berjudul “Wa huwa bi al’ufuq al-a’la” diterjemahkan
oleh Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril
‘alaihissalam”
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun
dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai
naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa
antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu
termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik
dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan.
Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada
jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak
melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta
alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar
laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya,
ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan
ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi
Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan
oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila
anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi
Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah
untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau
adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan
dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan
sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk
mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq.
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah
bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara
Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang
diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala.
Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan
Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,”
artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka
kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa
alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya.
Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau
menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan
tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya
tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina
adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun
beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di
mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi
wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa
keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan
dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci
dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al
Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar
bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak
dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul
Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah
berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu”
Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?” Ia menjawab,
“Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam
lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam
kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau.
Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,”
sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau
dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar
gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa
yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam
lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang
berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan
para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi
atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak
antara Dia dengan mereka“.
Jadi,
Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang
hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia
mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang
tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang
nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi), Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al Muhith mengatakan: “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut (QS Al-Mulk [67]:16) adalah malaikat”. Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit. Perkataan ‘man’ yaitu ‘siapa’ dalam ayat tadi berarti malaikat bukan berarti Allah berada dan bertempat di langit.
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi ~rahimahullah mengatakan : “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah kekuasaan/kerajaan dan qudrat-Nya (Shulthonihi wa qudratihi ) jadi yang di langit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthonihi wa qudratihi) bukan dzat Allah.
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq.
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka“.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Kamis, 20 September 2012
SEJATINE SALAFI WAHABY ADALAH KHAWARIJ
Mereka/WAHABY SALAFI mengatakan bahwa Salafi bukanlah khawarij.
Mereka yang mengaku-aku Salafi dapat menjadi khawarij jika pemahaman
mereka telah keluar dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al
a’zham). Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim
fail) artinya yang keluar
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ”
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan
tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia
menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam
Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama),
bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku
tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian
melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas
kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al
Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir,
ini adalah hadits Shohih)
Ibnu Mas’ud radhiallahuanhu
mewasiatkan yang artinya: ”Al-Jama’ah adalah sesuatu yang menetapi
al-haq walaupun engkau seorang diri”
Maksudnya tetaplah
mengikuti Al-Jamaah atau as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim)
walaupun tinggal seorang diri di suatu tempat yang terpisah. Hindarilah
firqoh atau sekte yakni orang-orang yang mengikuti pemahaman seorang
ulama yang telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim
(as-sawad al a’zham).
Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa
beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman
dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karen` Allah tidak akan
mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan.
Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam,
dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah
mengikuti salah satu firqah/sekte. Hindarilah semua firqah/sekte itu
jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi An Najdi yang karena
kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari
pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani
menghardik Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah berhukum dengan thagut,
berhukum dengan selain hukum Allah.
Semboyan kaum khawarij pada
waktu itu adalah “La hukma illah lillah”, tidak ada hukum melainkan
hanya dari Allah. Sayyidina Ali ra menanggapi semboyan tersebut berkata ,
“kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan
yang salah).
Kaum khawarij salah memahami firman Allah ta’ala
yang artinya, “Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS:
Al-Maa’idah: 44). Kesalahpahaman kaum khawarij sehingga berkeyakinan
bahwa Imam Sayyidina Ali ra telah kafir dan berakibat mereka membunuh
Sayyidina Ali ra
Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang
sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah,
melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya
sangat baik. Karena bacaannya yang baik itu, pada masa Sayyidina Umar
ibn Khattab ra, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas
permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash. Namun, karena ilmunya yang
dangkal (pemahamannya tidak melampaui tenggorokannya) , sesampai di
Mesir ia malah terpangaruh oleh hasutan (gahzwul fikri) orang-orang
Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya
hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan
tugasnya mengajar dan memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij
sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam
Sayyidina Ali ra.
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari
Bani Tamim An Najdi , mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka
bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al
Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu sekte/firqoh/kaum dari
umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat
kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan
puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al
Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu
adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas
tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur
dari busurnya”. (HR Muslim 1773)
“Shalat mereka tidak sampai
melewati batas tenggorokan” artinya sholat mereka tidak sampai ke hati
yakni sholatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar sehingga
mereka semakin jauh dari Allah ta’ala
Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh
dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025,
11/46)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim an Najdi
mempergunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas
mereka terapkan untuk menyerang kaum muslim
Abdullah bin Umar
ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan
ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan
untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sohih Bukhari jilid:4
halaman:197].
Ciri-ciri dari Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim
an Najdi yakni mereka yang membaca Al Qur’an namun tidak melampaui
tenggorokan, artinya tidak sampai ke hati atau tidak menjadikan mereka
berakhlak baik yakni
1. Suka mencela dan mengkafirkan kaum muslim
2. Merasa paling benar dalam beribadah.
3. Berburuk sangka kepada kaum muslim
4. Sangat keras kepada kaum muslim bahkan membunuh kaum muslim namun
lemah lembut kepada kaum Yahudi. Mereka kelak bergabung dengan Dajjal
bersama Yahudi yang telah memfitnah atau menyesatkan kaum Nasrani.
Rasulullah masuk ke kamarku dalam keadaan aku sedang menangis. Beliau
berkata kepadaku: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Aku menjawab: ‘Saya
mengingat perkara Dajjal maka aku pun menangis.’ Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: ‘Jika dia keluar sedang aku masih berada di
antara kalian niscaya aku akan mencukupi kalian. Jika dia keluar setelah
aku mati maka ketahuilah Rabb kalian tidak buta sebelah. Dajjal keluar
bersama orang-orang Yahudi Ashbahan hingga datang ke Madinah dan
berhenti di salah satu sudut Madinah. Madinah ketika itu memiliki tujuh
pintu tiap celah ada dua malaikat yang berjaga. maka keluarlah
orang-orang jahat dari Madinah mendatangi Dajjal.”
Dajjal tidak
dapat melampaui Madinah namun orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah
dari Bani Tamim an Najdi akan keluar dari Madinah menemui Dajjal
Oleh karenanya orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim an
Najdi yang merupakan korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang
pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi akan selalu membela, bekerjasama dan
mentaati kaum Zionis Yahudi
Kaum Yahudi yang sekarang dikenal
sebagai kaum Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason,
iluminati, lucifier yakni kaum yang meneruskan keyakinan pagan
(paganisme) atau penyembah berhala
Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah
yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari
orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke
belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu
adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh
syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa
Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan
sihir).” (QS Al Baqarah [2]:101-102 )
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman
tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat
sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau
beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Kaum
Zionis Yahudi , Allah ta’ala menyampaikan dalam firmanNya yang arti
“yaitu orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka yang
dijadikan kera dan babi.” (QS al-Ma’idah [5]:60)
Kaum Nasrani,
Allah ta’ala menyampaikan dalam firmanNya yang arti “Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum
kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia),
dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS al-Ma’idah: [5]:77)
Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi
bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang
orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya
bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum
Nasrani.“
Firman Allah ta'ala yang artinya
“Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai
Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan
(pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan
kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh
telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” ,
(QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka,
padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab
semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”,
dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah
bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah
kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi
hati“. (QS Ali Imran, 119)
Sampai akhir zaman orang-orang Arab
di jazirah Arab akan kembali jahiliyah sehingga diluruskan dan akhirnya
akan diperangi oleh kaum muslim dipimpin oleh Imam Mahdi
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Kalian perangi jazirah
Arab dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian Persia, dan Allah beri
kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Rum, dan Allah beri kalian
kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah beri kalian
kemenangan.” (HR Muslim 5161)
Kita harus terus meningkatkan
kewaspadaan terhadap upaya ghazwul fikri (perang pemahaman) yang
dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga suatu zaman yang dikabarkan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Telah menceritakan
kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Ya’qub
bin Abdurrahman dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Kiamat tidak terjadi hingga kaum
muslimin memerangi Yahudi lalu kaum muslimin membunuh mereka hingga
orang Yahudi bersembunyi dibalik batu dan pohon, batu atau pohon
berkata, ‘Hai Muslim, hai hamba Allah, ini orang Yahudi dibelakangku,
kemarilah, bunuhlah dia, ‘ kecuali pohon gharqad, ia adalah pohon
Yahudi’.”
KHAWARIJ ADALAH:
Khawarij
adalah Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi An Najdi yang
pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim
(as-sawad al a’zham). Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij
(bentuk isim fail) artinya yang keluar
Orang-orang
seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi An Najdi yang karena
kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari
pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani
menghardik Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah berhukum dengan thagut,
berhukum dengan selain hukum Allah.
Semboyan
kaum khawarij pada waktu itu adalah “La hukma illah lillah”, tidak ada
hukum melainkan hanya dari Allah. Sayyidina Ali ra menanggapi semboyan
tersebut berkata , “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang
benar dengan tujuan yang salah).
Kaum
khawarij salah memahami firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan
barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS: Al-Maa’idah: 44).
Kesalahpahaman kaum khawarij sehingga berkeyakinan bahwa Imam Sayyidina
Ali ra telah kafir dan berakibat mereka membunuh Sayyidina Ali ra
Abdurrahman
ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan
shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang
di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang
baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus untuk
mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn
Al-’Ash. Namun, karena ilmunya yang dangkal (pemahamannya tidak
melampaui tenggorokannya) , sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh
hasutan (gahzwul fikri) orang-orang Khawarij yang selalu berbicara
mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti.
Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih
bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang
ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali ra.
Orang-orang
seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi , mereka membaca Al
Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi
mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu
sekte/firqoh/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana,
bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka.
Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka
dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka
menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun
ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak
sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana
anak panah melunctr dari busurnya”. (HR Muslim 1773)
“Shalat
mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan” artinya sholat mereka
tidak sampai ke hati yakni sholatnya tidak mencegah dari perbuatan keji
dan mungkar sehingga mereka semakin jauh dari Allah ta’ala
Rasulullah
bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan
keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin
jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor
11025, 11/46)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Contohnya
pada masa sekarang mereka yang pemahamannya telah keluar (kharaja) dari
pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) seperti pelaku
bom atau pengrusakan masjid, pengrusakan kuburan kaum muslim, pelaku bom
bunuh diri di negeri yang dipenuhi kaum muslim dan tidak pula dalam
keadaan perang
Mereka bersikap radikalisme atau ekstremisme karena salah memahami firmanNya seperti yang artinya
“Hai
orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar
kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan
ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS At
Taubah [9]:123)
“Apabila
sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin
itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah
mereka dan intailah ditempat pengintaian”. (QS At Taubah [9]:5)
“Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka
dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnah” (QS Al Baqarah
[2]:191)
Mereka
bersikap radikalisme atau ekstremisme dikarenakan pembagian tauhid
menjadi tiga (tauhid Rububiyyah, tauhid Uluhiyyah, tauhid Asma’ was
Shifaat) sehingga berkeyakinan bahwa kaum muslim pada umumnya (as-sawad
al a’zham) telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid
Mereka
berakhlak buruk dapat ditimbulkan dari hasutan atau ghazwul fikri
(perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi bahwa “Tuhan
adalah jauh” bertentangan dengan firmanNya yang artinya “Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat”. (QS Al Baqarah [2]:186 ).
Mereka
terindoktrinisasi bahwa Tuhan bertempat di suatu tempat yang jauh
mengikuti aqidah Fir’aun sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan
pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/14/terhasut-aqidah-firaun/
Sehingga
mereka secara psikologis atau alam bawah sadar mereka menjauhkan diri
dari Allah atau berpaling dari Allah sehingga terbentuklah akhlak yang
buruk
Akhlak
yang buruk adalah mereka yang tidak takut kepada Allah atau mereka yang
berpaling dari Allah atau menjauhkan diri dari Allah karena mereka
memperturutkan hawa nafsu.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah:
“Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika
berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang
mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Mereka
dikarenakan kesalahpahamannya atau pemahamannya telah keluar (kharaja)
dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga
melakukan kerusakan di muka bumi adalah mereka yang tidak dapat
menyaksikan Allah ta'ala dengan hati mereka (ain bashiroh)
Muslim
yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati
(ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu
sadar dan ingat kepadaNya.
Imam
Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir
dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat,
sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Ubadah
bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui
(menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila
kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“.
(HR. Ath Thobari)
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ
الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan
kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia
berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah
riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat
Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah
melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia
menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan
hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu
dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau
menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya
(bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman
Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim
yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah
Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya
(ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah
dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan
maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga dia dekat dengan
Allah ta’ala karena berakhlakul karimah meneladani manusia yang paling
mulia Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Tujuan beragama adalah untuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Imam
Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan
akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan hambaNya. Oleh karena
itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung menghubungkan anda kepada
Allah”
Salah
satu tanda yang utama dari seorang muslim yang dekat dengan Allah
adalah berakhlakul karimah sehingga akan berkumpul dengan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, para Nabi, para Shiddiqin dan Syuhada
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya
kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada
seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…”
(QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya
Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka)
akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri
akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk
orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah
kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan
barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)
Muslim
yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah
sehingga meraih maqom disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah)
adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan
hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam
tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
WALLAAHU'ALAM...
Langganan:
Postingan (Atom)